Analisis Filsafat Hukum Fikih Khuntsa
Oleh: Anittabi’ Millata Hanifa
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang tercipta dengan segala aturan yang dimaksudkan untuk mengatur segala tata perilaku manusia. Aturan-aturan syara’ yang dihasilkan dari kajian ayat dan hadits telah jelas mengatur para manusia mukallaf. Penerapan aturan syara’ ini berpijak pada perbedaan kelamin yang signifikan, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini didasari bahwa manusia memang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan seperti yang ditegaskan dalam Al-qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر و أنثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
“ Hai manusia, Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal secara baik”.
Identifikasi jenis kelamin manusia dapat diketahui dengan memperhatikan bagian-bagian tertentu, yaitu bagian lahiriyah. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dewasa ini terdapat kenyataan yang semakin kompleks. Salah satunya yaitu, adanya khuntsa atau yang biasa disebut kelamin ganda. Dalam hukum islam, khuntsa ialah seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan atau ia memiliki lubang namun tidak menyerupai alat kelamin laki-laki maupun alat kelamin perempuan akan tetapi dari lubang tersebut ia tetap bisa mengeluarkan air seni.[1]
Adapun dalam dunia medis kelamin ganda sebenarnya disebut dengan ambiguous genitalia yang artinya alat kelamin meragukan namun belakangan ini para ahli endokrin menggunakan istilah Disorders of Sexual Development (DSD). Pembahasan medis dalam hal ini mengungkapkan bahwa orang dengan kelamin ganda adalah penderita interskesual yaitu suatu kelamin dimana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik, atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita.[2]
Menurut penelitian, jumlah penderita DSD dengan alat kelamin bermasalah di Semarang saja setiap saatnya kian meningkat, belakangan ini jumlah penderita yang datang rata-rata 2 orang perminggu. Sejak tahun 1991 jumlah penderita yang terdaftar dalam laboratoriun Sitogenetika Pusat Riset Biomedik FK Undip Semarang untuk pemeriksaan kromosom (sebagai penentu jenis kelamin) lebih dari 400 orang.[3]
Sebenarnya dalam ranah hukum islam, khususnya fiqih, diskusi mengenai khuntsa ini bukanlah suatu hal yang baru akan tetapi memang tidak banyak tokoh-tokoh islam yang mengangkat pembahasan mengenai khuntsa. Fiqih, yang merupakan hukum islam yang berkaitan dengan amaliah manusia melalui dalil-dalil yang diperoleh dari Alquran maupun Hadis yang terperinci[4] ini juga erat kaitannya dengan persoalan identitas seorang muslim sebab sebelum menjalankan suatu ibadah perlu adanya kejelasan terlebih dahulu mengenai identitas kelamin orang yang akan beribadah tersebut. Contoh, Arif, merupakan seseorang yang sudah jelas identitas kelelakiannya, ingin melakukan sholat maka sudah seharusnya ia menutup aurat sebagaimana ketentuan fiqh (mengenai aurat laki-laki) yang sudah ada, dan ia juga boleh untuk menjadi imam ketika jamaah. Adapun khuntsa, dengan ketidakjelasan identitas kelaminnya, ketika akan melakukan sholat apakah cukup hanya dengan menutupi aurat sebagaimana laki-laki, atau harus menutup seluruh anggota tubuhnya terkecuali wajah dan tangan sebagaimana halnya perempuan? Bagaimana seorang khuntsa dalam menjalankan syari’at islam lainnya? Dan mengenai tulisan ini, apa landasan filosofis dari fikih khuntsa?
B. Konstruksi Hukum Khuntsa
- Pengertian
Khuntsa secara umum diartikan sebagai orang yang memiliki dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan. Menurut istilah Fiqhiyyah, khuntsa adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali. Sementara itu, dalam pembagiannya, khuntsa dibagi menjadi dua macam, yaitu musykil dan ghairu musykil.
- al-Khuntsa ghairu al-Musykil, yaitu orang yang jelas tanda-tanda kelaki-lakiannya atau keperempuanannya. Tanda-tanda ini terlihat secara fisik, sifat mana yang lebih dominan. Untuk yang belum baligh, biasanya dilihat dari saluran mana ia kencing. Jika ia sudah baligh, maka dapat diketahui dari tanda- tanda baligh, seperti tumbuhnya jakun dan jenggot, suara berat bagi laki-laki. Adapun jika ia mengalami menstruasi, payudara membesar, maka ia ia dihukumi sebagai perempuan.
- al-Khuntsa al-Musykil, yaitu orang yang mempunyai tanda-tanda maskulinitas dan feminitas. Misalnya, ia mengeluarkan air kencing dari kedua saluran yaitu saluran wanita dan laki-laki secara bersamaan. Atau bisa juga dengan tumbuhnya jenggot dan payudara secara bersamaan.[5]
- Hukum Islam Terhadap Khuntsa
- Perkawinan
Membicarakan masalah kedudukan khuntsa dalam perkawinan Islam berarti memperjelas sesuatu tentang identitasnya atau mengkategorikannya dalam satu jenis tertentu, karena memang pada hakikatnya Allah hanya menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan. Meskipun seorang khuntsa telah memilih condong pada salah satu jenis kelamin dalam kehidupan kesehariannya, perkawinan yang dilakukan tetap tidak sah. Alasannya terletak pada kepemilikan alat kelamin. Seperti yang tertera dalam Kitab Hasyiyah al-Bajuri juz 2 halaman 197:[6]
وشروط الزوجة كونها حلالاً، فلا يصح نكاح محرمة. وكونها معينة، فلا نكاح إحدى المرأتين. وكونها خالية من نكاح وعدة، فلا يصح نكاح منكوحة ولا معتدة من غيره. وكونها أنثى يقينًا، فلا يصح نكاح الخثنى وإن بانت أنوثته
- Waris
Menurut Madzhab Syafi’i, bahwa semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil, kemudian sisa warisan ditahan (ditangguhkan) sampai persoalan status kelamin khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling menghibahkan diantara para ahli waris. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris, sampai status khuntsa menjadi jelas. Seperti yang telah dijelaskan dalam Kitab Raudloh at-Thalibin juz 6 halaman 40:
وَإِنْ كَانَ الْخُنْثَى يَرِثُ عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ، لَكِنْ يَرِثُ عَلَى أَحَدِهِمَا أَقَلَّ، دُفِعَ إِلَيْهِ الْأَقَلُّ، وَوُقِفَ الْبَاقِي، وَكَذَلِكَ فِي حَقِّ مَنْ يَرِثُ مَعَهُ عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ، وَيَخْتَلِفُ قَدْرُ مَا يَأْخُذُهُ.
- Sholat
Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal imamah (menjadi imam sholat) bahwasannya seorang khuntsa tidak sah menjadi imam bagi laki-laki maupun yang sejenisnya (sesama khuntsa) karena adanya sifat kelelakian dan keperempuanan yang melekat pada dirinya, namun jika menjadi imam bagi seorang wanita maka sah menurut madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Raudhoh at-Thalibin : “Dalam permasalahan Khuntsa ada dua pandangan, dan yang paling shohih diantara keduanya yaitu yang paling berat (hukumnya), ketika bersama wanita maka ia dianggap sebagai pria, dan ketika bersama pria maka ia dianggap sebagai wanita”.[7]
فالخنثى المشكل فيه وجهان : أصحهما الأخذ بالشد فيجعل مع النساء رجلا،و مع الرجال امرأة.
Adapun dalam hal susunan shaf sholat, lagi-lagi tidak ada perbedaan pendapat jika khuntsa berjamaah dengan laki-laki, anak kecil laki-laki, sesama khuntsa, dan perempuan, maka shaf sholat jamaah tersebut didahulukan laki-laki, kemudian anak kecil laki-laki, khuntsa, dan terakhir perempuan.[8]
Salah satu syarat sahnya sholat yakni menutup aurat, lantas apakah auratnya khuntsa (musykil) disamakan dengan laki-laki atau perempuan? Dalam keterangan kitab Nail ar-Roja disebutkan bahwa auratnya khuntsa disamakan dengan auratnya perempuan merdeka dan budak perempuan yakni seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[9]
(المعنى) أن الثالث من أقسام العورة عورة الحرة و الأمة عند الرجال الأجانب و هم من ليس بينهم محرمية بنسب أو رضاع أو مصاهرة و هي جميع البدن حتى الوجه و الكفين فيجب عليهما ستره و يحرم عليهم نظر شيء منه و مثلهما فيما ذكر الخنثى و لو رقيقا.
- Pemandian Jenazah
Tidak sedikit yang bertanya-tanya mengenai jika seorang khuntsa meninggal dunia maka siapa yang diperbolehkan memandikannya? Berkaitan dengan hal ini, jika khuntsa tersebut tidak mempunyai mahrom maka ada perincian sebagai berikut :
- Jika khuntsa masih kecil maka ia boleh dimandikan oleh laki-laki maupun perempuan.
- Jika sudah dewasa, maka ada dua pendapat :
- dengan cara ditayamumi dan dikuburkan
- dimandikan dan yang memandikan boleh laki-laki maupun perempuan sebab dalam keadaan darurat.
إذا مات الخنثى المشكل و ليس هناك محرم له من الرجال أو النساء فإن كان صغيرا جار للرجال و النساء غسله و كذا واضح الحال من الأطفال، يجوز للفريقين غسله كما يجوز مسه و النظر إليه. و إن كان الخنثى كبيرا فوجهان، كمسألة الأجنبي، أحدهما ييمم و يدفن، و الثاني يغسل. و فيمن يغسله أوجه، أصحها و به قال أبو زيد : يجوز للرجال و النساء جميعا غسله للضرورة.
C. Landasan filosofis
Dalam konstruksi hukum mengenai khuntsa, dapat diketahui sisi maqashid atau tujuan syari’at menggunakan metode analisis maqashid syari’ah yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat primer dalam hal ini yaitu, meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, terkait syari’at Allah yang ditujukan bagi manusia di bumi selalu mengandung maslahat atau kebaikan bagi hambanya, baik didunia maupun akhirat. Hal ini senada diperkuat oleh Imam Al Ghazali bahwasanya tidak ada satupun hukum Allah yang tidak memiliki tujuan atau maqashid, dalam hal ini Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa tujuan atau maqashid dalam suatu pernikahan adalah untuk kemaslahatan manusia.
Mengenai uraian hukum yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa pernikahan seorang khuntsa sangat diperhatikan akan kejelasan status kelaminnya. Dikarenakan syarat sah menikah adalah adanya mempelai baik laki-laki maupun perempuan, jika kelamin seseorang masih samar atau belum jelas, maka pernikahan tidak dapat dilakukan. Hal ini senada dengan konsep hifdz ad din, bahwasanya menikah adalah syari’at berdasarkan agama yang harus dipenuhi syarat-syaratnya, maka pemenuhan syarat pernikahan sebagai salah satu bentuk hifdz ad din.[10]
Adapun hukum yang lain seperti halnya ibadah sholatnya seorang khuntsa, ketika dalam permasalahan aurat dalam sholat, maka disamakan dengan aurat perempuan yang harus menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjelasan khuntsa memang mencapai taraf kejelasan agar hukum-hukum dapat dijalankan dengan baik.
D. Kesimpulan
Identifikasi jenis kelamin manusia dapat diketahui dengan memperhatikan bagian-bagian tertentu, yaitu bagian lahiriyah. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dewasa ini terdapat kenyataan yang semakin kompleks. Salah satunya yaitu, adanya khuntsa atau yang biasa disebut kelamin ganda. Dalam perkawinan, meskipun seorang khuntsa telah memilih condong pada salah satu jenis kelamin dalam kehidupan kesehariannya, perkawinan yang dilakukan tetap tidak sah. Kemudian mengenai hak waris, khuntsa diberikan bagian yang terkecil sampai persoalan jenis kelaminnya menjadi jelas. Adapun mengenai ubudiyyah seperti sholat, diklasifikasikan dalam hal kebolehan ia menjadi imam, susunan shaf sholat, dan identifikasi aurat dalam sholat. Sedangkan mengenai aturan memandikan mayyit seorang khuntsa juga diklasifikasikan apakah ia masih kecil atau sudah dewasa.
Kajian filsafat daripada pembahasan hukum mengenai khuntsa, yang meliputi ontologi merupakan keberadaan suatu hukum dengan adanya kompleksitas hukum dari seorang khuntsa. Kemudian epistimologinya yaitu sumber-sumber yang menjadi dasar suatu ilmu pengetahuan yang didapat dari beberapa kitab turats, adapun aksiologinya yaitu terkait tujuan dan penggunaan hukum, dimana ketentuan tentang hukum-hukum khuntsa bertujuan sebagai identifikasi hukum atas keresahan mengenai jati diri dan status hukum khuntsa tersebut.
[1] Kitab Al-Fiqh al-Manhaji Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, Maktabah Syamilah Haditsah, Juz 5, Hal. 127.
[2] Ahmad Muhlasul WR, Khunśa Dalam Tinjauan Fikih dan Medis, 2009, Hal 2.
[3] Ibid. Hal 3.
[4] Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial : Masa Depan Fiqh Indonesia, (Pati, Pusat Studi Pesantren & Fiqh Sosial (PUSAT FISI), 2018), hal 40.
[5] Limansyah Fasnur, Hermafrodit Waria dan Akibat Hukumnya dalam Hukum Islam,hal. 19
[6] Kitab Hasyiyah al-Bajuri, Dar Kutub Al-Islamiyah, Juz 2,Hal. 197.
[7] Kitab Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, Maktabah Syamilah Haditsah, Juz 7, Hal 29.
[8] Kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Maktabah Syamilah Haditsah, Juz. 20, Hal. 25.
[9] Ahmad Ibn Umar As-syathiri, Nail ar-Roja, (1172 M, cet. 4), Hal 71.
[10] Purnomo dan Moch. Azis Qoharuddin, Maqosid Nikah Menurut Imam Ghozali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, (El-Faqih: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, 2021), vol. 7 No. 1,hal.121