Ainie Tsuroyya
Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda Semester VI
Pendahuluan
Hukum Islam menaruh perhatian banyak terhadap anak-anak, di dalam hukum islam sendiri ditemukan berbagai hukum mengenai hak dan kewajiban bagi anak-anak. Dalam syari’at islam ada penjelasan atau ketetapan mengenai hak-hak anak kecil dari ia belum lahir sampai ia menginjak masa dewasa. Semua hak-hak mengenai anak, tersebut dimaksudkan untuk lahir dan terciptanya masyarakat yang paripurna lahir dan batin, atau masyarakat yang harmonis, disamping untuk menjaga setiap individu dari gangguan orang lain. Adanya ketentuan hukum-hukum yang berkenaan dengan anak-anak merupakan peringatan bagi para pengasuh dan pendidik akan pentingnya memperhatikan anak-anak sejak kelahirannya dan memperhatikan segala urusannya sejak ia mulai merasakan angin kehidupan dunia. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak anak dapat terlindungi dan dapat tumbuh dewasa menjadi seorang manusia yang sehat dan kuat baik jasmani dan rohaninya. Karena anak diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial dan tangguh.[1]
Dalam Islam sudah menetapkan bahwasanya setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki hak atas dirinya dan menjadi kewajiban bagi orang tuanya untuk memenuhi kewajiban itu. Dalam tulisan ini akan membahas bagaimana hak-hak anak dan bagaimana jika dilihat dari pandangan filosofisnya?
Pembahasan
Setiap anak yang dilahirkan ke bumi mempunyai hak atas dirinya dan itu sudah menjadi kewajiban bagi orang tuanya untuk memenuhi hak-hak anaknya. Adapun beberapa hak yang harus diperoleh anak, sebagai berikut:
- Nasab
Sebuah ikatan keluarga atau biasa disebut keturunan yang disebabkan dari adanya hubungan darah, baik itu hubungan antara orang tua sampai canggah ataupun dari anak sampai cicit. Atau sebuah sandaran yang kokoh untuk meletakkan sebuah hubungan kekeluargaan berdasarkan darah yang masih terikat antara satu sama lain.[2]
Mempunyai nasab yang jelas adalah sebuah anugerah tersendiri yang diberikan oleh Allah kepada hambanya, hal ini sudah tertulis dalam Al-quran surah Al-Furqan ayat 54:
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا فَجَعَلَهٗ نَسَبًا وَّصِهْرًاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan musaharah dan Tuhanmu adalah Mahakuasa.”
Dalam syariat islam mengatur sedemikian ketat dalam hal menasabkan seorang anak, sehingga siapa pun tidak boleh sembarangan dalam menasabkan anak kepada yang bukan haknya. Jika anak itu darah dagingnya maka tidak boleh mengingkarinya.
Adanya kehamilan itu disebabkan karena ada hubungan badan dengan laki-laki, baik itu dilakukan dengan cara yang benar ataupun tidak. Untuk menentukan nasab anak tersebut dapat ditentukan dari beberapa hal, sebagai berikut:
a. Melalui pernikahan yang sah
Wanita yang memiliki suami dalam pernikahan yang sah, ketika anaknya lahir maka nasab anaknya secara tidak langsung ikut ayahnya. Namun, dalam pernikahan yang sah juga harus memenuhi syarat[3], sebagai berikut:
- Usia anak yang lahir tidak kurang dari masa minimal kelahiran, yakni 6 bulan setelah pernikahan atau berhubungan suami istri setelah pernikahan.
- Memungkinkan ada pertemuan antara suami dan istri.
b. Nasab yang ditentukan dari pernikahan yang fasad
Pernikahan yang berlangsung tapi dalam keadaan tidak sah, seperti menikah ketika dalam masa ihram, atau dalam keadaan iddah. Syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan nasab anak, sebagai berikut:
- Suami mempunyai kemampuan untuk menghamili istrinya.
- Melakukan senggama
- Usia anak yang lahir tidak kurang dari masa minimal kelahiran, yakni 6 bulan setelah pernikahan atau berhubungan suami istri setelah pernikahan.
c. Anak diluar nikah
Apabila sang ibu dinikahi secara Syari’ dan sesuai syarat dan ketentuannya maka berlaku hukum nasab, waris, dan nafkah. Jika sang ibu tidak dinikahi secara syar’i maka ada 2 pendapat[4]:
- Jika sang anak lahir sebelum ibu dinikahi seseorang maka anak itu nasabnya ikut ibu
- Jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi oleh ayah biologisnya ataupun tidak maka ada 2 pendapat:
- Jika anak lahir lebih dari 6 bulan maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya
- Jika lahir kurang dari 6 bulan maka anak tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.
- Radha’ah
Secara bahasa Radha’ah artinya penyusuan, yaitu anak berhak mendapatkan susu yang baik dari ibunya atau perempuan lain yang memiliki susu untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Jika menyusunya dari wanita lain, maka akibatnya hubungan menyusui itu dapat mencegah perkawinan, karena hubungan seperti itu dengan sama dengan hubungan nasab.[5] Dalam al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23, bahwasanya ibu susuan itu posisinya sejajar dengan ibu kandung. Maka dari itu, haram hukumnya menikahi ibu susuan begitupun keturunannya. Adapun ayatnya sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan.”
Kadar susuan yang menjadikan keharaman untuk dinikahi yaitu ada lima kali susuan menurut hadis dari Aisyah RA.
كان فيما أنزل من القرآن: عشر رضعات معلومات يحرمن، ثم نسخن، بخمس معلومات
Artinya: “Diturunkan dalam al-Qur’an sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi. Kemudian turun juga lima kali penyusuan yang dimaklumi.” (HR. Muslim)
Namun hadis tersebut dikuatkan dengan hadis dari Aisyah RA. dan beberapa ulama juga sepakat bahwa penyusuan yang kurang dari tiga hisapan tidak menjadikan haram untuk menikah. Adapun hadisnya sebagai berikut:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi bersabda: tidak menjadi mahram kalau hanya satu atau dua kali sedotan.”
Anak susuan yang diharamkan menikahi ibu susuan dan keturunannya ketika anak itu masih dalam usia dua tahun, yang mana masih dalam masa persusuan. Dalam firman Allah Al-quran surah Al-Baqarah ayat 223,
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.”
- Hadhanah
Hadhanah atau biasa disebut dengan pemeliharaan anak. Secara bahasa artinya disamping. Sedangkan menurut istilah adalah mendidik atau merawat seseorang yang belum bisa merawat dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan membahayakannya.[6]
Pemeliharaan anak hukumnya wajib menurut kesepakatan para ulama’, terutama bagi orang tua untuk mendidik dan memelihara anaknya dengan sebaik mungkin. Pemeliharaannya mencakup ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Kewajiban menafkahi anak bukan hanya selama masa orang tua masih terikat, tetapi ketika sudah terjadi perceraian orang tua masih mempunyai kewajiban untuk membiayai anaknya. Pemeliharaannya akan menjadi lancar apabila orang tua dapat saling bekerja sama.[7]
Hak mengasuh ditetapkan bagi ibu karena ia lebih penyayang dan lembut terhadap anak kecil. Jika seorang anak tidak mempunyai ibu, yang berhak untuk mendidik dan mengasuhnya adalah nenek (ibu dari ibunya), jika sudah tidak memiliki keduanya maka ayahnya lah yang berhak.[8]
Ada beberapa pengasuhan yang perlu dipenuhi oleh pengasuh, terutama setelah terjadinya perceraian, adapun syarat-syarat hadhanah[9], sebagai berikut:
- Baligh dan berakal sehat
- Dewasa
- Mampu mendidik
- Amanah dan berakhlak
- Beragama islam
- Merdeka
- Wanita yang mengasuh tidak menikah dengan seorang laki-laki yang bukan mahram dari anak yang diasuh.
Adapun syarat untuk yang diasuh (mahdum), sebagai berikut:
- Anak yang masih dalam usia anak-anak dan belum bisa berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya.
- Anak dalam keadaan tidak sempurna akalnya.
3. Pendidikan
Keluarga merupakan tempat terpenting bagi seorang anak, karena keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan mempunyai pengaruh besar terhadap pergaulan dan pengetahuan hidupnya. Oleh karena itu, kedua orang tua hendaknya berusaha menciptakan rumah tangga yang harmonis berdasarkan nilai-nilai agama agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak sejak usia dini. Pendidikan anak tidak hanya terjadi saat anak lahir, tetapi dimulai saat anak dalam kandungan. Yang terpenting di sini adalah mengembangkan karakter anak. Karakter dapat diartikan sebagai sifat batiniah seseorang, yang mempengaruhi segala pikiran dan tingkah laku. Karakter ini dihasilkan dari hubungan seseorang dengan orang lain, yang diperoleh dari pendidikan dan pengalaman dalam interaksi dengan keluarga, lingkungan hidup, objek ataupun peristiwa yang telah dialaminya.[10]
Dalam psikologi anak, usia kurang dari tiga tahun merupakan masa pembentukan kepribadian yang sangat penting, jika terganggu maka anak dapat menjadi anak yang bermasalah di kemudian hari, dan itu tergantung peran orang tua dalam mewujudkan hak anak dan tanggung jawab mengasuh anak (sosialisasi anak) dan perlindungan anak (pengasuhan anak). Terutama dalam mewujudkan pendidikan imtaq dan iptek bagi anak.[11] Pendidikan dan pengajaran merupakan pengajaran yang tidak boleh terlewat, dalam firman Allah al-quran At-Tahrim ayat 6,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Pada hakikatnya pendidikan itu termasuk hak bagi anak yang wajib dipenuhi oleh orang tuannya, jika anak merasa terabaikan atau merasa kurang terpenuhi, maka si anak bisa menuntut pertanggung jawabannya. Tetapi banyak juga orang tua yang masih membatasi anaknya dalam menentukan pendidikannya, seperti dalam menentukan jurusan. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua dapat memberi ruang untuk anak dalam menentukan pilihannya terutama dalam masalah pendidikan yang sesuai minat dan bakat anaknya.
Landasan Hukum Filosofis Islam
Dalam memenuhi hak-hak anak, peran ibu menjadi dominan karena faktor kedekatan secara emosional, namun peran ayah juga tidak kalah penting karena juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal melindungi, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak. Dalam pemenuhan hak-hak anak, penulis memakai penjabaran dari maqashid as-syari’ah, yang mana didalamnya tidak pernah lepas dengan penjabaran Al-Maslahah al-Dharuriyyat atau disebut Dharuriyat al-khams.
Adapun maksud dari Al-Maslahah ad-Daruriyyat yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia yang harus ada atau kebutuhan primer manusia. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam keselamatan umat manusia di Dunia maupun di Akhirat[12]. Kemaslahatannya ada lima, yaitu
- Hifdz ad-din
Anak diberi pendidikan yang layak dan orang tua mengajarkan agama kepada anak sejak masih kecil. Sampai masuk pendidikan sekolah anak orang tua diharuskan untuk mengajarkan agama kepada anaknya, sehingga dalam masa pertumbuhan, anak terbiasa dengan ajaran-ajaran agama dan dapat berakhlak yang mulia, seperti halnya orang tua mengajarkan tata cara ibadah sejak kecil.
- Hifdz an-nafs
Seorang ibu wajib menjaga anak dengan cara memberikan asi atau nutrisi yang bagus terhadap anaknya dari masih dalam kandungan sampai anak menginjak dewasa. Seperti dalam masalah anak dibawah tiga tahun dan masih dalam masa-masa wajib disusui oleh seorang ibu, anak diutamakan untuk berada dalam perawatan seorang ibu, ataupun pengganti ibunya jika ibunya sedang berhalangan atau anak sudah tidak mempunyai ibu yang mana kedudukannya bisa menggantikan ibu dan dari saudara terdekat terlebih dahulu seperti ibunya ibu (nenek) ataupun saudara-saudara ibunya.
- Hifdzu aql
Orang tua wajib mencerdaskan anaknya yaitu memberikan pendidikan kepada anak sejak anak masih kecil sampai anak dewasa, seperti menyekolahkan anak dari Tk hingga tingkatan SMA.
- Hifdz an-nasl
Hak anak untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab, maka orang tua sebaiknya memenuhi hak itu dikarenakan ketika anak semakin dewasa maka akan semakin rumit masalahnya, karena kejelasan nasab juga menentukan nasab-nasab selanjutnya.
- Hifdzul mal
Bagi orang tua anak termasuk harta yang paling berharga, maka dari itu seyogyanya orang tua dapat memenuhi hak-hak anaknya, menyayangi, melindungi, dan mendidik anaknya sampai maut memisahkan.
Kesimpulan
Dalam Islam sudah menetapkan bahwasanya setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki hak atas dirinya dan menjadi kewajiban bagi orang tuanya untuk memenuhi kewajiban itu, adapun hak-hak yang harus didapatkan oleh anak, sebagai berikut: nasab, rada’ah, hadhanah, dan pendidikan.
Dalam pemenuhan hak-hak anak, penulis memakai penjabaran dari maqashid as-syari’ah, yang mana didalamnya tidak pernah lepas dengan penjabaran Al-Maslahah al-Dharuriyyat atau disebut Dharuriyat al-khams. yaitu ada hifdz ad din, hifdz an nafs, hifdzu aql, hifdzun nasl, dan hifdzul mal.
End Notes:
[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak), (Jakarta: PT Al-Mawardi Prima, 2004), Cet.1, Hal.vi-vii
[2] Bab II Kajian Teoritik, https://eprints.umm.ac.id/81636/33/BAB%20II.pdf
[3] Hak Nasab Anak dan Waris pada Suami-Istri, https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hak-nasab-anak-dan-waris-pada-suami-istri-yGd6e diakses pada 24 Februari 2023
[4] Status Nasab dan Hak Waris Anak di Luar Nikah, https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/status-nasab-dan-hak-waris-anak-di-luar-nikah-CIiIy diakses pada 24 Februari 2023
[5] Burhanatut Dyana, Hak Anak dalam Kajian Fikih, (Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 4, No. 2, 2017), hal. 207
[6] Huzaemah TY. Fiqih Anak, Op.Cit. hal. 101
[7] Burhanatut Dyana, Op. Cit. hal 209-210
[8] Huzaemah TY. Op. Cit. hal. 106-107
[9] Burhanatut Dyana, Op. Cit. hal. 211-212
[10] Burhanatut Dyana, Op. Cit, hal. 214
[11] Nur Laela, Peran Orang tua Terhadap Pendidikan Anak Dalam Perspektif Islam, (An-Nidzam Volume 03, No. 01, Januari-Juni 2016), hal. 64.
[12] Al-Qardhawi, Ri’ayat Al-Bi’ah fi Syari’at al-Islam, (Daur As-Syuruq, 2001), hal. 44.