Mahally.ac.id. – Belakangan ini penyebarluasan minuman keras yang berupa khamr telah tersebar di masyarakat, baik di lingkungan remaja dan juga para orang tua. Padahal kita sudah mengetahui bahwa minuman khamar ini memberikan dampak yang buruk bagi tubuh dan tidak baik untuk kesehatan. Maka dari itu sebabnya mengapa minuman khamar ini dilarang, baik dari peraturan perundang-undangan maupun di qanun sepakat bahwa minuman khamar ini dilarang dan tidak boleh di konsumsi. begitu pula di dalam Fiqh Islam yaitu Fiqih jinayah hukum meminum khamar telah jelas hukumnya haram.
Mengkonsumsi khamr merupakan salah satu dosa besar, karena perlu kita ketahui bahwasa nya alkohol hanyalah salah salah bentuk zat kimia. Zat ini juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain seperti dalam pembersihan, bahan bakar, pelarut, dan sebagai bahan campuran produk kimia lainnya. Untuk contoh pada pemakaian tersebut, maka alkohol tidak bisa dianggap sabagai khamar, karena haramnya khamar kalau ia di manfaatkan untuk di minum atau dimakan dan menyebakan peminum khamar tersebut menjadi mabuk, oleh karena itu pemakaian yang sesuai tidak dilarang dari ajaran islam.[1]
Syariat Islam sudah mengharamkan khamar sejak empat belas abad yang lalu dan non-muslimpun menyadarinya akan manfaat diharamkan nya minuman khamar karena telah terbukti bahwasanya minuman khamar dan sejenisnya membawa madharat bagi tubuh dan kesehatan.[2] Maka dari itu, sudah selayaknya bagi kita untuk bisa menjaga diri dari mengkonsumsi khamr. Kemudian pada kesempatan kali ini saya akan membahas bagaimana khamr ditinjau dari sisi filosofi Islam? Dan apa urgensi khamr ditinjau dari sudut pandang filosofi Islam?
Definisi Khamr
Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal. Berpijak dari definisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr.
Khamr adalah minuman yang mengandung alkohol, yang mana alkohol sendiri merupakan suatu zat yang dapat memabukan apabila dikonsumsi. Khamr atau arak berasal dari bahasa Arab, dalam Al-Qur’an asal kata khamr خمر) ) yang berarti ‘tutup’. Segala sesuatu yang berfungsi sebagai penutup disebut khimār (( خمار Kemudian, lebih populer kata itu diartikan sebagai ‘kerudung atau tutup kepala wanita, seperti yang terdapat di dalam surat an Nūr/24: 31. Adapun arti lain dari kata khamr ( خمر َ ( adalah minuman yang memabukkan. Disebut khamr َkarena minuman keras mempunyai pengaruh negatif yang dapat menutup atau melenyapkan akal pikiran[3].
Khamr ditinjau dari sudut pandang hukum Islam
Sebelum kita membahas filosofi khamr, alangkah baiknya kita mengetahui hukum khamr terlebih dahulu. Menyangkut haramnya khamr, ada dua ayat yang akan coba kami kemukakan dalam tulisan ini, yakni surat al-Māidah (5): 90:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Kemudian di dalam surat al-Māidah (5): 90:
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?”
Surat al-Māidah/5: 90 tidak menyatakan bahwa yang disebut khamr adalah air perasan anggur atau apel, namun hanya disebutkan khamr secara umum yang berarti bahwa yang dikatakan khamr adalah segala kategori apa saja yang menutup akal. Yang lebih mengejutkan para ulama tafsir bahwa ayat ini turun di Negeri yang tidak memperoduksi air anggur, hal ini disebabkan mereka menduga bahwa yang memabukkan itu hanya air perasaan angur[4]. Apa yang dijelaskan oleh Imam Sya’rawi ini menegaskan bahwa sesuatu yang membukkan itu bukan hanya minuman keras namun dapat saja dalam bentuk yang lain. Jadi inti larangan pengharaman bukan pada bentuk atau merek tapi pada kategori yang memabukkan.
Sedangkan melalui ayat ini (al-Māidah/5: 90-91), dipahami bahwa khamr dan perjudian mengakibatkan aneka keburukan besar. Keduanya adalah rijs yakni sesuatu yang kotor dan buruk. Banyak segi keburukannya pada jasmani dan ruhani manusia, akal serta pikirannya. Khamr dan narkotika pada umumnya menyerang bagian-bagian otak yang dapat mengakibatkan sel-sel otak tidak berfungsi untuk sementara atau selama-lamanya dan mengakibatkan peminumnya tidak dapat memelihara keseimbangan pikiran dan jasmaninya. Apabila keseimbangan tidak terpelihara, permusuhan akan lahir, bukan hanya yang bersifat sementara, tetapi dapat berlanjut sehingga menjadi kebencian antar manusia. Setan yang memperindah khamr dan judi mengoda manusia sehingga ia lupa diri dan melupakan Allah, baik dengan berzikir memohonan ampunan-Nya maupun shalat kepada-Nya. Alasan yang dikemukakan ini terlihat dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari.[5]
Kemudian hukum Khamr juga dijelaskan di dalam hadist Nabi saw. yang menjadi rujukan para ulama atas keharaman khamr, salah satu hadist tersebut adalah:
قالَ وَائِلُ بْنُ حُجْرٍ ان طارق بن سُوَيْدٍ سأل النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الخَمْرِ، فَلَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: أَصْنَعُها لِلدُّوَاءِ. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَواء وَ لَكِنَّهُ دَاءٌ. (رواه مسلم(
Artinya: “Wail bin Ḥujr telah berkata, bahwasanya Thariq bin Suwaid pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang khamr, maka Nabi melarang hal itu. Lalu ia berkata, “Saya membuatnya untuk dijadikan obat”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya khamr itu bukan obat, tetapi penyakit”. [HR. Muslim)[6]
Berdasarkan penjelasan tentang larangan meminum khamr baik melalui dalil Al-Qur’an, hadis dan pendapat ulama maka dapat dikatakan bahwa motif keharaman khamr dikarenakan beberapa sebab, diantaranyanadalah:
- Pertama, merupakan perbuatan dosa.
- Kedua, merupakan perbuatan yang melampaui batas.
- Ketiga, merusak nalar.
- Keempat, merupakan perbuatan setan.
- Kelima, minuman yang haram zatnya banyak atau sedikit tetap haram.
Menurut pendapat jumhur ulama, dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah, serta pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal cukup tegas bahwa minuman yang berpotensi memabukkan, sedikit atau banyak, ia tetap diharamkan. Demikian sebagaimana dinyatakan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Peminum khamar dan juga nabidz ini juga beroleh deraan had cambuk. Dalil yang digunakan antara lain:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ.
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Setiap yang muskir (memabukkan) adalah khamar, dan setiap yang muskir adalah haram.”
(HR. Muslim)[7]
Selain itu ada juga hadits yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, serta muhaddits lainnya, bahwa Nabi bersabda,
ما أسكر كثيره فقليله حرام…
Artinya: “Sesuatu (minuman) yang banyaknya dapat memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Melalui dua hadits di atas jumhur ulama berpendapat bahwa minuman yang memabukkan itu haram, apapun jenisnya, berapapun kadarnya, serta apakah meminumnya sampai mabuk atau tidak. Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, serta Imam Ahmad dikenal sebagai ulama yang banyak beraktivitas di Hijaz. Rupanya, pendapat soal khamar dan nabidz ini berbeda di kalangan ulama Irak, dengan tokohnya antara lain tabi’in Ibrahim an-Nakhai dan Sufyan Ats-Tsauri, serta Imam Abu Hanifah. Ulama Irak, mencakup juga dari daerah Kufah dan Basrah, berpendapat bahwa keharaman khamar itu pada jumlah kadar yang diminum, bukan dari substansi zat minumannya.
- Khamr Ditinjau Dari Sisi Filosofi Islam
Sebelum masuk dalam pembahasan khamr ditinjau dari sisi filosofi islam, alangkah baiknya kita mengetahui konstruksi filosofi islam terlebih dahulu. Dalam tulisan ini pembahasan khamr dalam pandangan filosofi islam kami menggunakan teori/ metode maqashid syari’ah , Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari’ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari’ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Dan dalam menafsirkan suatu hukum yang tertera dalam nas al-Quran maupun hadis tidak cukup hanya memahami secara tekstual saja , tapi butuh adanya pemahaman makna secara kontekstual, maka dari itu dalam kajian pendekatan makna atau maqasid syari’ah, kajian ini lebih dititk beratkan dengan melihat nilai-nilai filosofis yang yang berupa kemaslahatan dan keadilan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah swt.
Sudah seharusnya kemaslahatan sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, akan tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu[8]. Lalu imam As Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan yang akan diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
- Al Maslahah al Dharuriyyah ( المصلحة الضرورية ), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia yang harus ada atau kebutuhan primer. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal dan memelihara keturunan dan memelihara harta benda.
- Al Maslahah al Hajiyah ( المصلحة الحاجية ), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) yang sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia atau kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun mengalami kesulitan.
- Al Maslahah al Tahsiniyyah ( المصلحة التحسنية ), kemaslahatan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan al tahsiniyyah ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap seperti menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak[9]
Kemudian maslahat juga ditinjau dari aspek cakupannya yang dikaitkan dengan dua golongan, komunitas (jama’ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagi dalam dua kategori, yaitu :
- Maslahat kulliyat, yaitu maslahat yang bersifat universal yang kebaikan dan manfaatnya kembali kepada orang banyak. Contohnya membela negara dari serangan musuh, dan menjaga hadits dari usaha pemalsuan.
- Maslahat juz’iyat, yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual, seperti pensyari’atan berbagai bentuk mu’amalah.
Kemudian maslahat juga dapat ditinjau dari tingkat kekuatan dalil yang mendukungnya. Dalam hal ini, maslahat dibagi menjadi tiga, yaitu :
- Maslahat yang bersifat qath’i yaitu sesuatu yang diyakini membawa kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat memahami adanya maslahat itu.
- Maslahat yang bersifat zhanni, yaitu maslahat yang diputuskan oleh akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zhanni dari syara’.
- Maslahat yang bersifat wahmiyah, yaitu maslahat atau kebaikan yang dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal kalau direnungkan lebih dalam justru yang akan muncul adalah madharat dan mafsadah (kerusakan)[10].
Dari pemaparan pembagian maslahat di atas dapat dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana yang boleh diambil dan maslahat mana yang harus diprioritaskan di antara sekian banyak maslahat yang ada. Maslahat dharuriyat harus didahulukan dari maslahat hajiyat, dan maslahat hajiyat harus didahulukan dari maslahat tahsiniyat. Demikian pula maslahat yang bersifat kulliyat harus diprioritaskan dari maslahat yang bersifat juz’iyat. Akhirnya, maslahat qath’iyah harus diutamakan dari maslahat zhanniyah dan wahmiyah.
Lalu bagaimana dengan keharaman khamr? Apakah khamr dikategarikan sebagai sesuatu yang dharuriyat, hajiyat,atau tahsiniyat?, Dalam konteks khamr , khamr sendiri di kategorikan sebagai suatu masalah yang dharuriyat , karena khamr sendiri merupakan sesuatu yang dapat mengancam dan merusak individu maupun masa depan bangsa, dan oleh sebab itu khamr di kategorikan sebagai suatu masalah yang bersifat dharuriyat.
Lalu Imam As Syatibi menjelaskan juga tentang maslahat dharuriyat, yang mana Imam As Syatibi menjelaskan bahwa seluruh ketetapan hukum terdiri dari lima bagian utama yang dikenal dengan al-dhuriyat al-khams dalam rangka membentuk bangunan hukum yang ditekankan agar dapat dipertahankan, yaitu:
- Menjaga agama atau hifzh al-din
- Menjaga kejiwaan atau hifzh al-nafs,
- Menjaga akal atau hifzh al-‘aql,
- Menjaga turunan atau hifzh al-nasl
- Menjaga harta atau hifzh maal, akan tetapi dikalangan para ulama memiliki pandangan tersendiri atas urutan dharurat al khams ini[11].
Kemudian setelah kita mengetahui bahwa khamr merupakan suatu masalah yang bersifat dharuriyat, maka beberapa hal penting yang dapat ditarik menjadi kesimpulan adalah sebagai berikut:
- Hifdzu ad-din ( menjaga agama)
Sudah sepatutnya kita sebagai umat islam untuk menjaga keimanan kita kepada agama Allah, menjalankan perintah-perintah, dan menjahui larangan-larangan yang ditetapkan oleh syari’at. Khamr merupakan suatu hal yang harus dijauhi karena sudah tercantum jelas di dalam al-Qur’an dan sunnah mengenai keharamannya. Salah satu sebab diharamkannya yaitu dikhawatirkan ketika seorang hamba mengonsumsi khamr dapat mengganggu ibadahnya, sehingga hamba tersebut tidak ling-lung atau tidak sadar akan bacaannya atau siapa Tuhan yang sedang disembahnya.
- Hifdzu an nafs ( menjaga jiwa)
Kandungan yang ada didalam khamr dalam segi medis sudah terbukti, bahwa alkohol yang terkandung di dalam khmr dapat merusak dan mengancam kehidupan manusia yang mengkonsumsinya , baik dalam jangka waktu dekat maupun panjang, dan oleh sebab itu khamr di larang baik agama maupun negara, karena dapat mengancam kehidupan manusia baik beragama maupun bernegara.
- Hifdzu aql ( menjaga akal)
Sudah diketahui bahwasanya kandungan alkohol dalam khamr dapat merusak dan mengancam kehidupan manusia , efek yang ditimbulkan bukan hanya merusak kesehatan jasmani, akan tetapi juga merusak akal, karena alkohol sendiri mempunyai sifat yang memabukkan dan dapat mempengaruhi kesehatan akal dan jiwa jika di konsumsi, dan berdampak juga kepada kehidupan sosial seseorang tersebut dalam melakukan kegiatan sehari hari, dan jika khamr sudah di konsumsi dan menyebabkan seseorang tersebut mabuk, maka seseorang tersebut akal pikirannya tidak berfungsi dengan normal .
- Hifdzu an nasl ( menjaga keturunan )
Khamr jika dikonsumsi tidak hanya berdampak pada kesehatan jiwa dan raga, akan tetapi juga mempengaruhi keturunan yang di hasilkan, seperti halnya studi penelitian tentang seseorang alkoholic yang dapat menurunkan riwayat penyakit yang di deritanya kepada keturunanannya, seperti stroke hemoragik, dan serangan jantung[12]. Hal tersebut sangatlah berbahaya bagi generasi penerus masa depan , sikap mengonsumsi khamr juga menjadi teladan yang buruk bagi generasi penerus yang akan datang.
- Hifdzu maal ( menjaga harta)
Harta merupakan hal yang kita anggap penting dan berharga, salah satu harta yang kita gunakan sehari-sehari untuk proses tranksaksi jual beli adalah uang. Karena mengkonsumsi khamr hukumnya haram, maka sudah selayaknya uang yang kita miliki tidak kita salah gunakan, salah satu menjaga uang agar tidak salah digunakan yaitu dengan tidak membeli khamr dan mengunakannya untuk keperluan yang berfaidah seperti belanja bahan pokok, membeli perlengkapan pokok dan bersedekah.
Kesimpulan
Khamr adalah minuman yang mengandung alkohol, yang mana alkohol sendiri merupakan suatu zat yang dapat memabukan apabila dikonsumsi. Khamr atau arak berasal dari bahasa Arab, dalam Al-Qur’an asal kata khamr خمر) ) yang berarti ‘tutup’. Segala sesuatu yang berfungsi sebagai penutup disebut khimār (( خمار Kemudian, lebih populer kata itu diartikan sebagai kerudung atau tutup kepala wanita, seperti yang terdapat di dalam surat an Nūr/24: 31. Adapun arti lain dari kata khamr خمر adalah minuman yang memabukkan. Disebut khamr َkarena minuman keras mempunyai pengaruh negatif yang dapat menutup atau melenyapkan akal pikiran
Khamr telah diharamkan syariat islam sejak empat belas abad yang lalu, bahkan non-muslimpun menyadari akan manfaat atas diharamkan nya minuman khamar karena telah terbukti dengan mengkonsumsi minuman khamr dan sejenisnya membawa madharat bagi tubuh dan kesehatan. perlu kita ketahui bahwasa nya alkohol hanyalah salah salah bentuk zat kimia. Zat ini juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain seperti dalam pembersihan, bahan bakar, pelarut, dan sebagai bahan campuran produk kimia lainnya.
Untuk contoh pada pemakaian di atas, maka alkohol tidak bisa dianggap sabagai khamr, karena haramnya khamar kalau ia di manfaatkan untuk di minum atau dimakan dan menyebakan peminum khamar tersebut menjadi mabuk, oleh karena itu pemakaian yang sesuai tidak dilarang dari ajaran islam. Sedangkan ditinjau dari sudut pandang filosofi islam, khamr sendiri termasuk kedalam kategori yang dapat mengancam kesehatan diri, jiwa, raga, dan juga berdapampak pada kehidupan sosial dan juga dapat merusak generasi yang akan datang. Kemudian dalam tinjuan hukumnya, khamr merupakan suatu masalah yang bersifat dharuriyat, yang mana khamr sendiri mengandung beberapa kerusakan/mafsadah yang dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran seseorang pada saat mengkonsuminya.
End Notes:
[1] Fiqih Sunnah 4, Sayyid Sabiq hlm. 69
[2] Fiqih jinayah bab 7, Dzajuli hlm. 95
[3] al-‘Alāmah al-Rāghib al-Ashfāhānī, Mufradāt Alfādz Al-Qur’ān, Dimasq: Dār alQalam, 1997. hal. 298.
[4] Muḥammad Mutawallī Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, juz VI, hal. 3378
[5] M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbāḥ, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,vol III, hal. 238.
[6] Zakiyuddīn ‘Abdul ‘Azhīmal-Mundzirī al-Dimasyqī, Mukhtashar Shaḥīḥ Muslim li alImām Abī Al-Ḥusain Muslim Ibnu al-Ḥajjaj al-Qusyairī al-Nīsābūrī Taḥqīq Muḥammad Nāshiru al-Dīn al-Albānī, Bairut: al-Maktabu al-Islāmī, cet. VII, juz II, hal. 345, no. hadis 1279, Kitāb al Asyribah, bab al-Tadāwī bi al-Khamr.
[7] Shohih Muslim Juz III, Hal. 1587
[8] Aris Rauf, MAQASID SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN HUKUM
[9] Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), h. 237
[10] Al-Zuhaili, 1986, hal . 1023-1029
[11] M. A. Rifqi A. H. Thahir, “Tafsir Maqasidi: Membangun Paradigma Tafsir Berbasis Mashlahah”, Millah J. Stud. Agama, 335–356, 2019.
[12] Halodoc.com . pecandu alkohol. (diakses 3 januari 22.52 WIB).
Kontributor: Yogi Marsilo, santri Ma’had Aly semester VI.