Peran Fiqh Terhadap Kesehatan Seseorang Dalam Menjaga Makanan

Peran Fiqh Terhadap Kesehatan Seseorang Dalam Menjaga Makanan

Artikel397 Dilihat

Sebagai hamba Allah, manusia memiliki dua fungsi ganda. Yaitu beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di bumi. Sebagaimana di terangkan dalam Al-Qur’an surah al-Dzariyat ayat 56, “Dan aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku” dan dalam surat al-Baqarah ayat 30, “Sesungguhnya aku (Allah) hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi”. Maka, Islam merumuskan bahwa kehidupan adalah amanat yang harus digunakan untuk pencapaian sa’adatuddarain (kesejahteraan dunia dan akhirat).[1]

Sehubungan dengan itu, kita mendapati fiqh (penuntun kehidupan paling praktis dalam Islam)[2] membahas banyak aspek dalam kehidupan manusia. Pembahasan tersebut mencakup juga masalah kesehatan. Maka, dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana bentuk perhatian fiqh terhadap kesehatan seseorang dalam menjaga makanan?

Makan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Dengan makan, nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh menjadi terpenuhi dan nutrisi tersebut akan bekerja terhadap pertumbuhan dan perbaikan tubuh untuk menjaga kesehatan sistem kekebalan yang akan mengghasilkan energi.[3] Kemudian, sesorang akan dapat beraktifitas dengan maksimal, baik aktifitas yang berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah. Sehingga masuk akal ketika fiqh turut mengatur makanan yang layak dikonsumsi (halal) oleh manusia, serta kadar kebutuhannya bagi tubuh. Seperti yang sudah terangkum dalam rumusan Maqashid asy-syari’ah, perihal melindungi jiwa (hifzh an-nafs)  meskipun dalam tingkatannya hifzh an-nafs dibagi menjadi tiga (dharuriyyat, hajiyat, dan tahsiniyat), ketiganya ini bertujuan untuk mempertahankan hidup dengan cara makan dan minum.

Dalam pengaturan makan dan minum, fiqh sudah mengkualifikasikan antara makanan halal (yang boleh dikonsumsi) dan makanan haram (tidak boleh dikonsumsi). Dikatakan oleh seorang sufi bernama Sahl at-Tustari: “Barangsiapa yang mengonsumsi makanan haram, maka anggota tubuhnya akan tergerak melaksanakan kemaksiatan, baik dia berkenan atauupun tidak, baik dia mengetahui ataupun tidak; dan barang siapa yang makanannya halal, maka anggota tubuhnya akan tergerak untuk melaksanakan ketaatan, dan diberi  pertolongan untuk melakukan kebaikan.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin)[4]

Fiqh juga mengatur pola makan supaya tidak berlebihan. Menurut Syaikh Az-Zarnuji, didalam kitabnya beliau mengatakan

“Adapun cara mengurangi makan adalah merenungkan manfaat dari sedikit makan yaitu menjadikan badan sehat, menjaga diri dari hal haram, dan suka mengutamakan/ mendahulukan orang lain.” (Ta’limul muta’alim).[5]

karena ketika seseorang tidak memperhatikan makanan mereka akan menjadikan jalan timbulnya penyakit. Makan yang berlebih juga bisa memunculkan perasaan malas, sulit berkonsentrasi, dan mudah mengantuk. Karena itu kekenyangan bisa mengakibatkan hilangnya kecerdasan seseorang. Az-Zamakhasyari (pakar ilmu bahasa) berkata “…dampak kekenyangan yaitu kerasnya hati, kesedihan, tunduk kepada nafsu binatang, dan dampak buruk lainnya.”[6]

Dalam al-Qur’an juga mengatakan, “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-mayur, yaitu dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Abasa: 23-32)

Rasulullah SAW sebagai suri tauladan utama manusia pun telah mengajarkan bagaimana mengatur pola makan yang baik, sehingga porsi tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Seperti yang tertulis dalam satu riwayat hadis “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan perutnya sebagai wadah yang buruk jika  memenuhinya dengan beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, yang harus dia lakukan adalah sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk napas.” (HR. Ahmad)[7]

Demikianlah bentuk perhatian fiqh terhadap kesehatan seseorang, bahkan mulai dari hal paling dasar tetang kebutahan pokok manusia, seperti makan.  Tentu saja karena hal tersebut saling berkaitan. Karena ketika kualitas ibadah seseotang dapat terjaga dengan terpenuhinya syarat-syarat yang menyertai, seperti kemampuan berdiri dalam sholat, mampu berpuasa, belajar, bekerja, dan sebagainya. Kondisi tersebut akan dapat ditempuh ketika sesorang dalam keadaan sehat. Wallahu’alam.

 

Oleh : Su’dah Maimanah, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH

[1] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (LkiS Yogyakarta: 2011), hal. XXVii.

[2] Ibid

[3] Gilad James, Makanan dan Nutrisi: Gilad James Mystery School.

[4] https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/5-faedah-mengonsumsi-makanan-halal-GWJ63 (diakses pada 13 Agustus 2023, 8:39 WIB)

[5] https://jatim.nu.or.id/keislaman/kiat-mengatur-pola-makan-yang-berlebih-19jmh (diakses pada 08 Agustus 2023, jam 9.45 WIB).

[6] Ganna Pryadharizal A & Muhammad Yasir, Al-Lu’Lu’ wal Marjan 3, (Pustaka Al-Kautsar: 2011), hal. 41.

[7] https://islam.nu.or.id (diakses pada 13 Agustus 2023, 8:28).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *