Salah satu ilmu keislaman yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan intelektual baru adalah ilmu fiqh. Fiqh tak pernah kehabisan argumen untuk merespons problem- problem kemanusiaan modern dan kontemporer. Ini, salah satunya, karena sejak awal fiqh tak hanya bermain pada ramah ibadah. Bahkan, fiqh lebih banyak bergerak di tataran mu’amalah, mulai dari urusan keluarga hingga soal politik negara. Fiqh juga berbicara tentang soal-soal ekonomi; mulai dari soal zakat hingga soal mudharabah dan murabahah. Fiqh pun tak hanya berbicara mengenai etika pergaulan sesama umat Islam, tapi juga bercakap mengenai etika persahabatan dengan non-Muslim. Pendeknya, fiqh berbicara mulai dari soal privat sampai pada soal publik.[1]
Percakapan tentang fikih selama ini cenderung bertumpu pada ibadah-ibadah ritualistik yang menekankan pada hubungan vertikal daripada horizontal. Akibatnya, fikih menjadi begitu monoton dan terkesan tidak mempunyai keterkaitan khusus dengan kepentingan sosial-ekonomi. Penyempitan atas makna fikih inilah, antara lain, yang menjadi kegelisahan Sahal Mahfudh dalam menggagas konsep fikih di luar pandangan mainstream orang, yaitu “Fikih Sosial”.
Berdasarkan alasan tersebut, tulisan ini mengulas konstruksi Fikih Sosial Sahal Mahfudh serta bagaimana relevansinya dengan konsep ekonomi syariah. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan , menggunakan pendekatan deskriptif-analitik dengan metode komparasi atau perbandingan. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa gagasan fikih sosial menempatkan dimensi sosial-ekonomi pada posisi sentral sebagai lahan garapannya.
Bagi Sahal Mahfudh, kemaslahatan, keadilan dan kesejahteraan adalah cita-cita Islam yang harus terwujud dalam aktivitas ekonomi. Sahal Mahfudh memang tidak banyak menyinggung istilah “ekonomi syariah” dengan segala derivasinya dalam gagasan fikih sosial, namun nilai-nilai dasar ekonomi syariah sebagaimana yang dirumuskan oleh para ekonom dan cendekiawan muslim praktis terejawantah dalam aksi-aksi sosialnya yang nyata. Di sini letak relevansi keduanya berada. Fikih sosial patut dijadikan bahan refleksi bersama, bahwa ekonomi syariah tidak akan dapat mewujudkan kemaslahatan tanpa aksi-aksi sosial yang konkret.[2]
Mahfuz mendeskripsikan zakat bukan hanya sebagai ibadah mahdlah saja. Akan tetapi lebih pada perangkat sosial yang seyogyanya mampu untuk menangani kemiskinan, dengan catatan zakat dikembangkan dan dimanage secara profesional. Apalagi jika melihat realitas bahwa mayoritas warga negara Indonesia adalah muslim. Sudah barang tentu ini menjadi modal dasar yang tidak sedikit dalam upaya mengatasi masalah tersebut (kemiskinan).[3]
Usulan revisi Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terbagi dalam tiga pokok gagasan utama yakni soal tatakelola dan kelembagaan zakat, keterkaitan zakat dengan pajak, dan yang terakhir mengenai perlu tidaknya pemberian sanksi pada wajib zakat yang tidak membayar zakat.
Salah satu alasan untuk melakukan amandemen Undang-UndangNomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah bahwa pemerintah akan mengelola zakat dengan sistem sentralisasi melalui Badan Pengelola Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Sementara Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Pengelola Zakat milik pemerintah.
Hal ini dilakukan dengan harapan agar pengumpulan dan penyaluran zakat bisa lebih efektif. Di samping itu, dalam perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat mengatur tidak hanya pengelolaan zakat namun juga pengelolaan infaq dan shodaqoh sehingga adanya perubahan nama dari UU tentang Pengelolaan Zakat menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh.[4]
Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2011 pasal 3 pengelolaan zakat bertujuan:
- Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
- Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. [5]
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardlu ‘ain dan kewajiban ta’abbudi. Dalam al- Qur’an perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga itu belum berjalan sesuai dengan harapan. Pengelolaan zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari’ah mau pun perkembangan zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan mantap.
Orang yang membayar pajak (muzakki) misalnya, masih melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun asih jauh dari memuaskan. Ini perlu penataan dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas dengan pembentukan panitia zakat saja. Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna. Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut kualitas manusianya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari’ah tak bisa kita lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapih.[6]
Referensi :
[1] Umdah El baroroh dkk; Fiqh sosial Masa depan fiqh Indonesia (Pati: Fiqh Sosial Institute, 2016), hal.3
[2] Moh. Rasyid Volume 4 Nomer.2 Oktober 2021 / NALAR FIKIH SOSIAL SAHAL MAHFUDH DAN RELEVANSINYA DENGAN KONSEP EKONOMI SYARIAH
[3] KH. M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial. (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 40
[4] Yuni Sudarwati dkk, KONSEP SENTRALISASI SISTEM PENGELOLAAN ZAKATDALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT, hal 3 dan 4
[5]Tinjauan umum tentang zakat produktif hal 1-2
[6]https://www.nu.or.id/taushiyah/profesionalisme-pengelolaan-zakat-XROv8
Qatherin Sabatina
Santri semester 4 Ma’had Aly Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh