3 Cara Berpikir yang Tumbuh dalam Umat Islam Menurut Kiai Ma’ruf Amin

Kolom Santri779 Dilihat

Seiring berkembangnya zaman, muncul berbagai persoalan-persoalan baru yang terjadi di masyarakat, mulai dari sosial, ekonomi, politik, kebangsaan dan sebagaimya. Banyak dari persoalan-persoalan itu yang belum ditemukan nashnya di dalam Al-Quran maupun hadits bahkan  kitab kuning. Bahkan taksedikit masalah-masalah seperti dulu muncul kembali tapi dengan persoalan yang lebih kompleks. Hal ini lah yang kini dihadapi para Ulama’ kontemporer.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada, umat Islam khususnya Ulama’ mempunyai cara berpikir yang berbeda-beda. Berikut 3 cara berpikir yang tumbuh dalam Umat Islam menurut Rais Aam PBNU, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin:

  1. Tekstualis

Kelompok tekstualis atau yang Kiai Ma’ruf sebut dengan tsabitatiyyun adalah kelompok yang hanya berpegan pada nash saja. Tsabithah artinya tidak berubah-berubah. Menurut Kiai Ma’ruf, kelompok ini tidak pernah mempernghitungkan Taghayyur al-ahkam bi taghuyyuri al-amkinah wa al-azminah (adanya perubahan hukum karena adanya perubahan tempat dan masa).

Kiai Ma’ruf menyebut cara berpikir kelompok ini sangat rigid dan konserfatif. Maka, dari pemikiran ini, kemudian lahirlah ungkapan seperti; yang tidak sesuai man ahdatsa fi amrina fahuwa raddun (Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami, maka dia tertolak), terus dianggap bid’ah kalau tidak ada nash-nya tidak manshushah. Inilah cara berpikir yang tidak berkembang menurut Kiai Ma’ruf.

 

  1. Liberalis

Menurut Kiai Ma’ruf, kelompok liberalis memiliki cara berpikir yang amat dinamis. Tapi, yang liberalis ini segalanya bisa berubah dan bisa diberikan tafsir yang berlebihan, tanpa batasan dan tanpa patokan.

Liberalis atau yang Kiai Ma’ruf sebut sebagai Mutaghayyiratiyyun yaitu kelompok yang kapan saja bisa berubah dan apa saja bisa berubah. Sehingga, hukum itu begitu sangat berlebihan fleksibelitasnya. Kata ulama’ orang liberal itu kal ‘Ajin, kayak adonan, mau berubah, berubah, semaunya dia. Jadi, mau dibikin kue, kue apasaja tergantung yang bikin.

 

  1. Moderat

Berbeda dengan dua pemikiran di atas, Ulama’ moderat atau yang Kiai Ma’ruf sebut Ulama’ ahlussunah wal jama’ah tidak menggunakan itu, karena hukum ada yang tsabithah dan ada yang mutaghayyirah. Adanya hukum sesuai dengan kaidah ushul al-fiqh al-hukmu yaduru ma’a al-illatihi Wujudan wa ‘adaman (Hukum itu bergantung dari ada atau tidaknya illat), kalau ada illatnya maka ada hukumnya. Karena itu, pikiran yang dibangun ulama’ ahlussunah wal jama’ah tidak tekstualis, tapi juga tidak liberalis, tapi berpikir moderat, tawasuthiyat (tengah-tengah), tapi tidak rakitan, tapi tathowuriyat, yaitu dinamis.

Kenapa harus dinamis? – Kata Kiai Ma’ruf – Karena  ada perubahan-perubahan yang kemudian itu dijadikan sebagai dasar. Misalnya kita menggunakan pendekatan i’adatun nazhar (tela’ah ulang), tahqiqul manath; melakukan verifikasi, relefansi, masih relefan apa tidak yang itu semua dijadikan satu. Karena itu dikatakan dinamis, tapi manhajiyyah, bermanhaj, jadi empat imam menjadi pedoman dan tidak boleh keluar daripada manhaj itu. Jadi cara berfikir ulama’ moderat itu tawasuthiyah, tathowuriyyah dan manhajiyyah.

 

Kelompok yang pertama (Tekstualis) menurut Imam Qarafi yaitu kelompok al-jumut alal manqulat, yaitu statis pada teks-teks nash saja, dholalun fiddin wa jahlun bi maqashidi ulama’i muslimin wa salafil madhi (kesesatan dalam agama, dan ketidakpahaman terhadap apa yang dimaksud ulama’ul muslimin dan ulama’-ulama’ salaf yang terdahulu).

Kemudian belakangan muncul tekstualis yang tidak al-jumud ‘alal manqulat tapi al-jumud ‘alal ibarat, yaitu statis pada ibarat-ibarat kitab saja. Jadi, kalau tidak ada kitabnya, tidak ada qaulnya kemudian tidak mau. Kata mereka; “ini nggak ada qaulnya salaf dulu” atau “amal ini dulu belum pernah dikerjakan oleh para ulama’”. Jadi, tidak mau. Karenanya terjadi suatu stagnasi statis, kemudian ketika tidak menemukan hukum tertentu dalam kitab kuning, maka tawaqquf, nggak diteruskan, terjadi kekosongan hukum yang ada di dalam masyarakat. Ini satu masalah yang kemudian maka lahirlah ungkapan bahwa Ulama’ moderat berada dalam posisi tidak mengikuti ulama salaf, padahal tidak seperti itu.

Maka kemudian, dalam Munas NU di Lampung tahun 1992 Ulama’ NU membuat suatu sistem penetapan hukum di NU. Dalam Munas tersebut, dibuatlah cara-cara  hingga Ulama’ NU menggunakan pendekatan fiqih manhaji, misalnya, kalau ada satu qoul maka qoul itu yang kita ambil, kalau ada dua qoul maka kita menggunakan pendekatan al-jam’u wa at-taufiq baina ta’arudataini, ta’arud itu dikompromikan, kalau tidak bisa dikompromikan maka digunakanlah pendekatan tarjih, karena harus mengambil yang tarjahul aqwal. Karena kata para ulama’ dalam I’anah disebutkan al-hukmu bighairi rajih minal hukmi bi ghairi ma anzalallah (memberi hukum bukan yang rajih, itu sama dengan memberi hukum dengan yang bukan diturunkan oleh Allah). Artinya bukan hukum dari Allah. Maka dari itu menjadi kewajiban kita memilih yang tarjahul aqwal, tarjih itu menjadi suwatu kewajiban. Tapi kemudian di Munas Lampung Ulama’ NU tidak mau menggunakan kata tarjih, karena para merasa bukan ahli tarjih.

“Imam ahli tarjih itu imam nawawi, imam rofi’i, kita ini tidak” kata Kiai Ma’ruf. “Tapi kita harus men-tarjih, karena itu diganti kata-katanya menjadi men-taqrir, jadi di-taqrirkan. Sebenarnya pekerjaannya ya mentarjih itu, cuman karena konotasi tadi mengandung arti begitu besar, hingga ulama’ NU tidak mau.” Jelas Kiai Ma’ruf

Maka kalau tidak ada qaulnya Ulama’ NU melakukan ilhaqul masail bi nazhairiha yaitu ada atau tidak pandangannya di dalam kitab. Sehingga tidak menggunakan qiyas, karena qiyas minal far’ ilal asl, dari cabang ke pokok. Jadi, ilhaq itu masih lebih baik tinimbang membuat hukum baru. Tapi, kalau sudah tidak bisa di-ilhaq maka masuklah pada ijtihad jama’i. Karna NU tidak mau ijtihad karena bukan mujtahid, maka diganti istilahnya menjadi istinbath jama’i. Istinbath jama’i ini yang disebut dengan fiqh manhaji.

Istinbath jama’i adalah Menggunakan manhaj-manhaj pada aimmah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Jadi, menggunakan pendekatan yang kalau bahasa sekarang itu fiqih kontekstual tidak semata-mata tekstual. Bahkan kalau menurut Imam Haramain, sebenarnya syari’ah itu ada dua sumber, ada yang dari mansushon (ada nashnya), dan ada yang ijtihadiyyah (hasil ijtihad). Ijtihadiyyah menurut Imam Haramain lebih banyak. Kebanyaan syari’ah lahir dari ijtihad bukan dari nash, nash itu sedikit, karena nash itu terbatas, artinya tidak bertambah, tapi peristiwa-peristiwa, masalah-masalah yang terjadi, persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas karena itu Ulama’ harus melakukan ijtihad.

Masalah-masalah yang timbul itu ada yang sudah di-ijtihad-i oleh para ulama’ dan ada juga yang belum, seperti masalah-masalah baru di dalam berbagai masalah politik, ekonomi, sosial budaya yang teks nashnya, baik al quran maupun hadits atau nash dalam kitab-kitab fiqih, belum ada. Atau masalah-masalah yang lama tapi berubah bentuknya yang disebut Masail Mustajaddah. Maka cara berpikir yang seperti ini yang dipegang Ulama’ Moderat, terutama di Nahdlatul Ulama’, sehingga tidak konsekuentif, tidak aljumud alal manqulat, tidak tekstual tapi juga tidak liberal.

 

 

Sumber:

Ceramah Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin pada acara Kuliah Umum bertajuk “Pendekatan Nalar Ushul Fiqh dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” di Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda Fi Ushul al-Fiqh, Rabu, 6 Desember 2017.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *