Islam telah membatasi mana perkara yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan. Segala sesuatu yang tidak dijelaskan keharamannya dalam nas (Al-Qur’an dan Hadis) maka boleh dimakan, tetapi jika ada dalil nas yang mengharamkan maka telah jelas hukumnya. Namun pernyataan tersebut tidak dapat sepenuhnya dibenarkan. Melihat perkembangan zaman yang dinamis, permasalahan umat pun semakin beragam dan tidak semuanya dapat terjawabkan oleh nas secara tekstual saja. Bukan berarti nas sudah tak relevan di masa sekarang, namun perlu adanya kajian analitis menggunakan ilmu Usul Fikih untuk menjawab permasalahan umat yang tak ada jawabannya dalam nas secara langsung.
Salah satu fungsi ilmu Usul Fikih ini adalah untuk menganalisis ‘Illat yang terdapat dalam hukum agar kemudian dapat diqiyaskan dengan permasalahan lain yang memiliki ‘Illat sama pada permasalahan yang belum diketahui hukumnya.
Hukum memakan daging keledai ternak adalah haram sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw. :
وَعَنْهُ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَمَرَ رَسُولُ الله ﷺ أَبَا طَلْحَةَ، فَنَادَى : “إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الحُمُرِالأَهْلِيَّةِ، فَإِنَّهَا رِجْسٌ” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : Pada hari perang Khaibar Nabi Saw. memerintah Abu Thalhah kemudian berkata : “Bahwa Allah Swt. dan Rasulullah Saw. melarang kalian memakan daging keledai ternak, bahwasannya itu adalah najis”. (HR. Bukhori Muslim).
Hadis Nabi diatas menjelaskan bahwa keledai yang diternak (jinak) itu haram dimakan karena dia merupakan hewan yang kotor atau najis. Sedangkan pada hadis Nabi yang lain mengatakan kebolehan memakan keledai, yakni kebolehan memakan Zebra.
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةٌ رضي الله عنه ( -فِي قِصَّةِ اَلْحِمَارِ اَلْوَحْشِيِّ- فَأَكَلَ مِنْهُ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ); مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Diceritakan dari Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu -pada cerita keledai liar- bahwa Nabi Saw. pernah memakannyya”. (HR. Bukhori Muslim).
Suatu hari Abu Qotadah bersama dengan para sahabatnya yang sedang ihram, sedangkan ia tidak. Kemudian ia menemui seekor Zebra dan membunuhnya untuk dimakan bersama. Namun ketika ia menawarkan kepada sebagian sahabatnya, mereka menolak dan sebagian yang lain menerima dan ikut memakannya. Kemudian Abu Qotadah datang menghampiri Rasulullah Saw. dan bertanya terkait hal ini. Kemudian Nabi membolehkan untuk memakannya dan berkata : “Sesungguhnya ia (Zebra) adalah makanan, Allah telah memberikan makanan kepada kalian berupa hewan tersebut”.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa yang dilarang oleh Nabi untuk dimakan adalah keledai ternak bukan Zebra. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid :
مَا خَرَّجَهُ مَالِكٌ فِي «حَدِيثِ أَبِي قَتَادَةَ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَعْضِ طُرُقِ مَكَّةَ تَخَلَّفُ مَعَ أَصْحَابٍ لَهُ مُحْرِمِينَ وَهُوَ غَيْرُ مُحْرِمٍ، فَرَأَى حِمَارًا وَحْشِيًّا فَاسْتَوَى عَلَى فَرَسِهِ، فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ أَنْ يُنَاوِلُوهُ سَوْطَهُ فَأَبَوْا عَلَيْهِ فَسَأَلَهُمْ رُمْحَهُ فَأَبَوْا عَلَيْهِ، فَأَخَذَهُ ثُمَّ شَدَّ عَلَى الْحِمَارِ فَقَتَلَهُ، فَأَكَلَ مِنْهُ بَعْضُ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبَى بَعْضُهُمْ، فَلَمَّا أَدْرَكُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ طُعْمَةٌ أَطْعَمَكُمُوهَا اللَّهُ» . وَجَاءَ أَيْضًا فِي مَعْنَاهُ حَدِيثُ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ذَكَرَهُ النَّسَائِيُّ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ التَّمِيمِيَّ قَالَ: «كُنَّا مَعَ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ، فَأُهْدِيَ لَهُ ظَبْيٌ وَهُوَ رَاقِدٌ، فَأَكَلَ بَعْضُنَا، فَاسْتَيْقَظَ طَلْحَةُ فَوَافَقَ عَلَى أَكْلِهِ وَقَالَ: أَكَلْنَاهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
وَالْحَدِيثُ الثَّانِي: حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ خَرَّجَهُ أَيْضًا مَالِكٌ: «أَنَّهُ أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِمَارًا وَحْشِيًّا وَهُوَ بِالْأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: إِنَّا لَمْ نَرُدُّهُ عَلَيْكَ إِلَّا أَنَّا حُرُمٌ» “.
[ابن رشد الحفيد ,بداية المجتهد ونهاية المقتصد ,2/95]
Terkait makna keledai pada dua hadis yang berbeda tersebut perlu diketahui jenis keledai apa yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Pada hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik diatas keledai yang dimaksud adalah keledai ternak (لُحُومِ الحُمُرِالأَهْلِيَّةِ) sedang keledai yang dimaksud pada hadis Abu Qatadah adalah keledai liar, atau lebih tepatnya yang dimaksud adalah Zebra.
Kemudian timbul pertanyaan mendasar apakah yang membuat diharamkannya keledai sehingga dikatakan sebagai suatu hal yang kotor (فَإِنَّهَا رِجْسٌ). Dan pada hadis keharaman memakannya terdapat qayyid (batasan) bahwa yang diharamkan adalah keledai yang diternak. Lalu apakah keledai yang tidak diternak (liar) boleh dimakan?. Untuk mengetahuinya perlu menganalisis ‘illat yang sesuai pada keharaman memakan keledai ternak.
‘Illat Hukum Pada Keharaman Keledai.
Agar mengetahui ‘illat yang ada pada hukum, perlu menggunakan salah satu metode pencarian ‘illat atau yang biasa disebut sebagai masalikul ‘illat. Analisis dilakukan terhadap hadis Nabi tentang keharaman memakan keledai diatas.
وَعَنْهُ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَمَرَ رَسُولُ الله ﷺ أَبَا طَلْحَةَ، فَنَادَى : “إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الحُمُرِالأَهْلِيَّةِ، فَإِنَّهَا رِجْسٌ” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Metode pencarian ‘illat yang digunakan adalah Nash Dlohir (النص الظاهر), yakni ‘illat yang ada pada nas secara jelas menggunakan kata فَإِنَّ. Alasan diharamkannya keledai adalah kotor (رِجْسٌ). Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa alasan diharamkannya keledai ternak adalah karena ia “memakan kotoran” (تَأْكُلُ الْجِلَّةَ). Sehingga hal tersebut yang membuat diharamkannya keledai. Keledai yang diternak terkadang biasanya memakan kotoran sesamanya karena dalam satu kandang, meski sebenarnya makanan yang biasa ia makan adalah rumput, jerami, dan sejenisnya. Sedangkan keledai liar dan Zebra mereka cenderung memakan rumput-rumput bukan kotoran.
وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ فِي الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ مُعَارَضَةُ الْآيَةِ الْمَذْكُورَةِ لِلْأَحَادِيثِ الثَّابِتَةِ فِي ذَلِكَ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ وَغَيْرِهِ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ»
فَمَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْآيَةِ وَهَذَا الْحَدِيثِ حَمَلَهَا عَلَى الْكَرَاهِيَةِ، وَمَنْ رَأَى النَّسْخَ قَالَ بِتَحْرِيمِ الْحُمُرِ، أَوْ قَالَ بِالزِّيَادَةِ دُونَ أَنْ يُوجِبَ عِنْدَهُ نَسْخًا. وَقَدِ احْتَجَّ مَنْ لَمْ يَرَ تَحْرِيمَهَا بِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنِ ابْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ: «أَصَبْنَا حُمُرًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِخَيْبَرَ وَطَبَخْنَاهَا، فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ أَكْفِئُوا الْقُدُورَ بِمَا فِيهَا» . قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ: إِنَّمَا نَهَى عَنْهَا؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ تَأْكُلُ الْجِلَّةَ
[ابن رشد الحفيد ,بداية المجتهد ونهاية المقتصد ,3/22]
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa keledai yang dilarang untuk dimakan adalah keledai yang memakan kotoran. Lalu apakah hanya pada hewan jenis keledai saja?. Kemudian hal ini diqiyaskan pada hewan lain yang sama-sama memakan kotoran maka hukumnya haram dikonsumsi. Misalnya, ada zebra atau kuda yang ternyata diketahui kebiasaannya adalah memakan kotoran, maka hukumnya juga haram. Seperti halnya hukum memakan keledai ternak, karena mereka sama-sama memakan kotoran. Inilah yang dalam kajian masalikul ‘illat terdapat sifat munasabah (sifat yang sesuai). Wallahu A’lam
Referensi :
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Marom
Zakariya al-Ansori, Ghoyatul Wushul
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
Ibnu Daqiqil ‘Iid, Ihkamul Ahkam
Vina Rahma Sania, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24.