Analisis Penggunaan Sabun dalam Mensucikan Hadats Besar Perspektif Ushul Fiqh Syafi’i

Artikel774 Dilihat

Seiring berkembangnya zaman manusia lebih memilih menggunakan sesuatu yang simple dan instant, tidak terlepas juga dalam masalah ibadah yang mana mereka lebih mendahulukan sesuatu yang sifatnya sederhana dan meninggalkan sesuatu yang kompleks, di era yang seperti ini mau tidak mau fikih harus menghadapi masalah masalah yang baru ini, sepertI dalam masalah menggunakan sabun sebagai ganti debu dalam membersihkan najis mughalladlah,

Ulama’ berbeda pendapat dalam menanggapi masalah ini ada ulama yang mengatakan sabun tidak bisa menggantikan debu dalam mensucikan Najis mughalladlah, ada ulama yang mencukupkan debu sebagai ganti dari sabun sebagaimana tujuan dari menggunakan debu adalah supaya sesuatu yang disucikan menjadi lebih bersih, yang mana tujuan tersebut bisa terwakili dengan menggunakan sabun,

Dalil yang mendasari penggunaan debu sebagai alat untuk membersihkan sebagaimana sabda Nabi:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا شَرِب الكلب في إناء أحَدِكُم فَليَغسِلهُ سبعًا. ولمسلم: أولاهُنَّ بالتُراب. وله من حديث عبد الله بن مغفل عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا وَلَغ الكلب في الإناء فاغسلوه سبعًا وعفَّرُوه الثَّامِنَة بالتُّراب

Pada Lafadz bi at turab secara tekstual dan spesifik menjelaskan mensucikan najis mughalladlah hanya dengan menggunakan debu, namun dalam madzhab syafi’i ada salah satu qaul yang mengatakan sabun bisa mengganti fungsi dari debu yaitu menjadikan lebih bersih,

Melihat dari hadits diatas ada 4 hal yang menjadikan sabun tidak bisa menggantikan posisi debu (1) secara deskriptif nash menggunakan kata debu karena merupakan salah satu dari alat bersuci (2) jika beralasan sifat debu sebagai alat untuk lebih bersih sabun bisa menggantikannya namun ada sifat yang bertentangan dengan salah satu sifat  yang tidak ada dalam sabun yaitu mengumpulkan dua sesuci (air dan debu) (3) sifat sebagai alat untuk lebih bersih disini adalah sifat yang diproduksi dari munasabah bukan isyarat dari nash maka dari itu sifat ini tidaklah kuat karena muncul dari prasangka peneliti yang ditemukan dari evaluasi dan uji coba, jika begitu sebagaimana kaidah ushul :

اذا وقعت فى المعنى الذى يدار عليه الحكم الإحتمالات فاتباع النص هو الصواب

Jika didalam hukum terjadi beberapa kemungkinan maka yang akurat adalah mengikuti nash (4) sifat yang sudah di istinbath ketika hasilnya dapat membatalkan nash maka menurut para Ulama’ Ushul hasil istinbath tersebut ditolak, sebagaimana keterangan diatas ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi :

إذا ورد النص بشيء معين و احتمل معنى يختص بذلك الشيء لم يجز إلغاء النص و إطراح خصوص المعين

Ketika ada nash yang menggunakan sesuatu yang spesifik dan maknanya mengarah pada hal yang lebih khusus dari sesuatu tersebut, maka nash tadi tidak boleh didisfungsikan dan membuang kekhususan pada sesuatu yang spesifik tadi,

Pada kaidah diatas maka tidak boleh menggantikan debu dengan sabun, karena nash yang digunakan menggunakan sesuatu yang spesifik walaupun ada sifat lain yang sesuai seperti menjadikan lebih bersih, tetap saja tidak boleh karena sifat ini bisa mencederai sifat yang lebih khusus yaitu mengumpulkan dua alat bersuci, yang mana tidak dapat ditemukan dalam sabun. Dari analisis diatas dapat disimpulkan sabun tidak bisa digunakan untuk mensucikan najis mughalladlah sebagai ganti debu. Wallahu a’lam.

 

Arif Rahman Taufiq, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *