Dalam kitab Al-Muatta’ Imam Malik menjelaskan bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang merdeka.Dalam madzhab Hanafi, Imam As syarkasi penulis kitab Al Masbut mengatakan bahwa seorang laki laki yang berpoligami harus berlaku adil terhadap istrinya berdasarkan dalil ayat 3 surah An nisa’ dan hadis Aisyah tentang perlakuan adil baginda Nabi Muhammad Saw. Ahmad bin Hambal mengatakan batas maksimal seorang laki-laki yang berkeinginan poligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri.Dengan mengutip pada QS An-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi hatinya secara adil.
Sama halnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa dibolehkan adanya praktek poligami ini, dan Imam Syafi’i menambahkan bahwa harus memenuhi syarat yang disebutkannya, yaitu mampu berbuat adil kepada istri-istrinya dan Imam Syafi’i membatasi hanya sampai empat perempuan saja. Menurutnya yang dimaksud adil adalah, adil secara materi (menggilir istri, nafkah, dan juga mewarisi) atau fisik.
Sedangkan keadilan dalam perihal hati (cinta) berat dilaksanakan karena hanya allah sajalah yang mengetahuinya. Sehingga seseorang yang melakukan poligami sulit dalam perihal membagi hati kepada istri-istrinya. Lanjut Imam Syafi’i menambahkan kalau yang melakukan poligami tersebut ialah seorang budak, maka batasannya hanya dua orang perempuan saja.
Pendapat yang sama dinyatakan oleh Sayyid Qutb, ia berpendapat bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah, , dan kebolehan ini Sayyid Qutb mensyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Yang dimaksud disini adalah keadilan dalam bidang nafkah dan muamalah (pergaulan) serta pembagian malam.Sedangkan bagi calon suami yang sekiranya tidak bisa berbuat adil maka dicukupkan satu saja. Sementara yang bisa berbuat adil boleh poligami dengan batasan empat istri.
Terkait masalah tentang konsep keadilan pada tiga madzhab diatas, hal serupa juga terjadi pada Imam Syafi’i yang banyak diikuti pendapatnya, lebih khususnya di Negara Indonesia ini sendiri.Sampai saat ini poligami merupakan suatu masalah yang sering diperdebatkan oleh para ahli hukum Islam, karena bukan hanya para ulama saja yang pro-kontra akan poligami.Masyarakat pun ada yang bisa menerima dengan adanya poligami, tetapi ada juga sebagian masyarakat yang menolak adanya poligami tersebut. Mereka yang menerimadengan adanya poligami beranggapan bahwa poligami adalah sunnah sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 3. Selain itu, dalam catatan sejarah Nabi Muhammad SAW melakukan poligami. Sedangkan kalangan yang menolak adanya poligami beranggapan bahwa poligami dianggap suatu ketidak adilan dan suatu hal yang mendiskriminasikan kaum perempuan.Namun jika dilihat dari kaca mata hukum, umumnya para ulama’ berpendapat bahwa hukum poligami yang sesungguhnya bukanlah sunnah, melainkan mubah atau boleh.
Lebih lanjut Imam Syafi’i menegaskan pada kasus poligami ini, beliau mencoba mentransformasikan hadis dalam praktek Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Kemudian pada kasus poligami ini, Nabi sedang menegaskan QS. An-Nisa’ Ayat 2 – 3 mengenai perlindungan janda dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya imam ibnu al-Atsir (544-606H) . kita dapat menumukan sebuah bukti bahwasanya poligami Nabi adalah lantaran untuk menyelesaikan persoalan saat itu. Bukti bahwa pernikahan nabi untuk menyelesaikan persoalan saat itu dilihat pada teks-teks hadis yang membahas pernikahan nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah RA binti Abu bakar RA.
Husnu Amalia, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24.