AKSIOLOGI HUKUM FIQIH AL-HIJR PADA TRANSAKSI JUAL-BELI BAGI ANAK KECIL
Oleh: Moh Reza Fadilah
A. Pendahuluan
Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia di dunia ini tidak lain tugasnya hanya ibadah kepadanya. Dalam ekosistemnya, Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi memerlukan pertolongan satu sama lainnya dalam memperoleh kemajuannya. Kajian tentang jual beli merupakan bagian dari muamalah yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, bentuk, dan model dalam sisem jual beli. Sehingga dengan perkembangan zaman, hukum Islam dalam hal jual beli berkembang pula karena hukum Islam bersifat fleksibel, elastis, dan adil demi mencapai kemaslahatan. Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini di sepakati para ahli dan tidak ada perbedaan pendapat. Al-quran menerangkan bahwa hukum jual-beli adalah halal.
Di beberapa tempat tak jarang kita menemui aktivitas jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil,bahkan belum baligh, tanpa adanya pendampingan dari orangtua yang mana dalam aktivitas tersebut dimungkingkan merugikan anak kecil, mengingat tak semua anak kecil memiliki pengetahuan dan kecakapan yang cukup, dalam fiqih terdapat konstruksi hukum yang dinamai al-hijr yaitu pembekuan hak transaksi yang berlaku bagi beberapa kelompok, dan anak kecil masuk dalam ketentuan itu. Lantas bagaimanakah fiqih menanggapi fenomena tersebut?,mengingat sering kita menemui aktivitas jual-beli itu di masyarakat. Dalam makalah ini kami akan mengurai apa itu al-hijr kemudian bagaimana fiqih menanggapi fenomena tersebut, serta menambahkan sisi aksiologis didalamnya.
B. Pembahasan
- Pengertian Al-Hijr
Sebelum membahas bagaimana hukum transaksi jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil alangkah baiknya kita membahas salah satu bab dalam fiqih yaitu al-Hijr, Al-Hijr (الحِجْر) secara Bahasa berarti mencegah, adapun menurut defini syara’ yaitu menghalangi pengelolaan/penggunaan harta[1]. Sebagaimana hukum-hukum fiqih yang lain memiliki landasan dalil Al-qur’an maupun Sunnah, hukum ini juga memiliki landasan baik dari Al-qur’an maupun Sunnah yaitu
فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ
[البقرة: 282]
“ jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur ”. (Q.S. Al-Baqoroh: 282)
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا [النساء: 5]
“ dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan ”. (Q.S. An-Nisa’: 5)
أنه صلى الله عليه و سلم حَجَرَ على معاذٍ في ماله و بَاعَه في دَينٍ كان عليه . رواه الدار القطني و الحاكم
“ sesungguhnya Nabi S.A.W. membekukan aset Mu’adz dan menjualnya untuk membayari hutangnya ”.(H.R. Ad-Daruquthni dan Hakim).
Hukum ini tidak diberlakukan bagi semua kaum muslim, tetapi hanya diberlakukan bagi enam kelompok yaitu anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang rugi atau pailit, orang sakit kritis, dan budak yang tidak diberi izin berdagang.[2] Pensyariatan Al-Hijr atau pembekuan hak mengelola harta adakalanya dikarenakan kemaslahatan diri sendiri adakalanya dikeranakan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain, dari sebab ini kemudian al-Hijr terbagi menjadi dua macam[3].
2. Hukum Transaksi Jual-Beli Anak Kecil
Dalam kitab fiqh jual beli diartikan dengan al-bai’ yang secara etimologi diartikan dengan saling menukar sesuatu yang lain. Sedangkan menurut terminologi al-bai’ diartikan dengan saling menukar harta dengan harta yang lain sesuai dengan aturan yang ditentukan[4]. Hukum asal jual-beli adalah mubah,tetapi perlu diperhatikan juga bahwa telah dijelaskan sebelumnya tentang konstruksi hukum al-Hijr dan anak kecil masuk pada kelompok yang dikenai hukum al-Hijr tersebut. Realita yang terjadi di masyarakat banyak terlihat anak kecil yang belum mencapai usia dewasa sudah dilatih oleh orang tuanya untuk berbelanja. Bahkan, tidak hanya itu. Jika kita pergi ke terminal bus di Surabaya misalnya, kita akan melihat banyak anak kecil yang berprofesi sebagai pedagang asongan. Sebagai profesi, tentu mereka akan sedikit banyak menerima sekadar persen upah dari konsumen yang membeli dagangannya. Terkadang mereka harus melayani orang yang membeli dengan jumlah yang banyak. Kemampuan menghitungnya tidak kalah dengan orang dewasa. Bahkan, berbekal kalkulator, ia bisa menghitung dagangan yang laku hari itu dengan mudah. Pada kesempatan lain ada anak kecil yang diserahi orang tuanya untuk membeli barang dagangan yang remeh, misalnya hanya jajanan sekolah yang seharga Rp1.000 sampai dengan Rp5.000.
Setelah melalui pembacaan realita tersebut, Sebenarnya dapat ditemui beberapa peluang alasan fiqih yang bisa dijadikan dasar pedoman keabsahan transaksinya anak kecil sebagaimana dimaksud dalam fakta kejadian di atas,
- Pertama: Yang melakukan transaksi adalah anak yang kadang sudah memasuki usia tamyiz, berakal, cakap, namun belum baligh. Maksud dari tamyiz adalah anak yang sudah bisa membedakan baik dan buruk apa yang dilakukan terhadap dirinya.
- Kedua: Barang yang dibeli oleh anak kecil adalah barang yang memiliki nilai rendah (remeh), serta tidak mengandung mudarat. Bila mengandung mudarat, orang tua biasanya terlibat dalam mengawasi penggunaannya.
- Ketiga: Fakta belanjanya anak kecil sudah berlaku umum di masyarakat.
- Keempat: Fakta belanjanya anak kecil kadang merupakan wujud orang tua dalam mendidik anaknya agar mengenal uang.
- Kelima: Adanya anak disuruh melakukan profesi tertentu adakalanya dengan tujuan membantu nafkah orang tua yang dalam kondisi pas-pasan.
- Keenam: Orang tua tetap berada sebagai wali yang senantiasa mengawasi apa yang dibeli oleh anaknya.[5]
Pada keterangan lain juga diterangkan Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh dan tidak mahal. termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa baik tanpa seizin wali maupun dengan izinnya sehingga banyak jumlahnya[6].
Kelonggaran hukum ini sudah pasti harus disertai catatan bahwa: wajib bagi orang tua bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan pendampingan. Misalnya: mengawasi unsur manfaat dan tidaknya barang yang dibeli oleh si anak, mengawasi segi mudlarat dan tidaknya barang yang dibeli, baik terhadap anak itu sendiri, bahkan terhadap sesama.
C. Sisi Aksiologi
Aksiologi merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat ilmu yang membahas tentang kegunaan atau manfaat dari ilmu pengetahuan. Kajian terhadap ilmu pengetahuan telah menjadi bagian terpenting dari kehidupan sosial manusia (Susanto, 2021). Maju mundurnya suatu bangsa atau masyarakat tertentu sangat dipengaruhi oleh sejauh mana bangsa atau masyarakat itu menguasi ilmu pengetahuan. Semakin sempurna ilmu pengetahuan yang dimiliki, maka semakin modern pula kehidupan masyarakat yang bersangkutan, baik modernisasi ekonomi, politik, agama, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun sosial budaya. Sebaliknya, rendahnya semangat mempelajari ilmu pengetahuan telah menjadi penyebab rendahnya kualitas masyarakat itu dan telah mendorong pula kehidupan mereka menjadi masyarakat yang miskin dan marginal. Karena itulah Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh (Hasanah, 2020)[7].
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Jadi yang ingin dicapai oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan (Adyad, 2020). Sebagai cabang filsafat ilmu, aksiologi membahas tentang nilai. Istilah axiologis berasal dari kata axiosdan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiologis artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai (Effendi, 2018)[8].
Pada kasus kali ini yaitu hubungan jualbeli (hijr) pada anak kecil disyariatkan dengan argument, bahwa transaksi harta (termasuk jual beli) yang dilakukan anak kecil itu tidak sah karena demi kemaslahatan anak itu sendiri, tetapi kemudian pada saat dihadapkan dengan realita yang terjadi di sekitar kita, maka hukumnya pun berubah menjadi boleh, disisi inilah fikih mengandung nilai yaitu pengelolaan keuangan bagi anak dalam kecakapan bertransaksi, hal ini juga ditujukan untuk menghindari adanya penipuan dalam proses jualbeli.
Dari sisi filosofis jualbeli sendiri, yaitu ridho bi ridho (saling rela merelakan), ini sebagai landasan dasar bahwa ada kesepakatan dari pihak pemjual dan juga pembeli, apabila syarat ini sudah tercapai maka jual beli tersebut dianggap sah
Masih tentang pentingnya pelatihan pengelolaan keuangan bagi anak di beberapa sekolah terdapat kegiatan yang dinamakan “market day” Dalam kegiatan bermain “Market Day” anak diajak untuk memerankan sebagai penjual dan pembeli dimana ada transaksi jual beli dan anak memperoleh sesuatu secara nyata dengan menggunakan uang sebagai alat untuk pembayaran. Dengan bermain yang sesungguhnya maka akan ada komunikasi kedua belah pihak dimana penjual menawarkan barang dagangannya dan pembeli memilih apa yang diinginkan sehingga penjual dan pembeli merasakan bahwa uang dari pemberian ibunya dibelikan makanan sedangkan anak yang menjual merasakan bahwa makanan yang dibuat ibunya telah laku terjual. Disinilah Kecerdasan finansial dan jiwa wirausaha bisa dikenalkan guru kepada anak sejak dini.
Program dapat memberikan manfaat bagi anak-anak usia dini untuk:
- Meningkatkan kemampuan berhitung: Transaksi yang dilakukan oleh anak kecil dapat membantu meningkatkan kemampuan berhitung mereka, seperti menghitung uang, melakukan perhitungan sederhana, dan membandingkan harga barang.
- Meningkatkan pemahaman tentang nilai uang: Dengan melakukan transaksi, anak kecil dapat belajar tentang nilai uang dan pentingnya menabung untuk mencapai tujuan jangka panjang.
- Mengembangkan keterampilan sosial: Transaksi juga dapat membantu anak kecil mengembangkan keterampilan sosial seperti berinteraksi dengan orang lain, memahami peran penting dalam perdagangan, dan menghargai nilai kerja keras.
- Meningkatkan kemandirian: Dengan membiarkan anak kecil melakukan transaksi, mereka dapat belajar untuk mandiri dan mengambil tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri.
- Memperkenalkan konsep keuangan: Melalui transaksi, anak kecil dapat belajar tentang konsep keuangan seperti pengeluaran, penghasilan, dan anggaran.
- Dalam melakukan transaksi, orang tua atau pengasuh dapat memberikan referensi kepada anak kecil dengan memberikan contoh nyata dan menjelaskan secara terperinci mengenai manfaat dan nilai-nilai yang dapat diambil dari setiap transaksi yang dilakukan.
psikolog anak Dr Seto Mulyadi maupun konsultan bisnis Ir. Sri Bramantoro Abdinagoro, berpendapat tentang manfaat belajar berbisnis dan mengelola uang sejak dini. Menurut Dr Seto Mulyadi, saat ini sangat banyak orang yang bergelar master dan doktor, namun kemampuan mengelola uangnya sangat rendah. Itu karena mereka tak memiliki kecerdasan finansial. Selain itu anak yang sejak dini diajarkan cara mengelola uang, juga bisa tumbuh menjadi pribadi yang kreatif dan mandiri. Tak cuma itu, anak pun bisa memiliki jiwa kewirausahaan. kegiatan di atas tidak sepenuhnya dibebankan kepada anak. Peran orang tua dan guru juga diperlukan dan harus disertakan[9].
D. Kesimpulan
Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia di dunia ini tidak lain tugasnya hanya ibadah kepadanya. Dalam ekosistemnya, Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi memerlukan pertolongan satu sama lainnya dalam memperoleh kemajuannya. Sehingga dengan perkembangan zaman, hukum Islam dalam hal jual beli berkembang pula karena hukum Islam bersifat fleksibel, elastis, dan adil demi mencapai kemaslahatan. Al-quran menerangkan bahwa hukum jual-beli adalah halal.
Ini memicu pada transaksi bagi anak kecil. Diatas telah menjelaskan bahwa anak yang belum mencapai ketentuan syarat jual beli itu tidak diperbolehkan, dengan mengingat besarnya kemudharatan anak kecil yang belum cakap dalam mengelola uang dan belum cakap dalam berkomunikasi dengan baik layaknya seorag penjual dan pembeli, akan tetapi realita yang terjadi malah kebanyakan anak kecil sudah banyak yang melakukan transaksi dengan pengawasan walinya atau tidak dalam pengawasan, maka fiqih merespon bolehnya jual beli yang dilakukan anak yang belum memenuhi syarat, dengan catatan, anak tersebut diberikan Pendidikan praktek jualbeli seperti “market day” ini adalah program unggulan yang biasa dilaksanakan di sekolah dasar, dengan tujuan melatih para siswa dalam bertransaksi.
Catatan kaki:
[1] Ibnu Qosim al- Ghazi, Fathul Qorib Mujib, Cet, darul kitab wasatiyah,Hlm 72.
[2] Devisi fath al- Qirib tim pembukaan ANFA’ 2015,irsyadul masail fi fathul qorib, cet, lirboyo press, Hlm 370.
[3] Muhammad Nawawi Bin Umar al- Jawi, Qutul Habibil Ghorib Tawsyih Ala Fathul Qorib Mujib,darul kutub al- Islamiyah, Hlm 279.
[4] Ibnu Qosim al- Ghazi, Fathul Qorib Mujib, Cet, darul kitab wasatiyah,Hlm 62.
[5] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Al Hushni Al Husaini Ad-Dimasyq, Kifayatul Ahya, Cet. Haromain, Juz. 1, Hlm. 240.
[6] Sayyid ‘Abdurrahman Bin Muhammad Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin, Cet. Pesantren Fathul Ulum, Hlm 124.
[7] NASIR, Muhammad. Aksiologi Ilmu Pengetahuan dan Manfaatnya Bagi Manusia. Syntax Idea, 2021, 3.11: 2457
[8] Ibid, 2459.
[9] Prasetyaningsih, Asri. “Membentuk Jiwa Kewirausahaan pada Anak Usia Dini melalui Kegiatan “Market Day”.” SELING: Jurnal Program Studi PGRA 2.2 (2016): 88-102.