ANALISIS PANDANGAN FILOSOFIS PENCATATAN NIKAH SEBAGAI RUKUN NIKAH DALAM CLD KHI

Kolom Santri1120 Dilihat

ANALISIS PANDANGAN FILOSOFIS PENCATATAN NIKAH SEBAGAI RUKUN NIKAH DALAM CLD KHI

Disusun oleh:

Ahmad Agil Asyraq

NIS: 162018104147

Santri semester 6 Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh

 

A. PENDAHULUAN

Nikah adalah salah satu sunah Nabi Muhammad SAW yang sangat dianjurkan. Terlebih-lebih bagi seseorang yang sudah mampu secara ekonomi. Hal ini sebagaimana dalam hadis, bahwa ia bertujuan untuk menjaga pandangan dan farji dari hal-hal yang mengotorinya. Sampai-sampai, bila belum mampu menikah, maka akan tetap mendapatkan beban tambahan, yaitu berpuasa.[1]

Karena menikah adalah suatu kesunahan, maka mengingkarinya tentu memiliki konsekuensi yang besar. Sebagaimana dalam hadis disebutkan bahwa orang-orang yang sengaja berpaling darinya tidak akan diakui sebagai umatnya Nabi Muhammad SAW.[2] Hal ini karena mengikuti Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu kewajiban bagi manusia.

Tentunya, nikah juga mempunyai ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah rukun. Rukun sendiri adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu tersebut tidak dapat berdiri tegak jika hal itu tiada.[3]

Namun, tidak dipungkiri juga bahwa ada perbedaan dalam mencantumkan rukun nikah, antara satu ulama dan lainnya. Tentunya, hal ini karena adanya perbedaan memaknai dalil antar mujtahid. Salah satu perbedaan yang mencolok, adalah adanya penambahan “pencatatan pernikahan” sebagai rukun nikah dalam CLD KHI. Hal ini merupakan suatu yang baru, di mana dalam literatur Islam klasik, khususnya yang bermazhab Syafi’i, tidak ditemukan adanya syariat yang mewajibkan pencatatan di dalamnya.

Hal ini tentunya juga memiliki alasan yang cukup kuat. Antara lain melihat banyaknya kasus nikah tanpa pencatatan (nikah sirri) yang berujung perpisahan tanpa kepastian.[4] Selain itu, juga didukung dengan dasar yang cukup kuat. yaitu maslahah dan sadd adz-dzari’ah.

Namun, dibalik bagusnya konsep baru ini, tentunya masih menyisakan celah dan pertanyaan yang patut diajukan. Antara lain, adalah pengguguran poin wali nikah dan saksi dalam pernikahan. Di mana, hal ini dimungkinkan berdampak pada hal-hal lain dalam pernikahan. Karena inilah, menurut hemat kami, konsep pencatatan pernikahan yang dijadikan rukun ini patut dibahas. Adapun pembahasan yang akan dipaparkan berupa:

  1. Bagaimana pengertian dan rukun nikah dalam turats?
  2. Bagaimana pengertian dan rukun nikah dalam CLD KHI?
  3. Bagaimana pandangan filosofis terhadap pencatatan nikah dalam CLD KHI?

Dalam tulisan ini kami menggunakan pendekatan qiyas, filosofis islam berdasarkan mabādi’ asyrah dan maqashid asy-syari’ah. Adapun metode penelitian yang kami gunakan adalah penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi pustaka.

B. PENGERTIAN DAN RUKUN NIKAH DALAM TURATS

Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu Nakaha-yankihu yang berarti bersetubuh dan akad.[5] Adapun mengenai pengertian nikah secara istilah, maka para ulama empat mazhab berbeda pendapat. Adapun sebagiannya kami tuliskan sebagai berikut:

  1. Syafi’iyah

Menurut mazhab ini, nikah adalah:

النِّكَاحُ عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إِنْكَاحٍ أَوْ تَزْوِيجٍ أَوْ تَرْجَمَتِهِ.

Artinya: “Akad yang mencakup kebolehannya bersetubuh dengan lafaz inkah, tazwij, dan sebagainya.”

  1. Hanafiyah

Menurut mazhab ini, nikah adalah:

النِّكَاحُ عَقْدٌ يُفِيدُ مِلْكَ الْمُتْعَةِ بِالأُْنْثَى قَصْدًا، أَيْ يُفِيدُ حِل اسْتِمْتَاعِ الرَّجُل مِنَ امْرَأَةٍ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ نِكَاحِهَا مَانِعٌ شَرْعِيٌّ

Artinya: “Akad yang berfaedah halalnya bersetubuh dengan perempuan secara sengaja, yaitu bolehnya seorang laki-laki bersenang-senang denagn seorang perempuan yang tidak terhalang menikahinya secara syar’i.”

  1. Malikiyah

Menurut mazhab ini, nikah adalah:

النِّكَاحُ عَقْدٌ لِحِل تَمَتُّعٍ بِأُنْثَى غَيْرِ مَحْرَمٍ وَمَجُوسِيَّةٍ وَأَمَةٍ كِتَابِيَّةٍ بِصِيغَةٍ

Artinya: “Akad yang menghalalkan bersetubuh dengan perempuan yang bukan mahram, majusi, budak perempuan, dan kitabiyah dengan suatu shighat.”

  1. Hambaliyah

Menurut mazhab ini, nikah adalah:

النِّكَاحُ عَقْدُ التَّزْوِيجِ، أَيْ عَقْدٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ لَفْظُ نِكَاحٍ أَوْ تَزْوِيجٍ أَوْ تَرْجَمَتُهُ

Artinya: “Akad mempersunting, yaitu akad yang di dalamnya dianggap lafaz nikah, mempersunting dan sebagainya.”[6]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa 4 madzhab bersepakat bahwa nikah adalah sebuah akad yang melegalkan bersetubuh antar dua insan. Perbedaan antara mereka hanya pada keterangan mengenai lafaz, mani’ dan sebagainya.

Rukun sendiri, sebagaimana Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan pengertiannya menurut jumhur fukaha dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, yaitu:

ما لا توجد الماهية الشرعية إلا به أو ما تتوقف عليه حقيقة الشيء، سواء أكان جزأ منه أم خارجا عنه

Artinya: “Segala perkara yang tanpanya hakikat syariat tidak dapat tercapai. Atau (juga bisa diartikan sebagai) perkara yang hakikat sesuatu itu berada di atasnya, baik ia merupakan bagian dari sesuatu itu ataupun keluar darinya.”[7]

Sehingga, sesuatu yang tidak terpenuhi rukunnya maka dianggap tidak dapat merealisasikan tujuan syariat. Perbuatan tersebut juga dinilai tidak sah. Adapun mengenai rukun nikah, juga terdapat perbedaan, yaitu:

  1. Syafi’iyah

Dalam mazhab ini, rukun nikah ada lima, yaitu: adanya (1) suami, (2) istri, (3) dua orang saksi, (4) wali, dan (5) shighat (ijab dan kabul).[8]

  1. Hanafiyah

Dalam mazhab ini, rukun nikah ada dua, yaitu: adanya (1) ijab dan (2) qabul.[9]

  1. Malikiyah

Dalam mazhab ini, rukun nikah ada lima, yaitu: adanya (1) wali, (2) mahar, (3) suami, (4) istri, (5) dan sighat.[10]

  1. Hambaliyah

Dalam mazhab ini, rukun nikah ada tiga, yaitu: adanya (1) dua calon mempelai, ijab dan qabul.[11]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa semua mazhab bersepakat bahwa adanya kedua calon mempelai adalah rukun. Aspek lain yang diperselisihkan meliputi wali, saksi dan mahar.

 

C. NIKAH, PENGERTIAN, SYARAT DAN RUKUN DALAM CLD KHI

Counter Legal Drafting (CLD KHI) adalah naskah tandingan rumusan hukum Islam dalam KHI.[12] Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri adalah kumpulan hasil akhir pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang dianut oleh umat Islam Indonesia, yang berbentuk kitab hukum dengan bahasa undang-undang, yang menjadi dasar bagi setiap keputusan dan Pengadilan Agama.[13]

Karena CLD KHI adalah naskah tandingan, maka tentunya ada perbedaan dalam hampir setiap pasalnya. Hal ini disebabkan adanya tinjauan ulang, ataupun perkiraan adanya solusi hukum yang lebih maslahah. Adapun pasal mengenai pengertian nikah dan rukunnya, serta pencatatannya yang termaktub dalam KHI dan CLD KHI adalah sebagai berikut:

 

KHI

CLD KHI

PENGERTIAN NIKAH

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah

Pasal 2

–          Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.

RUKUN NIKAH

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a.       Calon Suami

b.      Calon Istri

c.       Wali nikah

d.      Dua orang saksi, dan

e.       Ijab dan Kabul

Pasal 7

Perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut:

a.       Calon suami

b.      Calon istri

c.       Ijab dan Kabul

d.      Pencatatan

 

TEKNIK PENCATATAN NIKAH

Pasal 12

1)      Setiap perkawinan harus dicatatkan

2)      Pemerintah wajib mencatatkan setiap perkawinan yang dilakukan oleh warga

3)      Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku

4)      Untuk memenuhi ketentuan dalam ayat (1) setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

 

Pasal 13

1)      Sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan kedua mempelai.

2)      Apabila perkawinan tidak disetujui oleh kedua calon mempelai atau salah satunya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

3)      Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara dan atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.[14]

 

 

Sehingga, jelas terlihat bahwa dalam KHI, rukun nikah ada lima poin. Hal ini sama dengan ketentuan dalam mazhab Syafi’i. Ini terjadi karena spirit dari KHI, yang merupakan kitab hukum Islam, yang bersumber dari pendapat-pendapat yang berkembang di Indonesia. Mazhab Syafi’i sendiri adalah mazhab mayoritas di Indonesia.

Adapun CLD KHI, hanya mencantumkan empat poin, dengan salah satunya berbeda dengan apa yang ada di KHI. Kesamaannya ada pada rukun calon suami dan istri, serta adanya ijab kabul. Adapun yang berbeda, adalah di KHI ada wali nikah dan dua orang saksi. Sedangkan di CLD KHI dua poin tersebut dihapuskan, dan ditambahkan poin pencatatan. Pencatatan yang dimaksud sebagai rukun disini adalah pencatat yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah melalui Pegawai Pencatat Nikah.

 

D. PANDANGAN FILOSOFIS TERHADAP PENCATATAN NIKAH DALAM CLD KHI

Dalam pembahasan ini, maka kami akan memfokuskan pembahasan pada analisis epistemologi dari permasalahan Pencatatan Nikah yang dijadikan rukun.

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani; episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau teori). Epistemologi secara istilah cabang filsafat yang meneliti segala sumber, sarana, metode, tolak ukur kebenaran, dan segala sesuatu yang turut membentuk pengetahuan.[15] Oleh karena itu, kami akan menampilkan dasar-dasar dari ditetapkannya Pencatatan Nikah sebagai rukun. Setidaknya, ada dua hal yang mendasarinya, yaitu:

  1. Pengkiasan kepada Q.S. Al-Baqarah ayat 282

Ayat ke 282 Surah Al-Baqarah merupakan ayat yang menerangkan tentang pencatatan hutang piutang, yaitu pada kalimat:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ … الأية

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Jika kalian melakukan transaksi hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka catatlah!”

Kalimat faktubuh dalam ayat ini merupakan perintah mencatat hutang piutang. Jumhur ulama menyatakan hukumnya sunnah, sedangkan yang lainnya menyatakan  wajib. Pendapat Jumhur ini karena ada qarinah yang menurunkan tingkat wajib dari fi’il amar “Faktubūh”, pada ayat 283 Surah Al-Baqarah:

فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ … الأية

Artinya: “Maka jika antar sebagian kamu saling mempercayai, maka hendaklah yang mempercayai itu menunaikan amanatnya, dan bertakwa kepada Allah, Tuhannya.”[16]

Pengkiasan Pencatatan Nikah terhadap pencatatan hutang piutang ini berdasarkan ‘illat yang ditemukan dalam keduanya, yaitu itlaf (kehilangan). Adapun dari kedua hal ini, terdapat beberapa persamaan maupun perbedaan, yaitu:

  1. Dalil pencatatan hutang piutang berdasarkan nash sharih, sedangkan Pencatatan Nikah berdasarkan istimbath. Oleh karena itu, pencatatan hutang piutang merupakan ashl, dan Pencatatan Nikah merupakan far’.
  2. Adanya kesamaan‘illat, yaitu itlāf. Di mana ia memenuhi syarat ‘illat, mundhabith, karena sama-sama mengakibatkan luputnya pemanfaatan hak seseorang. Di mana kehilangan ini sama imbasnya yang dirasakan pada setiap orang.[17]
  3. Adanya perbedaan tingkat mafsadah yang dihasilkan dari itlaf yang terjadi. Tiadanya pencatatan dalam hutang piutang mengakibatkan hilangnya pemanfaatan hak atas harta yang dipiutangkan. Hal ini melanggar salah satu dharuriyat al-khams, yaitu hifzh al-māl. Di mana, hifzh al-māl merupakan tingkatan terendah dalam adh-dharuriyyat al-khams. Sedangkan itlaf yang terjadi pada ketiadaan Pencatatan Nikah adalah hilangnya harta yang menjadi hak nafkah, serta hilangnya perlindungan terhadap kehidupan istri dan anak, serta hak perwalian. Hal ini dapat mengakibatkan terancamnya nyawa dan nasab, karena tidak adanya perlindungan dari kepala keluarga, dan pelayanannya saat menjadi wali nikah. Hal ini melanggar adh-dharuriyat al-khams yang lain, yaitu hifzh al-nafsl dan hifzh an-nasab. Di mana hifzh al-nafs dan hifzh an-nasab ini merupakan tingkatan kedua dan keempat dari adh-dharuriyyat al-khams.[18]

Sehingga, dari pertimbangan-pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mudarat yang ditimbulkan dari ketiadaan Pencatatan Nikah lebih berat dari ketiadaan pencatatan hutang piutang. Adapun menaikkan status Pencatatan Nikah menjadi sebuah rukun, dapat diterima berdasarkan qiyas, dengan status qiyas aulawi. Hal ini karena ‘illat yang ada di far’ lebih kuat efeknya dari pada yang ada di ashl.[19]

  1. Sadd adz-Dzari’ah, (menutup jalan terjadinya kerusakan).

Perkawinan yang tidak dicatatkan menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, dari segi status perkawinan dan kekerabatan, serta pembagian harta waris. Hal ini merupakan jenis dzari’ah yang diharamkan, karena besarnya potensi adanya mafsadah yang terjadi.[20] Oleh karena itu, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang maslahat, salah satunya adalah dengan wajib dicatatkannya setiap perkawinan.[21]

 

E. KESIMPULAN

Empat madzhab dalam Islam bersepakat bahwa nikah adalah sebuah akad yang melegalkan bersetubuh antar dua insan. Perbedaan antara mereka hanya pada keterangan mengenai lafaz, mani’ dan sebagainya. Semua mazhab juga bersepakat bahwa adanya kedua calon mempelai adalah rukun. Aspek lain yang diperselisihkan meliputi wali, saksi dan mahar.

Menurut CLD KHI, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Serta, perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut: Calon suami, Calon istri, Ijab dan Kabul, Pencatatan

Pencatatan Nikah sebagai rukun adalah pencatatan yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah melalui Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dicetuskan oleh Tim Penyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Pokja Pengarusutamaan Gender, Kementerian Agama RI Tahun 2004. Hal ini merupakan perkara baru yang belum pernah dicetuskan oleh generasi sebelumnya.

Hal ini disimpulkan dari pengkiasan (Qiyas Aulawi) kepada Q.S. Al-Baqarah ayat 282, dari fi’il amr faktubuh (catatlah!). Di sini terdapat satu illat, yaitu Itlaf (kehilangan), dimana transaksi penting seperti utang piutang, yang potensi kehilangan hanya dari segi harta, dan hanya melibatkan dua orang dihukumi sunnah atau bahkan wajib dicatat, maka hubungan pernikahan lebih harus dicatatkan. Hal ini memandang kepada ia merupakan peristiwa yang berimplikasi lebih besar, dengan mengikat dua keluarga. Ketiadaan pencatatan menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, dari segi status perkawinan dan kekerabatan, serta pembagian harta waris. Selain itu, ini juga merupakan pencegahan dari salah satu jalur mafsadah (Sadd adz-dzari’ah), karena banyaknya kasus brokenhome yang berimbas negatif pada keluarga yang ditinggalkan.

 

Catatan kaki:

[1] Imam Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Hlm. 180, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Jakarta, 2002.

[2]Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, Hlm. 174, Vol. 9, Dar al-Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1392 H.

[3] Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Hlm. 4371, Vol. 6, Dar el-Fikr, Beirut, tt.

[4] https://trends.tribunnews.com/2022/07/22/kenal-lewat-tiktok-polisi-beristri-ajak-nikah-siri-wanita-kini-talak-via-wa-saat-hamil-6-bulan. Diakses pada Kamis, 24 November 2022 pada 06.10 WIB.

[5] Jami’ al-Muallifin, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, Hlm. 205, Vol. 41, Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1427 H.

[6] Ibid.

[7] ibid, Hlm. 50, Vol. 7, Dar el-Fikr, Beirut, 2020.

[8] Muhammad Ahmad As-Syathiri, Syarh Al-Yāqūt An-Nāfīs, Hlm. 9, Vol. 3, Dar el-Hawi, 1997.

[9] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Hlm. 16-17, Vol 4, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 2003.

[10] ibid

[11] Jami’ al-Muallifin, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, Hlm. 233, Vol. 41, Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1427 H.

[12] Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Hlm. 200, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), Cirebon, 2014.

[13] ibid, Hlm. 108.

[14] Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Hlm. 389, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), Cirebon, 2014

[15] Sibawaihi. M. Ag., Filsafat Ilmu, Hlm. 11, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

[16] Syekh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsīr Al-Munīr fi Al-‘Aqidah wa At-Tasyrī’ wa Al-Manhaj, Hlm. 130, Vol. II, Dar el-Fikr, Damaskus, 2003.

[17] Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Hlm. 74, Dar el-Fikr, Damaskus, 1999.

[18] Zakaria Al-Anshari, Ghāyah al-Wushul ilā Lubb al-Ushūl, Hlm. 398, Al-Ma’had Al-Islami Maslakul Huda, Pati, 2020.

[19] Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Hlm. 83, Dar el-Fikr, Damaskus, 1999.

[20] Ibid, Hlm. 109.

[21]  Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Hlm. 216-217, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), Cirebon, 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *