Analisis Filosofis Hukum & Pidana Mati
Oleh :
Mumammad Hafizt Nahar
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Hal ini di latar belakangi oleh sebuah kasus hukum pidana di tahun 2022,dalam kasus pidana yang saya amati dari proses menganalisis hukum, merupakan pencerminan dari keberhasilan atau tidaknya suatu penyelesaian perkara di dalam sebuah hukum, Hukum menjadi landasan yang paling dasar di dalam suatu kehidupan. Jika di dalam suatu negara tidak ada suatu hukum maka negara tersebut akan mengalami berbagai masalah yang akan timbul. Hukum merupakan mekanisme dalam kontrol sosial di dalam masyarakat, masyarakat menerapkan hukum secara sistematis untuk menegakkan hukum yang terdapat di Indonesia. [1]Hukum merupakan alat yang digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia dan tata kehidupan agar sesuai dengan nilai maupun norma yang berlaku, didalam hukum terdapat ada suatu sanksi. Sanksi tersebut mempunyai sifat tegas dan nyata sehingga sanksi tidak dapat diganggu gugat oleh pihak siapapun. Seseorang jika telah melanggar hukum, maka akan mendapatkan suatu sanksi. Penyelesaian suatu hukum dilakukan oleh aparat-aparat hukum di Indonesia.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang bersifat publik karena mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Oleh karena itu didalam sebuah hukum pidana terdapat suatu tindakan-tindakan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara. Tindakan-tindakan tersebut yang sering kita pahami adalah suatu proses hukum. Berjalannya suatu proses hukum haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat sewenang-wenang karena proses hukum hal yang paling penting dalam dunia hukum.
Di dalam suatu hukum harus menerapkan aspek-aspek yang digunakan untuk penyelesaian perkara di depan hukum. Aspek tersebut merupakan hal yang harus diterapkan untuk kelangsungan suatu peradilan dan hukum di dunia maupun di Indonesia. Keadilan dan kepastian hukum merupakan pokok sekaligus landasan dalam hukum yang harus diterapkan dan harus dicerminkan dalam hukum. Karena tanpa keadilan dan kepastian hukum suatu proses hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Jika keadilan dan kepastian hukum tidak diterapkan dalam dunia hukum, maka kelangsungan suatu hukum tidak dapat berjalan dengan adil. Akibat dari tidak diterapkannya keadilan dan kepastian hukum timbul suatu ketidak keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam hukum. Penyelesaian suatu perkara harus adil antara hak dan kewajiban satu pihak harus sama antara hak dan kewajiban pihak yang lainnya. Sehingga jika sudah menerapkan keadilan di dalam hukum, maka dapat tercapainya suatu kepastian hukum. Kepastian hukum harus saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang terkait. Kepastian hukum tidak dapat merugikan berbagai pihak. Sehingga kepastian hukum harus seimbang. Sehingga perkara tersebut dapat dipertanggungjawabkan hukumnya.[2]
BAB II
Pembahasan
A. Hukum
a. Pengertian Hukum
Dalam perkembangan definisi terdapat dua kubu yang berbeda . Dikarenakan hukum itu tidak dapat ditangkap oleh Panca dan Indera, sehingga sulit untuk membuat definisi hukum yang memuaskan. Dan apabila ditanyakan kepada 100 orang tentang definisi hukum bisa jadi 100 definisi yang didapatkan. Sulit untuk mencari definisi hukum yang definitif atau tunggal. Berdasarkan inilah pendapat pertama mengatakan bahwa tidak mungkin untuk memberikan definisi tentang hukum. Pendapat kedua mengatakan bahwa definisi itu ada manfaatnya, karena dapat memberi sekedar pengertian pada orang yang baru memulai mempelajari hukum.
Oleh karena perbedaan pendapat di atas maka akan lebih bijak jika dirumuskan unsur-unsur dan ciri-ciri yang terkandung dari beraneka ragam pendapat tentang definisi hukum.
b. Unsur-unsur & Ciri-ciri hukum
Adapun unsur-unsur hukum antara lain :
- Peraturan mengenai tingkah laku manusia.
- Peraturan dibuat oleh badan yang berwenang.
- Peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak dapat dipaksakan.
- Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan.
Adapun Ciri-ciri nya antara lain :
- Adanya suatu perintah, larangan, dan kebolehan.
- Adanya sanksi yang tegas.[3]
c. Macam-macam Hukum/Norma
Secara garis besar, hukum / norma dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian :
- Agama
Aturan agama terbagi dua, yaitu agama wahyu (samawi, sama’i, langit) dan agama budaya. Agama wahyu adalah suatu ajaran Tuhan yang berisi perintah, larangan, dan kebolehan yang disampaikan kepada umat manusia berupa wahyu melalui malaikat dan utusanNya. Adapun agama budaya adalah ajaran yang dihasilkan oleh pikiran dan perasaan manusia secara kumulatif. Hukum agama merupakan tuntunan hidup manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik dan benar. Mengatur tentang kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Sanksi terhadap pelanggaran aturan agama berasal dari Tuhan, baik sanksi yang diterima langsung di dunia maupun di akhirat nanti.
- Kesusilaan
Aturan kesusilaan adalah aturan hidup yang berasal dari suara hati manusia yang menentukan mana perbuatan baik dan mana perbuatan tidak baik. Asal aturan kesusilaan berasal dari manusia itu sendiri. Aturan kesusilaan mendorong manusia untuk berbuat kebaikan.
Aturan kesusilaan ditujukan kepada sikap batin manusia. Sanksi akibat pelanggaran terhadap aturan kesusilaan juga berasal dari dalam batin manusia itu sendiri, seperti rasa penyesalan, rasa malu, rasa takut, perasaan bersalah, dan lain sebagainya.
- Kesopanan
Aturan kesopanan adalah aturan hidup yang timbul dari pergaulan hidup masyarakat tertentu. Landasan aturan kesopanan adalah kepatutan, kepantasan, dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Kaidah kesopanan ditujukan kepada sikap lahir setiap pelakunya demi ketertiban masyarakat dan untuk mencapai suasana keakraban dalam pergaulan. Sanksi yang didapatkan apabila berlaku tidak sopan biasanya berupa teguran atau celaan atau hinaan atau pengucilan dari masyarakat di mana dia berada.Peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” sangat tepat untuk menggambarkan aturan kesopanan ini.
- Hukum Resmi
Aturan hukum resmi adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang, sehingga berlakunya dapat dipertahankan. Hukum resmi berasal dari luar diri manusia. Aturan hukum ditujukan bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib. Hukum Resmi tidak hanya membebani seseorang dengan kewajiban semata, melainkan juga memberikan hak kepada seseorang.
d. Sistem
Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
Adapun komponen sistem hukum tersebut, yaitu:
- Masyarakat hukum; himpunan kesatuan-kesatuan hukum, baik individu maupun kelompok, sekaligus tempat hukum itu diterapkan.
- Budaya hukum; pemikiran-pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya.
- Filsafat hukum; formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia.
- Ilmu hukum; media komunikasi antara teori dan praktik hukum sekaligus media pengembangan teori, desain, konsep hukum.
- Konsep hukum; formulasi kebijaksanaan hukum yang ditetapkan oleh suatu masyarakat hukum.
- Pembentukan hukum; bagian proses hukum yang meliputi lembaga aparatur dan saran pembentukan hukum.
- Bentuk hukum; hasil proses pembentukan hukum.
- Penerapan hukum; proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum, meliputi lembaga-aparatur-saran-prosedur penerapan hukum.
- Evaluasi hukum; proses pengujian kesesuaian antara hasil pener- apan hukum dan undang-undang atau tujuan hukum yang telah dirumuskan sebelumnya.
e. Sumber
- Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu lintas), perkembangan internasional, keadaan geografis.
Dalam literatur lain dijelaskan bahwa sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber berasalnya substansi hukum. Salmond dan Bodenheimer merujuk kepada hukum yang tidak dibuat oleh organ negara merupakan sumber-sumber hukum dalam arti materiil. Sumber-sumber dalam arti materiil berupa kebiasaan, perjanjian, dan lain-lain.” Berbeda tapi memiliki makna yang sama, literatur lain lagi menjelaskan bahwa sumber hukum materiil adalah beberapa faktor yang dianggap dapat menentukan isi hukum. Faktor yang dimaksud di sini adalah faktor idiil dan faktor riil. Faktor idiil adalah beberapa patokan yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk hukum. Sedangkan faktor riil adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam mayarakat dan merupakan petunjuk hidup bagi masyarakat yang bersangkutan.
- Sumber Hukum Formil/Formal.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum ditinjau dari segi pembentukannya. Dalam sumber hukum formal ini terdapat rumusan berbagai aturan yang merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati masyarakat dan penegak hukum. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.
Sumber hukum dalam arti formal ini secara umum dapat dibedakan menjadi:
- Undang-undang (statute)
- Kebiasaan dan adat (custom)
- Traktat (treaty) atau perjanjian atau konvensi internasional.
- Yurisprudensi (case law, judge made law)
- Pendapat ahli hukum terkenal (doctrine)
f. Fungsi
Secara umum yang dimaksud dengan fungsi adalah tugas, pekerjaan ataupun kegunaan. Para pakar hukum berbeda-beda didalam menerangkan fungsi hukum, oleh karena itu, penulis menyimpulkan dari sekian beberapa pendapat pakar hukum mengenai fungsi hukum sebagai berikut :
- Mengatur pergaulan hidup masyarakat
- Menyelesaikan pertikaian
- Memelihara dan mempertahankan tata tertib/ aturan – aturan.
- Mengubah aturan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat
- Menegakkan keadilan dan kepastian hukum
- Mengarahkan pembangunan & pembentukan masyarakat yang hendak dicapai (sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara)
- Membina kesatuan bangsa
- Menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. [4]
g. Hak & Kewajiban
- Hak
Ada banyak ragam definisi yang diberikan oleh para pakar dalam mendefinisikan hak, diantaranya adalah hak adalah wewenang yang diberikan oleh hukum objektif (hukum yang berlaku umum) kepada subjek hukum. Pendapat lain mengatakan bahwasannya hak adalah kepentingan – kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwasanya hak adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hakikat kemanusiaan.
Berdasarkan pendapat – pendapat diatas mengenai definisi hak, penulis mengambil kesimpulan bahwa kehendak, kebebasan dan kepentingan semuanya merupakan sesuatu yang ada pada diri manusia. Sehingga penulis merasa bahwa definisi yang dibawakan oleh Peter Mahmud Marzuki telah mencakup definisi pakar lain mengenai hak secara umum. Pada akhirnya, hak adalah sesuatu yang telah ada dan melekat pada diri manusia, berupa keinginan, kebebasan & kepentingan yang ditetapkan dan dijamin oleh hukum.
Berbicara mengenai hak, hal yang tak kalah penting untuk dinahas adalah pembatasan mengenai penggunaan hak. Hal ini bertujuan agar seseorang dengan hak yang dimilikinya tidak mengganggu atau bahkan menghilangkan hak yang ada pada orang lain.
- Kewajiban
Secara umum kewajiban dipahami sebagai tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan. Rahman syamsuddin berpendapat bahwa kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, tidak hanya yang diberikan oleh kaidah/norma hukum saja, tetapi juga beban untuk harus melakukan sesuatu yang diberikan oleh kaidah/norma agama, kaidah/norma kesusilaan, dan kaidah/norma kesopanan. Apabila seseorang tersebut tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, seseorang tersebut akan mendapat sanksi/ganjaran sesuai dengan kaidah/norma yang dilanggarnya.
h.Tujuan Hukum di Indonesia
Dari sekian banyak pendapat yang ada mengenai tujuan hukum, apabila hendak diinventarisasi terdapat 2 teori, yaitu teori etis dan teori utilitas. Kedua teori ini merupakan landasan dari teori atau pendapat lainnya, dan terori lainnya itu merupakan varian atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas.”
- Teori Etis
Filsuf Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere (slogan lengkapnya iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere) yang dapat diartikan “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan menjadi 2, yaitu keadilan komutatif (keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jasanya) dan keadilan distributif (keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa- jasa perseorangan). Disebut dengan toeri etis karena isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai mana yang adil dan mana yang tidak adil. Teori ini oleh L. J. Van Apeldoorn dianggap berat sebelah karena terlalu mengagungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan peraturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum.
- Teori Utilitas
Jeremy Bentham, seorang pakar hukum asal Inggris, mengemukakan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagium yang terkenal adalah “the greatest happiness for the greatest number” (kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbanyak). Teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka munculah semboyan yuridis terkenal yang dikumandangkan oleh Ulpianus dalam Digesta “lex dura sed tament scripta” atau “lex dura sed ita scripta” yang kalau diterjemahkan artinya “undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya”.
Kedua teori di atas, mengandung kelemahan yang sama, yaitu tidak seimbang atau berat sebelah. Akibat mengagungkan keadilan, maka teori etis mengabaikan kepastian hukum. Apabila kepastian hukum terabaikan, maka ketertiban akan terganggu. Padahal justru dengan ketertiban. Keadilan dapat terwujud dengan baik. Sebaliknya, karena terlalu mengagungkan kegunaan, teori utilitas mengabaikan keadilan. Justru hukum dapat berfaedah, apabila sebanyak mungkin menegakkan keadilan.
Berdasar dari kelemahan-kelemahan kedua teori tersebut, muncul banyak teori-teori turunan atau gabungan dari kedua teori tersebut, yang tidak terlalu menonjolkan keadilan atau menonjolkan kemanfaatan. Sampai hari ini pun, perkembangan teori tujuan hukum masih tetap berlangsung. Contohnya adalah Tujuan hukum versi teori pengayoman (pengayoman sebagai lambang keadilan yang disimbolkan dengan Pohon Beringin). Ditemukan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo untuk menggantikan simbol keadilan negara barat yang dirupakan dengan Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala). Menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud dengankan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah:
- Mewujudkan ketertiban dan keteraturan,
- Mewujudkan kedamaian sejati,
- Mewujudkan keadilan, dan
- Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
B. Pidana
-
- Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana adalah kumpulan peraturan yang mengatur perbuatan, baik menyuruh berbuat atau melakukan sesuatu, maupun melarang berbuat atau melakukan sesuatu yang diatur di dalam undang-undang dan peraturan daerah yang diancam dengan sanksi pidana.
Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar perintah untuk melakukan sesuatu atau larangan untuk tidak melakukan sesuatu secara melawan hukum dengan kesalahan dan diberikan sanksi, baik di dalam undang-undang maupun di dalam peraturan daerah.
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu telah dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk pengertian burgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda. Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum pidana), sengaja agar diberikan sebagai nestapa. Selanjunya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan pengertian hukum pidana, maka tidak terlepas dari KUHP yang memuat dua hal pokok, yakni:
a. Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.
b. KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Sedangkan definisi hukum pidana menurut Van Bemmelen membagi ke dalam pidana materiil dan pidana formil. Selanjutnya Van Bemmelen menjelaskan hal tersebut sebagai berikut: “hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu. ”Pada hakikatnya, hukum pidana materiil berisi larangan atau perintah yang jika tidak dipatuhi diancam dengan sanksi. Adapun hukum pidana formil adalah aturan hukum yang mengatur cara menegakkan hukum pidana materiil. Terlepas dari pembagian tersebut, menurut penulis, bahwa hukum pidana adalah kumpulan peraturan yang mengatur perbuatan, baik menyeruh berbuat atau melakukan sesuatu, maupun melarang berbuat atau melakukan sesuatu yang diatur di dalam undang-undang dan peraturan daerah yang diancam dengan sanksi pidana.
2. Tujuan hukum pidana:
- Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik yang ditujukan:
- Menakut-nakuti orang banyak.
- Menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.
- Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
3. Asas Hukum Pidana
Bidang hukum pidana adalah bidang hukum yang memuat peraturan tentang pelanggaran dan kejahatan serta sanksi yang akan diberikan atas pelanggaran dan kejahatan tersebut. Hukum pidana dibagi ke dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil adalah peraturan-peraturan yang menegaskan tentang perbuatan apa yang dapat dikenakan hukuman, siapa yang dapat dihukum dan dengan hukuman apa. Sedangkan hukum pidana formil adalah peraturan yang mengatur cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan dari hukum pidana materiil. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dan diancam dengan saksi pidana disebut juga dengan delik. Sesuatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana dan dapat dikenai sanksi apabila perbuatan tersebut dilarang dalam suatu peraturan perundang- undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) atau dikenal dengan asas legalitas (legality principle). Berikut beberapa asas-asas umum yang ada dalam hukum Asas legalitas: didasarkan pada adagium nullum delictum nulla pidana:
a. Poena sine praevia lege poenale, asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, maksudnya adalah “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
b. Asas teritorialitas: asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia.(Pasal 2 dan 3 KUHP).
c. Asas nasional aktif: asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana diluar wilayah Indonesia, disebut juga asas personalitet.
d. Asas nasional pasif: asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia.
5. Asas universalitas: asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional.
6. Asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan: disebut juga geen straf zonder schuld.
7. Asas bahwa apabila ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah peristiwa itu terjadi, maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi si tersangka.
8. Asas hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana karena:
- nebis in idem (tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap-Pasal 76 KUHP).
- kekedaluwarsaan (Pasal 78 KUHP).
- matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP).
- pembayaran denda (Pasal 82).
- grasi, amnesti, dan abolisi.
C. Hukum Pidana Mati
-
- Pengertian Hukum Pidana Mati
Mors dicitur ultimum supplicum berpendapat Pidana mati adalah hukuman terberat. Pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat dengan cara mengambil nyawa yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Jenis Pidana ini paling banyak mendapatkan sorotan dan perbedaan pendapat pandangan, ada yang pro dan ada yang kontra baik dari kalangan ahli hukum Indonesia maupun luar Indonesia, dengan berbagai alasan dan argumennya masing-masing. Kata “hukuman mati” terdiri dari dua kata “hukuman” dan “mati”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, hukuman adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat istiadat yang dianggap berlaku bagi banyak orang dalam kehidupan bermasyarakat. Maka hukuman adalah sebuah sanksi yang diberikan kepada seseorang yang melanggar undang-undang. Sedangkan mati mempunyai arti kehilangan nyawa. Dengan demikian arti dari hukuman mati adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh pengadilan resmi suatu negara, atas dasar tindakan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.
2. Cara-Cara Eksekusi Hukuman Mati
Dalam sejarah dikenal berbagai macam cara dalam melaksanakan hukuman mati antara lain adalah:
- Kursi Listrik
Kursi listrik digunakan untuk mengeksekusi seseorang, narapidana diberikan arus listrik antara 500 dan 2000 volt per 30 detik, dimana setiap asap yang dikeluarkan dari kaki dan kepalanya. Setelah itu narapidana diperiksa oleh seorang dokter, dan jika dibutuhkan penambahan arus listrik dapat saja diberikan.
- Kamar gas
Ketika seseorang dieksekusi menggunakan gas, dia diikat diatas kursi dimana dibawahnya ditempatkan sebuah wadah yang berisi air penyulingan minuman keras. Di Atas wadah digantung tas berjaring berisi setengah kilo pil sodium sianida. Pil sodium tersebut akan berubah menjadi asam buru ketika dimasukan ke dalam air. Narapidana diinstruksikan untuk menghirup nafas. Setelah dia menghirup asam amino tersebut maka oksigen yang ada di otak akan terputus. Dengan seketika tubuh seseorang tersebut akan mengejang dan setelah beberapa menit dia akan mengalami kesulitan bernafas tanpa orang tersebut kehilangan kesadarannya. Mata orang tersebut akan keluar, kulitnya berubah menjadi ungu dan orang tersebut mulai meracau. Setelah sepuluh menit orang tersebut akan berhenti bergetar dan dokter akan mengasumsikan orang tersebut telah mati.’
- Suntik Mati dan Cara Eksekusi Lainnya
Telah disebutkan bahwa eksekusi menggunakan suntikan mematikan adalah manusiawi karena satu-satunya rasa sakit yang dirasakan oleh narapidana adalah jarum suntik menusuk tubuh seseorang. Tapi cara eksekusi ini juga gagal, terutama jika suntikan dilaksanakan oleh staf yang kurang berpengalaman.
Cara lain dalam melakukan eksekusi mati adalah dengan cara seperti mencekik, memancung atau mati didepan regu penembak, dapat menghasilkan kesakitan yang luar biasa. Mencekik merupakan cara yang paling menyakitkan, dalam melakukan eksekusi ini si korban dicekik sementara pada saat yang sama baja metal ditekankan ke lehernya. Pencekikan ini di lakukan di Spanyol pada tahun 70an.
3. Pro dan Kontra Hukuman Mati
Prof. Dr Andi Hamzah, S.H menyatakan bahwa tujuan pemidanaan berkembang menuju kearah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan yang bermaksud untuk memuaskan pihak yang dendam baik dari. Masyarakat sendiri maupun pihak-pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Tujuan lain yang dianggap tidak kalah tuanya adalah tujuan yang dimaksudkan untuk membalas dosa (expiation) atau retribusi.
Yang dipandang sebagai tujuan yang berlaku saat ini adalah variasi dari bentuk-bentuk penjagaan, perlindungan/menjaga ketertiban masyarakat dari perbuatan jahat, serta perbaikan diri dari yang berbuat jahat.
Tujuan pemidanaan modern saat ini adalah perbaikan diri dari orang yang berbuat jahat. Sebagai salah satu bentuk sanksi pidana, argumentasi mempertahankan pidana mati hanya memenuhi tujuan penjeraan. Sedangkan tujuan memberikan perlindungan atau menjaga ketertiban masyarakat dapat dicapai dengan pidana penjara seumur hidup sehingga tidak diperlukan lagi pidana mati. Bahkan pidana mati secara nyata bertentangan dengan tujuan pemidanaan yaitu memperbaiki diri dari orang yang berbuat jahat. Dengan sendirinya hukuman mati bertentangan dengan filosofi tujuan pemidanaan yang menitik beratkan kepada rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana.
Teori menakutkan (penjeraan) menyatakan dengan adanya pidana mati sebagai bentuk hukuman paling berat akan menghambat munculnya orang yang mempunyai potensi melakukan tindak pidana yang sejenis karena takut akan ancaman hukumannya. Hal itu didasarkan dengan asumsi bahwa fungsi utama dari sistem adalah untuk melindungi kebaikan yang lebih besar” dan hal itu dapat dicapai dengan menunjukan contoh akibat yang harus diderita oleh seseorang yang melakukan tindak pidana. Namun terhadap dalil-dalil efek penjeraan, khususnya dalam hal pidana mati, terdapat kritik yang sangat mendasar sehingga alasan mempertahankan pidana mati karena efek penjeraan tidak dapat dipertahankan lagi.
O’Byrne mengemukakan empat pendapat atau kritik terhadap dalil penjeraan terhadap pidana mati, yaitu:
a. Sisi Moral, Pidana mati yang dilakukan dengan mengorbankan seseorang untuk kepentingan yang lain telah mereduksi kemanusiaan menjadi sekedar alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini bertentangan dengan etika Immanuel Kant yang harus memperlakukan manusia sebagai tujuan dan tidak pernah memperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
b. Hal apa yang membuat hukuman mati memiliki efek penjeraan yang lebih besar dibanding jenis hukuman yang lain, contoh hukuman penjara seumur hidup. Hal itu tidak terlihat dalam kenyataan, terutama di negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati namun jarang dilakukan.
c. Sisi Asumsi bahwa seseorang bertindak selalu bersifat rasional dan penuh perhitungan. Fakta menunjukan bahwa pembunuhan yang diancam dengan hukuman mati adalah tindakan karena nafsu sesaat dan banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami kompleksitas hukum.
d. Data nyata yang menggambarkan bahwa pidana mati tidak memiliki efek penjeraan, paling tidak terbukti memiliki efek penjeraan yang lebih besar dari jenis hukuman lain. Di Negara Nigeria tingkat pembunuhan bertambah tinggi meskipun berlaku hukuman mati.
4. Ketetapan Hukum Pidana Mati di Indonesia
Dalam mempelajari ketetapan hukum saya mengutip pendapat Roeslan Saleh menyatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan berat seperti:
- Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil Presiden).
- Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang).
- Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang).
- Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut).
- Pasal 340 (pembunuhan berencana).
- Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati).
- Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati).
- Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya antara lain;
- Pasal 2 Undang-undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
- Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
- Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau bahan peledak.
- Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.
- Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
- Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika.
- Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
BAB III
Kesimpulan
Hukum secara sederhana bisa kita pahami sebagai aturan mengenai tingkah laku manusia berupa perintah maupun larangan yang disertai dengan hukuman atau sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Pidana adalah nestapa(kesusahan/kesedihan) yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang (hukum pidana), mati adalah hilangnya nyawa. Dengan demikian, Hukuman Pidana Mati adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh pengadilan resmi suatu negara, atas dasar tindakan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.
Didalam penetapan hukuman mati, terdapat pro dan kontra dikalangan pakar hukum. Hal ini diakibatkan karena perbedaan pandangan didalam kadar kecukupan untuk menakut-nakuti dan mendidik masyarakat agar tidak melakukan kejahatan dan memperbaiki orang-orang yang telah melakukan tindak kejahatan yang akhirnya menyebabkan perbedaan didalam menyikapi hukuman pidana mati. Golongan yang pro terhadap penetapan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati akan menghambat munculnya orang yang mempunyai potensi melakukan tindak pidana yang sejenis karena takut akan ancaman hukumannya. Dan melaksanakan hukuman mati dengan dasar melindungi kebaikan yang lebih besar. Sedangkan golongan yang kontra berpendapat bahwa hukum yang memiliki tujuan memberikan perlindungan atau menjaga ketertiban masyarakat dapat dicapai dengan pidana penjara seumur hidup sehingga tidak diperlukan lagi pidana mati. Bahkan pidana mati secara nyata bertentangan dengan tujuan pemidanaan yaitu memperbaiki diri dari orang yang berbuat jahat. Dengan sendirinya hukuman mati bertentangan dengan filosofi tujuan pemidanaan yang menitik beratkan kepada rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana.
Catatan kaki:
[1] Samsul Wahidin, “Hakim Agung Sebagai Agent Of Change Menuju Law And Legal Reform”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 5,No. 2,Desember 2014, h160.
[2] Putri, K.D.A & Arifin, R.(2018).Tinjauan teoritis keadilan dan kepastian dalam hukum di Indonesia. Vol. 2, hal. 142 – 143
[3] Syamsuddin, Rahman & Aris, Ismail. 2014. Merajut Hukum di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.hal no 2.
[4] Purwoleksono, Didik Endro. (2014). Hukum Pidana.Surabaya: Airlangga University Press.