ANALISIS PANDANGAN FILOSOFIS PENCATATAN NIKAH SEBAGAI RUKUN NIKAH DALAM CLD KHI
Oleh: Wahyu Nova Septian Noor Akbar
A. PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu sunah Nabi Muhammad SAW yang sangat dianjurkan. Terlebih-lebih bagi seseorang yang sudah mampu secara ekonomi. Hal ini sebagaimana dalam hadis, bahwa ia bertujuan untuk menjaga pandangan dan farji dari hal-hal yang mengotorinya. Sampai-sampai, bila belum mampu menikah, maka akan tetap mendapatkan beban tambahan, yaitu berpuasa.[1]
Karena menikah adalah suatu kesunahan, maka mengingkarinya tentu memiliki konsekuensi yang besar. Sebagaimana dalam hadis disebutkan bahwa orang-orang yang sengaja berpaling darinya tidak akan diakui sebagai umatnya Nabi Muhammad SAW.[2] Hal ini karena mengikuti Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu kewajiban bagi manusia.
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu Nakaha-yankihu yang berarti bersetubuh dan akad.[3] Adapun pengertian secara istilah, nikah adalah akad yang mencakup kebolehannya bersetubuh dengan lafaz inkah, tazwij, dan sebagainya. Dengan demikian, maka dengan adanya nikah, menimbulkan efek halal bagi suami dan istri untuk melakukan sebagian hal-hal yang tadinya haram untuk mereka.
Tentunya, nikah juga mempunyai ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah rukun. Rukun sendiri adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu tersebut tidak dapat berdiri tegak jika hal itu tiada.[4]
Namun, tidak dipungkiri juga bahwa ada perbedaan dalam mencantumkan rukun nikah, antara satu ulama dan lainnya. Tentunya, hal ini karena adanya perbedaan memaknai dalil antar mujtahid. Salah satu perbedaan yang mencolok, adalah adanya penambahan “pencatatan pernikahan” sebagai rukun nikah dalam CLD KHI. Hal ini merupakan suatu yang baru, di mana dalam literatur Islam klasik, khususnya yang bermazhab Syafi’i, tidak ditemukan adanya syariat yang mewajibkan pencatatan di dalamnya.
Hal ini tentunya juga memiliki alasan yang cukup kuat. Antara lain melihat banyaknya kasus nikah tanpa pencatatan (nikah sirri) yang berujung perpisahan tanpa kepastian.[5] Selain itu, juga didukung dengan dasar yang cukup kuat. yaitu maslahah dan sadd adz-dzari’ah.
Namun, dibalik bagusnya konsep baru ini, tentunya masih menyisakan celah dan pertanyaan yang patut diajukan. Antara lain, adalah pengguguran poin wali nikah dan saksi dalam pernikahan. Di mana, hal ini dimungkinkan berdampak pada hal-hal lain dalam pernikahan. Karena inilah, menurut hemat kami, konsep pencatatan pernikahan yang dijadikan rukun ini patut dibahas. Adapun pembahasan yang akan dipaparkan berupa:
- Bagaimana pengertian dan rukun nikah dalam turats?
- Bagaimana pengertian dan rukun nikah dalam CLD KHI?
- Bagaimana pandangan filosofis terhadap pencatatan nikah dalam CLD KHI?
- Bagaimana dampak pengguguran poin wali nikah dan saksi dalam pernikahan pada CLD KHI?
B. PENGERTIAN DAN RUKUN NIKAH DALAM TURATS
Adapun pengertian nikah dalam kitab-kitab fikih 4 madzhab, ditemukan beberapa perbedaan, yaitu:
- Syafi’iyah
Menurut mazhab ini, nikah adalah:
النِّكَاحُ عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إِنْكَاحٍ أَوْ تَزْوِيجٍ أَوْ تَرْجَمَتِهِ (٢) .
Artinya: “Akad yang mencakup kebolehannya bersetubuh dengan lafaz inkah, tazwij, dan sebagainya.”
- Hanafiyah
Menurut mazhab ini, nikah adalah:
النِّكَاحُ عَقْدٌ يُفِيدُ مِلْكَ الْمُتْعَةِ بِالأُْنْثَى قَصْدًا، أَيْ يُفِيدُ حِل اسْتِمْتَاعِ الرَّجُل مِنَ امْرَأَةٍ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ نِكَاحِهَا مَانِعٌ شَرْعِيٌّ
Artinya: “Akad yang berfaedah halalnya bersetubuh dengan perempuan secara sengaja, yaitu bolehnya seorang laki-laki bersenang-senang denagn seorang perempuan yang tidak terhalang menikahinya secara syar’i.”
- Malikiyah
Menurut mazhab ini, nikah adalah:
النِّكَاحُ عَقْدٌ لِحِل تَمَتُّعٍ بِأُنْثَى غَيْرِ مَحْرَمٍ وَمَجُوسِيَّةٍ وَأَمَةٍ كِتَابِيَّةٍ بِصِيغَةٍ
Artinya: “Akad yang menghalalkan bersetubuh dengan perempuan yang bukan mahram, majusi, budak perempuan, dan kitabiyah dengan suatu shighat.”
- Hambaliyah
Menurut mazhab ini, nikah adalah:
النِّكَاحُ عَقْدُ التَّزْوِيجِ، أَيْ عَقْدٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ لَفْظُ نِكَاحٍ أَوْ تَزْوِيجٍ أَوْ تَرْجَمَتُهُ
Artinya: “Akad mempersunting, yaitu akad yang di dalamnya dianggap lafaz nikah, mempersunting dan sebagainya.”[6]
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa 4 madzhab bersepakat bahwa nikah adalah sebuah akad yang melegalkan bersetubuh antar dua insan. Perbedaan antara mereka hanya pada keterangan mengenai lafaz, mani’ dan sebagainya.
Rukun sendiri, sebagaimana Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan pengertiannya menurut jumhur fukaha dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, yaitu:
ما لا توجد الماهية الشرعية إلا به أو ما تتوقف عليه حقيقة الشيء، سواء أكان جزأ منه أم خارجا عنه
Artinya: “Segala perkara yang tanpanya hakikat syariat tidak dapat tercapai. Atau (juga bisa diartikan sebagai) perkara yang hakikat sesuatu itu berada di atasnya, baik ia merupakan bagian dari sesuatu itu ataupun keluar darinya.”[7]
Sehingga, sesuatu yang tidak terpenuhi rukunnya maka dianggap tidak dapat merealisasikan tujuan syariat. Perbuatan tersebut juga dinilai tidak sah. Adapun mengenai rukun nikah, juga terdapat perbedaan, yaitu:
- Syafi’iyah
Dalam mazhab ini, rukun nikah ada lima, yaitu: adanya (1) suami, (2) istri, (3) dua orang saksi, (4) wali, dan (5) shighat (ijab dan kabul).[8]
- Hanafiyah
Dalam mazhab ini, rukun nikah ada dua, yaitu: adanya (1) ijab dan (2) qabul.[9]
- Malikiyah
Dalam mazhab ini, rukun nikah ada lima, yaitu: adanya (1) wali, (2) mahar, (3) suami, (4) istri, (5) dan sighat.[10]
- Hambaliyah
Dalam mazhab ini, rukun nikah ada tiga, yaitu: adanya (1) dua calon mempelai, ijab dan qabul.[11]
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa semua mazhab bersepakat bahwa adanya kedua calon mempelai adalah rukun. Aspek lain yang diperselisihkan meliputi wali, saksi dan mahar.
C. NIKAH, PENGERTIAN, SYARAT DAN RUKUN DALAM CLD KHI
Counter Legal Drafting (CLD KHI) adalah naskah tandingan rumusan hukum Islam dalam KHI.[12] Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri adalah kumpulan hasil akhir pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang dianut oleh umat Islam Indonesia, yang berbentuk kitab hukum dengan bahasa undang-undang, yang menjadi dasar bagi setiap keputusan dan Pengadilan Agama.[13]
Karena CLD KHI adalah naskah tandingan, maka tentunya ada perbedaan dalam hampir setiap pasalnya. Hal ini disebabkan adanya tinjauan ulang, ataupun perkiraan adanya solusi hukum yang lebih maslahah. Adapun pasal mengenai pengertian nikah dan rukunnya dalam KHI dan CLD KHI adalah sebagai berikut:
KHI | CLD KHI |
PENGERTIAN NIKAH | |
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah |
Pasal 2
– Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. |
RUKUN NIKAH | |
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon Suami b. Calon Istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan Kabul |
Pasal 7
Perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut: a. Calon suami b. Calon istri c. Ijab dan Kabul d. Pencatatan
|
Sehingga, jelas terlihat bahwa dalam KHI, rukun nikah ada lima poin. Hal ini sama dengan ketentuan dalam mazhab Syafi’i. Ini terjadi karena spirit dari KHI, yang merupakan kitab hukum Islam, yang bersumber dari pendapat-pendapat yang berkembang di Indonesia. Mazhab Syafi’i sendiri adalah mazhab mayoritas di Indonesia.
Adapun CLD KHI, hanya mencantumkan empat poin, dengan salah satunya berbeda dengan apa yang ada di KHI. Kesamaannya ada pada rukun calon suami dan istri, serta adanya ijab kabul. Adapun yang berbeda, adalah di KHI ada wali nikah dan dua orang saksi. Sedangkan di CLD KHI dua poin tersebut dihapuskan, dan ditambahkan poin pencatatan.
D. PANDANGAN FILOSOFIS TERHADAP PENCATATAN NIKAH DALAM CLD KHI
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mengaitkan CLD KHI salah satu pandangan filosofis yakni dengan menggunakan kajian epistemologi.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani; episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau teori). Epistemologi secara istilah cabang filsafat yang meneliti segala sumber, sarana, metode, tolak ukur kebenaran, dan segala sesuatu yang turut membentuk pengetahuan.[14] Adapun pembahasan ini akan dibagi menjadi dua sub, yaitu:
- Masalah
Pembahasan hukum disini yaitu pencatatan nikah adalah menjadi rukun.
- Sumber pengambilan
Pencatatan nikah yang dimasukkan kedalam jajaran rukun oleh tim CLD KHI setidaknya berdasarkan pada:
- Pengkiasan (Qiyas Aulawi) kepada Q.S. Al-Baqarah ayat 282
Dalam ayat ini, Allah Swt. menyebutkan satu fi’il amr فاكتبؤه (catatlah!). Adanya pencatatan berdasar pada satu illat, yaitu Itlaf (kehilangan). Jika dalam melaksanakan transaksi penting seperti utang piutang, yang potensi terjadi kehilangan ini hanya dari segi harta, dan hanya melibatkan dua orang dihukumi sunnah atau bahkan wajib dicatat, maka hubungan pernikahan lebih harus dicatatkan. Hal ini memandang kepada ia merupakan peristiwa yang berimplikasi lebih besar, dengan mengikat dua keluarga.
- Sadd adz-Dzari’ah, (menutup jalan terjadinya kerusakan).
Perkawinan yang tidak dicatatkan menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, dari segi status perkawinan dan kekerabatan, serta pembagian harta waris. Oleh karena itu, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang maslahat, salah satunya adalah dengan wajib dicatatkannya setiap perkawinan.[15]
E. DAMPAK PENGGUGURAN POIN WALI NIKAH DAN SAKSI PERNIKAHAN PADA CLD KHI
Adapun wali nikah dan dua orang saksi, sebagai rukun nikah memiliki dasar yang sangat shorih dari Hadis Nabi Saw., yaitu:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل، وما كان من نكاح غير ذلك، فهو باطل (رواه ابن حبان في صحيحه)
Artinya: “Tidak akan (sah) nikahnya seseorang kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. Semua pernikahan yang tanpa keduanya adalah bathil.” (H.R. Ibn Al-Hibban dalam kitab Shahihnya[16]
Adanya nash sharih di sini menyatakan bahwa nikah tanpa dua syarat di atas tidak sah. Sehingga, luputnya pencantuman wali dan saksi merupakan sesuatu yang patut menjadi pertimbangan dalam memakai CLD KHI. Namun, setidaknya ada dua pernyataan yang biasa diajukan untuk mengonter dalil di atas, yaitu:
- Adanya wali hanya untuk perempuan yang kurang cerdas
Hal ini dapat dikonter lagi dengan adanya hadis lain, yaitu:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي ص.م. قال: لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج نفسها
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Nabi Saw. bersabda: “Seorang perempuan tidak dapat menikahkan seorang perempuan lain. Ia juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.”[17]
Adanya Al Ta’rif pada hadis tersebut menunjukkan bahwa lafaz tersebut berbentuk ‘am. Sehingga, ia mencakup semua wanita, tanpa memandang batasan usia maupun kemampuannya. Karena itu, bagaimanapun seorang perempuan tetap memerlukan wali sebagai penyelenggara pernikahannya.
Wali ini berurutan tingkatannya, dari setiap laki-laki dalam keluarganya. Adapun urutan wali adalah Ayah, lalu Kakek dari bapak, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, Keponakan laki-laki kandung, Keponakan laki-laki sebapak, Paman saudara Ayah, lalu sepupu anak paman saudara Ayah. JIka semua ini tidak ada, maka dipakailah wali hakim.
- Adanya saksi sudah bisa tergantikan dengan pencatatan
Pernyataan ini dapat dikonter dengan:
- Hadis riwayat Ibnu Hibban diatas
Adanya Istitsna’, sebagai bentuk takhsis dari kalimat sebelumnya yang mengandung La li Nafyi al-Jinsi, menunjukkan bahwa satu-satunya jalan agar nikah menjadi sah, salah satunya adalah adanya dua orang saksi.
- Pernyataan Imam Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jāmi’ li Ahkam Al-Qur’ān.
Dalam tafsirnya beliau menyatakan:
التاسعة: قوله تعالى فاكتبوه يعني الدَّين والأجل. ويقال: أمر بالكتابه ولكن المراد الكتابة والإشهاد؛ لأن الكتابة بغير شهود لا تكون حجة
Artinya: “Permasalahan ke sembilan: Firman Allah Swt. ‘Faktubuh’, menunjukkan pada hutang dan tempo. Dikatakan bahwa maksud dari pencatatan ini adalah pencatatan dan persaksian. Hal ini karena bahwa pencatatan tanpa adanya persaksian tidak dapat dijadikan hujjah”¹⁷
Dari hal ini dapat kita lihat bahwa bangunan hukum yang ditawarkan oleh CLD KHI hanya berdasarkan pada ayat Al Baqoroh ayat 282 yang secara gamblang dan jelas bahwa ayat itu menerangkan tentang mudayanah (baca:hutang piutang). Adapun, pencatatan dalam hal hutang piutang sendiri merupakan sebuah kesunnahan dan tidak sampai ketaraf wajib maupun fardlu.
Akan terjadinya Al Attasahhul(baca:menganggap mudah hukum) bagi khalayak luas karena CLD KHI sendiri orientasi hukumnya hanya melihat bahwa pencatatan pernikahan berdampak bagus bagi semua orang tanpa adanya penjelasan secara mendetail terkait pengambilan hukum pada ayat mudayanah tadi. Padahal sebuah pembentukan maslahah tidak boleh bertentangan dengan Nash shorih baik Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, pun sebuah qiyas yang merupakan Al Adillah Almukhtalaf (baca: dalil-dalil yang masih diperselisihkan). Hal ini telah ditutrurkan oleh syekh said ramadlon albuthy dalam bukunya dloabith Al Mashlah.¹⁸
F. KESIMPULAN
Empat madzhab dalam Islam bersepakat bahwa nikah adalah sebuah akad yang melegalkan bersetubuh antar dua insan. Perbedaan antara mereka hanya pada keterangan mengenai lafaz, mani’ dan sebagainya. Semua mazhab juga bersepakat bahwa adanya kedua calon mempelai adalah rukun. Aspek lain yang diperselisihkan meliputi wali, saksi dan mahar.
Menurut CLD KHI, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Serta, perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut: Calon suami, Calon istri, Ijab dan Kabul, Pencatatan
Pencatatan Nikah sebagai rukun adalah pencatatan yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah melalui Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dicetuskan oleh Tim Penyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Pokja Pengarusutamaan Gender, Kementerian Agama RI Tahun 2004. Hal ini merupakan perkara baru yang belum pernah dicetuskan oleh generasi sebelumnya.
Hal ini disimpulkan dari pengkiasan (Qiyas Aulawi) kepada Q.S. Al-Baqarah ayat 282, dari fi’il amr فاكتبؤه (catatlah!). Di sini terdapat satu illat, yaitu Itlaf (kehilangan), dimana transaksi penting seperti utang piutang, yang potensi kehilangan hanya dari segi harta, dan hanya melibatkan dua orang dihukumi sunnah atau bahkan wajib dicatat, maka hubungan pernikahan lebih harus dicatatkan. Hal ini memandang kepada ia merupakan peristiwa yang berimplikasi lebih besar, dengan mengikat dua keluarga. Ketiadaan pencatatan menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, dari segi status perkawinan dan kekerabatan, serta pembagian harta waris.
Adanya pencatatan nikah berkaitan bahwa ia adalah bukti saat adanya tuntutan salah satu pasangan suami istri terhadap hak-hak mereka yang belum diberikan agar tercegah dari adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam berkeluarga. Ia juga merupakan aplikasi dari kaidah تصرف الإمام منوط بالمصلحة, serta wajib dipelajari karena merupakan bagian dari fikih yang merupakan ilmu hal. Dimana ia juga merupakan perkembangan sudut pandang dalam berfikih, yang coba dicurahkan para ulama masa kini untuk mengatasi problematika umat.
Namun, dibalik suksesnya penambahan pencatatan nikah sebagai rukun nikah, juga ada permasalahan, saat wali nikah dan dua orang saksi dihapuskan. Hal ini secara sharih tidak dapat dibantah karena berdasar pada nash sharih dan beberapa penguat lainnya.
Catatan kaki:
[1] Imam Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Hlm. 180, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Jakarta, 2002.
[2]Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, Hlm. 174, Vol. 9, Dar al-Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1392 H.
[3] Jami’ al-Muallifin, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, Hlm. 205, Vol. 41, Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1427 H.
[4] Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Hlm. 4371, Vol. 6, Dar el-Fikr, Beirut, tt.
[5] https://trends.tribunnews.com/2022/07/22/kenal-lewat-tiktok-polisi-beristri-ajak-nikah-siri-wanita-kini-talak-via-wa-saat-hamil-6-bulan. Diakses pada Kamis, 24 November 2022 pada 06.10 WIB.
[6] Ibid.
[7] ibid, Hlm. 50, Vol. 7, Dar el-Fikr, Beirut, 2020.
[8] Muhammad Ahmad As-Syathiri, Syarh Al-Yāqūt An-Nāfīs, Hlm. 9, Vol. 3, Dar el-Hawi, 1997.
[9] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Hlm. 16-17, Vol 4, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 2003.
[10] ibid
[11] Jami’ al-Muallifin, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, Hlm. 233, Vol. 41, Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1427 H.
[12] Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Hlm. 200, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), Cirebon, 2014.
[13] ibid, Hlm. 108.
[14] Sibawaihi. M. Ag., Filsafat Ilmu, Hlm. 11, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
[15] Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Hlm. 216-217, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), Cirebon, 2014
[16] Imam Abu Bakar Al-Hishni, Kifāyah Al-Akhyār fī Halli Ghāyah al-Ikhtishār, Hlm. 61, Vol. 2, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Jakarta, 2004.