Abstrak
Artikel ini membahas tentang pemahaman santri putri Al-Badi’iyyah dalam menghadapi permasalahan haid dan istihadlah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwasannya pemahaman santri Al-Badi’iyyah terhadap permasalahan haid dan istihadlah didapatkan dari pelajaran fikih yang diajarkan di sekolah maupun pesantren, tanpa ada pengajaran secara fokus. Dalam hal ini ditemukan bahwasannya santri Al-Badi’iyyah kurang memahami secara mendalam permasalahan haid dan istihadlah karena kurangnya kesadaran santri terhadap pentingnya belajar haid sehingga yang diketahui hanya permasalahan dasar. Mempelajari permasalahan haid dan istihadlah secara mendalam sangat penting bagi santri karena berdampak pada ibadah yang dilakukan sehari-hari.
Kata kunci : Haid, Istihadloh, Santri Al-Badi’iyyah, Pemahaman.
A. Latar Belakang Masalah
Haid adalah darah yang keluar dari alat reproduksi wanita dan merupakan suatu keadaan biologis yang secara khusus hanya dialami oleh seorang wanita. Ini merupakan hal kodrati yang telah Allah SWT tetapkan kepada wanita sebagai makhluk yang mengalami peristiwa reproduksi, sebagai perjalanan awal wanita remaja sebelum nantinya akan mengalami hamil dan melahirkan.
Haid atau menstruasi merupakan pendarahan secara periodik dan siklus dari uterus yang disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2005). Sedangkan menurut Prawirohardjo (2011), pendarahan haid merupakan hasil interaksi kompleks yang melibatkan sistem hormon dengan organ tubuh, yaitu hipotalamus, hipofisis, ovarium dan uterus.[1]
Seorang wanita yang mengalami haid menjadi bukti bahwa wanita tersebut telah memasuki usia baligh. Dalam prakteknya wanita diharuskan mengenal, mengetahui jenis darah haid dan menghitung siklus haid yang dialaminya. Apa saja hal-hal yang diperbolehkan dan diharamkan bagi seorang haid, sebagaimana yang telah diajarkan oleh syari’at.
Bagi seorang pencari ilmu, hukum mempelajari ilmu haid adalah wajib. Baik seorang wanita yang mengalaminya secara langsung maupun seorang lelaki meski tidak mengalaminya. Apabila seorang wanita belum mendapatkan pengajaran terkait haid, maka seorang lelaki yakni sebagai suaminya wajib memberikan pengajaran haid terhadap istrinya.[2] Oleh karena itu, santri putri sebagai masyarakat pesantren yang setiap harinya memperoleh pengajaran fikih selayaknya lebih memahami dan menguasai permasalahan haid.
Santri sebagaimana orang yang mempelajari ilmu agama dan syari’at secara mendalam di pesantren, sudah semestinya memiliki pengetahuan yang mendalam dan komprehensif terkait permasalahan haid khususnya santri putri. Namun pada realitanya, penulis sering menemui kebingungan santri putri dalam menghitung siklus haid dan membedakan antara jenis darah kuat dan lemah yang keluar dari vagina wanita.[3] Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti pemahaman santri di pondok pesantren putri Al-Badi’iyyah terhadap permasalahan haid.
Salah satu alasan yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti masalah ini adalah karena tidak semua santri di pondok pesantren putri Al-Badi’iyyah ini memiliki keahlian dalam menghitung siklus haid dan jenis darah haid yang mereka alami meskipun di pesantren dan di sekolah mereka telah mendapatkan materi haid dalam kajian kitab fikih. Jika dirasa kurang, untuk mengembangkan pengetahuan santri terhadap permasalahan haid, maka sebaiknya diadakan sebuah kajian masail li an-nisa’ di pesantren.
Penulis akan meneliti sebatas mana pemahaman santri dan apa yang menjadi penyebab kurangnya pemahaman santri secara mendasar terhadap permasalahan haid kemudian mencari solusi tepat yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini. Maka dari itu, peneliti ingin sekali mengupas tentang Analisis Pengetahuan Santri Putri Terhadap Permasalahan Haid dan Istihadlah di Pesantren Putri Al-Badi’iyyah.
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah yang merupakan dasar penelitian ini sebagai berikut :
- Bagaimana pemahaman santri Pesantren Putri Al-Badi’iyyah terhadap permasalahan haid dan istihadlah?
- Kenapa santri Pesantren Putri Al-Badi’iyyah belum dapat mengetahui permasalahan haid dan istihadlah secara mendalam?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Penelitian yang dilakukan tidak jauh berbeda dari tujuan penelitian pada umumnya yakni untuk memenuhi kebutuhan terhadap objek penelitian guna medapatkan informasi-informasi, pokok-pokok pikiran dan pendapat lainnya sesuai dengan ruang lingkup yang diteliti. Dalam metodologi penelitian, penulis hendaknya menyebutkan variabel penelitian, memilih instrumen yang digunakan, mengumpulkan data, populasi dan sampling dari penelitian yang dipilih.[4]
Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Pada prakteknya metode ini digunakan pada kondisi obyek alamiah, peneliti sebagai instrumen kunci, sumber data dengan pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive dan snowball. Analisis data bersifat kualitatif/induktif, menggunakan teknik trianggulasi dan hasil penelitiannya menekankan pada makna dari generalisasi.[5]
Metode penelitian berfungsi sebagai alat atau pedoman melakukan penelitian, sedangkan penelitian adalah suatu cara yang biasanya didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang bersifat ilmiah. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara (interview) terhadap obyek penelitian yakni 7 santri Pesantren Putri Al-Badi’iyyah sebagai sampel dari 164 jumlah populasi santri secara keseluruhan. Instrumen penelitian yang digunakan penulis adalah menggunakan pedoman wawancara, lembar pengamatan, dan mengajukan beberapa pertanyaan.
D. Landasan Teori
Notoatmodjo menjelaskan dalam Naomi (2019), yang dimaksud pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari “tahu”. Orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, kemudian mendapatkan pengetahuan darinya, yakni pengindraan melalui pancaindra: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Manusia memperoleh pengetahuan sebagian besar melalui pengindraan dari mata (melihat) dan telingan (mendengar).[6] Atau dapat dikatakan, agar mencapai pada tataran mengetahui yakni dengan melalui proses belajar, baik dengan membaca maupun diajarkan oleh guru.
Pemahaman santri putri Al-Badi’iyyah dalam proses belajar ilmu fikih didapatkan melalui kajian kitab kuning. Salah satu pemicu pemahaman santri adanya sifat al-hirs yakni rakus atau haus akan ilmu pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya belajar. Dalam proses belajar, hendaknya santri memiliki sifat tersebut dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Selain mendapatkan pengajaran oleh guru, santri hendaknya muthola’ah atau mengulang-ulang hasil belajarnya sendiri. Dengan begitu, pemahaman akan suatu fan ilmu akan mudah didapatkan jika ada kesungguhan dari dalam diri.
Santri Al-Badi’iyyah dalam menghadapi permasalahan haid yang ingin diteliti penulis adalah seberapa pemahaman santri dalam membedakan darah kuat dan lemah, serta mengetahui pembagian istihadloh dengan baik. Ketika mengetahui jenis-jenis orang yang mengalami istihadloh, maka dengan begitu santri akan dengan mudah mengetahui dimana masa siklus keluarnya darah yang dapat dikatakan haid dan mana yang istihadloh. Karena hal ini akan berdampak pada keseharian ibadah yang biasa dilaksanakan.
E. Pesantren Putri Al-Badi’iyyah
Pesantren Putri Al-Badi’iyyah atau sering disingkat PESILBA merupakan pondok pesantren khusus santri putri dari Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati yang didirikan oleh KH. Sahal Mahfudh. Pesantren Al-Badi’iyyah pertama didirikan pada tahun 1972 M. oleh Ibu Ny. Hj. Nafisah Sahal atas izin dari suami beliau KH. Sahal Mahfudh.[7]
Pada masa awal rintisan, Pesantren Al-Badi’iyyah menerima santri yang hanya menerima pengajian di pondok saja, namun seiring berjalannya waktu Pesantren Al-Badi’iyyah mewajibkan santrinya untuk mondok sekaligus sekolah di Perguruan Islam Matali’ul Falah. Jadi dalam perjalananya, santri Al-Badi’iyyah lebih banyak mendapatkan pengajaran agama dan kitab kuning dari pesantren dan sekolah.[8]
Pesantren Al-Badi’iyyah sebagaimana seperti pesantren-pesantren lain juga melanggengkan tradisi pesantren dengan metode pembelajaran mengkaji kitab kuning. Pengajaran kitab kuning merupakan tradisi agung (great tradision) yang ada di Indonesia.[9] Oleh karena demi melanggengkan tradisi tersebut, pesantren menjadi tonggak utama dalam melestarikan kitab kuning sepanjang zaman. Sebagamaimana kaidah almukhafadzotu ‘ala qadimi as-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang baik). Dalam hal ini, metode pembelajaran pesantren putri Al-Badi’iyyah memakai kajian kitab kuning melalui bandongan, santri memaknai kitab sedang guru membaca dan menerangkan.
F. Pengetahuan Santri Al-Badi’iyyah Terhadap Permasalahan Haid dan Istihadlah
Santri yang merupakan masyarakat pesantren, setiap harinya tak pernah lepas dari pengajaran terkait permasalahan fikih. Mulai dari pembahasan ibadah, muamalah, munakahat, hingga jinayat. Dengan mendapatkan materi pembelajaran tersebut dari pesantren, santri dapat dengan mudah mendapatkan pedoman beragama yang baik sesuai syari’at kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang santri wajib hukumnya mempelajari hukum-hukum tersebut termasuk mempelajari permasalahan haid, karena hal itu selalu berkaitan dengan rutinitas ibadah sehari-hari. Untuk mengetahui permasalahan tersebut tidak ada cara lain kecuali dengan belajar. Sedangkan hukum mempelajarinya bagi seorang wanita adalah fardlu ‘ain dan bagi laki-laki adalah fardlu kifayah.[10] Berdasarkan hal tersebut, santri putri Al-Badi’iyyah selayaknya juga mengetahui permasalahan haid secara mendalam. Hal ini selaras dengan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. :
طلب العلم فريضة على كل مسلم. رواه ابن ماجه.
“Mencari ilmu itu wajib bagi seluruh orang islam” (HR. Ibnu Majah).
Pada 13 dan 14 Februari 2023, penulis melakukan wawancara terhadap 7 orang santri Al-Badi’iyyah dengan perician; 2 anak merupakan santri kelas 1 Aliyah, 2 anak kelas 2 Aliyah, dan 3 anak dari kelas 3 Aliyah. Rata-rata dari mereka pertama kali mengeluarkan darah haid pada umur 12 tahun, dan mereka mengetahui dasar-dasar permasalahan haid (pengertian haid, usia minimal haid, minimal darah keluar, maksimal darah keluar, minimal suci). Akan tetapi dalam permasalah pembagian jenis- jenis istihadlah mereka masih kebingungan. Bahkan beberapa diantaranya kurang tepat dalam menjelaskan darah qowiy dan darah dlo’if.
Pada penelitian ini penulis membuat tabel hasil observasi melalui wawancara terhadap 7 orang santri Al-Badi’iyyah dengan kriteria poin pemahaman sebagai berikut :
A | Sangat faham |
B | Faham |
C | Tidak terlalu faham |
D | Tidak faham |
E | Sangat tidak faham |
Hasil wawancara terangkum dalam perincian sebagai berikut :
No | Tanggal | Nama | Kelas | Kemampuan membedakan darah | Min. dan max. haid | Jenis Mustahadloh | Mengalami Istihadloh |
1 | 13 Februari 2023 | Halida | 1 Aliyah | B | A | C | Iya |
2 | 13 Februari 2023 | Afifa | 1 Aliyah | B | A | C | Iya |
3 | 13 Februari 2023 | Zakiya | 2 Aliyah | C | A | D | Tidak |
4 | 14 Februari 2023 | Aulia | 3 Aliyah | B | A | C | Iya |
5 | 14 Februari 2023 | Daniya | 3 Aliyah | B | A | D | Tidak |
6 | 14 Februari 2023 | Anma | 3 Aliyah | B | A | C | Iya |
7 | 14 Februari 2023 | Nufus | 2 Aliyah | C | A | D | Tidak |
Melihat tabel diatas, terdapat 4 anak yang pernah mengalami istihadlah. Namun ketika memberikan contoh satu permasalahan, ternyata hasil hitungannya kurang tepat. Perkiraan hitungan darah keluar yang sebenarnya dihukumi darah istihadlah, masih ada yang menjawab itu adalah darah haid. Jika tidak ditindak lebih lanjut, maka kebanyakan santri akan salah kaprah dalam menghitung hitungan haid mereka. Mereka juga sadar betul bahwa pengajaran kajian haid sangat penting bagi mereka, mengingat sewaktu-waktu bisa saja mengalami permasalahan haid diluar adat kebiasaan mereka dan adanya kajian haid ini kiranya dapat membantu santri dalam menjawab permasalahan haid tanpa perlu bertanya kepada orang lain apabila telah menguasainya. Selain itu, hal yang mempengaruhi kurangnya pengetahuan santri adalah kurangnya belajar dengan giat dan gigih.
Salah satu hal yang mendasari santri Al-Badi’iyyah masih kurang faham dalam mengenali jenis darah dan hitungan haid dengan benar adalah kurangnya giat dalam belajar dan pengajaran secara fokus pada permasalahan haid. Sebelumnya, sedikit dari mereka yang mendapatkan pengajaran terkait permasalahan haid. Meskipun begitu, mereka belum dapat secara sempurna memahami pembelajaran tersebut. Alangkah baiknya dalam proses belajar, santri agar fokus dan aktif dalam bertanya sehingga ilmu yang diperoleh tidak hanya didengarkan oleh telinga dan mudah untuk dilupakan.
G. Kajian Haid yang Diajarkan Pesantren Putri Al-Badi’iyyah
Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran yang ada di pesantren putri Al-Badi’iyyah dirancang dan diatur oleh PP (Pembantu Pengasuh) bidang kependidikan pesantren. Mulai dari materi pembelajaran, pengajar, hingga kurikulum yang dipakai. Setelah ditetapkan oleh PP bidang kependidikan pesantren, kegiatan pesantren kemudian dikelola oleh pengurus pesantren putri Al-Badi’iyyah bidang pendidikan. Kegiatan pembelajaran yang telah dirancang tersebut meliputi, pengajian al-Qur’an, ngaji bandongan, kajian nahwu, sorogan, dll. Namun, pengajaran terkait permasalahan haid tidak diajarkan secara intensif dan khusus di pesantren Al-Badi’iyyah. Pengajaran seputar permasalah haid sudah input dalam kajian fikih yang ada di sekolah. Pengetahuan santri Al-Badi’iyyah seputar permasalahan haid hanya didapatkan secara umum pada kitab-kitab fikih yang diajarkan, baik diajarkan di pesantren maupun di sekolah.
Selain kegiatan yang telah dijelaskan tersebut, pesantren putri Al-Badi’iyyah setiap tahunnya mengadakan kegiatan ubudiyah yang diadakan oleh pengurus pesantren Al-Badi’iyyah di bidang pendidikan. Pada kegiatan ini, tema kegiatan ubudiyah yang diadakan berbeda-beda setiap tahun. Kegiatan ubudiyah merupakan kegiatan pengajaran seputar pembahasan fikih tertentu yang sistemnya kurang lebih seperti seminar. Mulai dari pemaparan narasumber, praktek, hingga menyediakan sesi tanya jawab oleh santri. Kegiatan ubudiyah ini memaparkan tentang masail diniyyah (masalah keagamaan), cara beribadah dengan cara yang baik dan benar, seperti tajhizul mayyit (cara memulasarakan mayit dengan baik dan benar secara syari’at).
Pada tahun ini, santri pesantren putri Al-Badi’iyyah mengadakan kegiatan ubudiyyah dengan mengangkat tema pembahasan terkait permasalahan haid. Santri mendapatkan pengetahuan tambahan seputar permasalahan haid. Namun sekali lagi pengajaran yang hanya diajarkan setahun sekali tidak cukup bagi santri Al-Badi’iyyah. Kajian Haid sebaiknya dilaksanakan sekurang-kurangnya seminggu satu kali, dengan begitu santri dapat mempelajari permasalahan haid secara fokus dan intensif, kemudian dapat memahami betul terkait permasalahan haid setidaknya dapat membedakan jenis dan sifat darah. Memahami apa yang disebut dengan mubtadi’ah, mu’tadah, dan mutahayyiroh.[11]
Penulis memberikan saran agar pembelajaran kajian haid dilaksanakan minimal satu kali dalam seminggu. Dengan pembelajaran yang fokus, dan aktifnya santri dalam mendengarkan dan bertanya pada pengajar akan membuat pembelajaran lebih efektif. Alangkah baiknya pengajaran dilaksanakan menggunakan metode dialog. Selain menggunakan metode bandongan (guru membaca dan menerangkan, santri menyimak) perlu juga memakai metode dialog agar santri lebih aktif bertanya dan kritis dalam memperhatikan pengajaran.
Kurikulum kajian haid yang dapat dipakai oleh santri Al-Badi’iyyah adalah dengan mengkaji dan mendalami pembahasan haid dalam kitab-kitab fikih yang diajarkan di pesantren dan sekolah. Setelah itu baru kemudian dapat memakai kitab Risalatul Mustahadloh sebagai pembelajaran kajian haid secara mendalam di pesantren.
H. Kesimpulan
Pesantren sebagaimana lembaga pendidikan yang slalu melestarikan tradisi para ulama, pengajaran yang dipakai dalam mempelajari permasalahan agama yakni dengan menggunakan kitab kuning. Santri sebagai pelajarnya, selayaknya disebut sebagai masyarakat pesantren yang memahami fikih secara mendalam. Karena kaitannya dengan permasalahan ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat.
Salah satu hal yang mendasari santri Al-Badi’iyyah masih kurang faham dalam mengenali jenis darah dan hitungan haid dengan benar adalah kurangnya giat dalam belajar dan pengajaran secara fokus pada permasalahan haid. Sebelumnya, sedikit dari mereka yang mendapatkan pengajaran terkait permasalahan haid. Meskipun begitu, mereka belum dapat secara sempurna memahami pembelajaran tersebut. Alangkah baiknya dalam proses belajar, santri agar fokus dan aktif dalam bertanya sehingga ilmu yang diperoleh tidak hanya didengarkan oleh telinga dan mudah untuk dilupakan.
Pemahaman santri putri Al-Badi’iyyah dalam proses belajar ilmu fikih didapatkan melalui kajian kitab kuning. Salah satu pemicu pemahaman santri adanya sifat al-hirs yakni rakus atau haus akan ilmu pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya belajar. Dalam proses belajar, hendaknya santri memiliki sifat tersebut dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Selain mendapatkan pengajaran oleh guru, santri hendaknya muthola’ah atau mengulang-ulang hasil belajarnya sendiri. Dengan begitu, pemahaman akan suatu fan ilmu akan mudah didapatkan jika ada kesungguhan dari dalam diri.
Santri Al-Badi’iyyah selama di pesantren, kurang fokus dalam mempelajari dan mendalami ilmu fiqh pada pembahasan haid oleh karena itu sebaiknya santri mendapatkan perhatian penuh dalam mempelajari kajian haid. Pengetahuan mereka terhadap permasalahan haid masih dasar, dan perlu untuk mendapatkan pengajaran seputar permasalahan haid secara mendalam agar dapat mengetahui pembagian orang yang mengalami istihadlah, jenis-jenis darah qowiy hingga dlo’if, dan menghitugnya dengan benar. Dalam hal ini, pesantren dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan mengadakan kegiatan pengajaran kajian haid setidaknya sekali dalam seminggu.
I. Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2016). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Bruinessen, M. V. (2015). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing.
Evin Dwi Prayuni, A. I. (2018). TERAPI MENSTRUASI TIDAK TERATUR DENGAN AKUPUNTUR DAN HERBAL PEGAGAN (CENTELLA ASIATICA (L.). Journal of Vocational Health Studies 02, 87.
Irsyad, A. U. (n.d.). Risalatul Mustahadloh fi Bayanil Haid wa Nifas wal Istihadloh. Rembang: MUS dan Al Hidayah.
Janah, T. N. (2022). Kiai Sahal & Nyai Nafisah Beriringan, Saling Mendukung dan Saling Menguatkan. Yogyakarta: Penerbit Quantum.
Lirboyo, T. L.-i.-i. (2015). Uyunul Masa-il Linnisa’. Kediri: Tim LBM Hidayatul Mubtadi-ien.
Sugiono. (2017). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabenta.
Bab II Tinjauan Pustaka. (n.d.). Retrieved from Poltekkes Denpasar: http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/9040/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
[1] Evin Dwi Prayuni, Ario Imandiri, Myrna Adianti, TERAPI MENSTRUASI TIDAK TERATUR DENGAN AKUPUNKTUR DAN HERBAL PEGAGAN (CENTELLA ASIATICA (L.), Journal of Vocational Health Studies 02, 2018, hlm 87.
[2] Ahmad Ustukhri Irsyad, Risalatul Mustahadloh fi Bayanil Haid wa Nifas wal Istihadloh, hlm 1.
[3] Hasil wawancara secara langsung terhadap tiga santri putri Al-Badi’iyyah pada tanggal 13 Februari 2023.
[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2016, hlm. 17
[5] Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabenta, Bandung 2017, hlm. 15
[6] jhttp://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/9040/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
[7] Tutik Nurul Janah, Kiai Sahal & Nyai Nafisah Beriringan, Saling Mendukung dan Saling Menguatkan, Yogyakarta : Penerbit Quantum, 2022, hlm. 78
[8] Ibid, hlm. 79
[9] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta : Gading Publishing, 2015, hlm. 85
[10] Team Lajnah Bahtsul Masa-il Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Uyunul Masa-il Linnisa’, Kediri rev. 2015 M, hlm. 16-17
[11] Hasil wawancara secara langsung terhadap empat santri putri Al-Badi’iyyah pada tanggal 14 Februari 2023.
Vina Rahma Sania,
Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh semester 4
e-mail : rahmasania0@gmail.com