Bila Pancasila Bukan Panca
Oleh: Rofifatas Sajaya
Proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas demi kemajuan bangsa. Tak lekang oleh waktu, tak usang oleh zaman. Negara Kesatuan Republik Indonesia, disusun oleh founding fathers yang sangat beragam. Beragam suku dan budaya berbaur dan bahu membahu mengusir penjajah, menuntut kemerdekaan. Salah satu wujud dari keragaman suku dan budaya yang membaur dan bahu membahu mengusir penjajah dapat ditemukan pada Dasar Negara Republik Indonesia. Dasar Negara ini mencerminkan cita rasa perjuangan dengan corak khas bangsa Indonesia.
Dasar Negara adalah salah satu tugas pokok Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), badan yang diinisiasi oleh Jepang untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang BPUPKI inilah gagasan-gagasan tentang dasar negara bermunculan. Ada 3 tokoh yang kita kenal yang berani mengungkapkan idenya untuk diangkat menjadi dasar negara pada saat sidang I BPUPKI berlangsung. Yang pertama Mr. Moh. Yamin mengusulkan peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat pada hari pertama sidang, 29 Mei 1945. Berikutnya ada Dr. Soepomo yang mengajukan persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, serta keadilan sosial pada hari ketiga sidang, 31 Mei 1945. Terakhir, ada Ir. Soekarno mengusulkan kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan Yang Maha Esa. Pembahasan tentang dasar negara selanjutnya dikawal oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. Ahmad Soebarjo, Mr. A. A. Maramis, Yai Abdul Kahar Muzakir, Yai Wahid Hasyim, H. Agus Salim, R. M. Abikusno Cokrosuyoso yang terkenal dengan sebutan Panitia Sembilan.
Ketika membaca sejarah hanya sebatas informasi di atas mesti rasanya dasar negara hanya terasa ‘biasa’, toh materi-materi sejarah Indonesia seperti ini sudah diajarkan di bangku sekolah. Namun menjadi berbeda halnya ketika seseorang membaca lengkap salah satu saja manuskrip bagaimana para tokoh tadi menyampaikan gagasannya. Misalnya saja pada manuskrip pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang dibukukan oleh Panitia Kongres IX dengan judul Pancasila Dasar Negara, Kongres Pancasila oleh Presiden Soekarno. Kita akan sangat merasakan kondisi, situasi dan spirit para tokoh. Yaitu ketika Ir. Soekarno memulai pembahasan dengan menjelaskan apa itu merdeka, dan bagaimana kondisi negara-negara di dunia saat memutuskan merdeka. Beliau ingin para pejuang kemerdekaan menyadari, bahwa kemerdekaan bukanlah soal sudah mapan atau belum, namun soal berdiri di atas kaki sendiri bagaimanapun keadaannya! Kita bisa membayangkan bagaimana luasnya pengetahuan beliau dan kemampuan bahasa Ir. Soekarno waktu itu..
Ada proses perumusan dasar negara yang bagi saya sangat menggelitik untuk direnungkan. Hal ini diceritakan secara apik oleh Yudi Latif dalam bukunya, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Yaitu pengakuan Ir. Soekarno dikemudian hari bahwa ternyata pada malam menjelang 1 Juni 1945 beliau bertafakkur, beliau keluar dari Rumah Pegangsaan Timur No. 6, memandang langit, menyadari betapa kecilnya beliau di alam raya ini, menyadari betapa berat tanggung jawab beliau untuk dapat merumuskan dasar negara yang sifatnya statis agar dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa, namun juga bersifat dinamis, agar dapat menunjukkan ke mana arah gerak rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Beliau mengingat lagi semua hal yang pernah beliau lalui. Bahwa beliau pernah diberi Allah kesempatan berpuluh-puluh tahun melihat penderitaan rakyat, melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk dalam penjara, melihat sendiri para pejuang dihukum mati, mengorbankan nyawanya untuk berakhir di tiang-tiang gantungan, menyumbang harta benda yang dimiliki, demi tercapainya cita-cita kemerdekaan ini. Bahkan beliau juga pernah mendapatkan surat dari orang yang keesokan harinya akan naik ke tiang gantungan, yang isinya mengamanatkan beliau untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan..
Bagi saya menjelang malam 1 Juni 1945 adalah malam yang emosional sekali. Pidato Ir. Soekarno yang penuh makna pada 1 Juni 1945 bukanlah pidato yang lahir dari pikiran yang pendek, maupun angan-angan yang sembarangan. Namun lahir dari rangkuman saksi mata dan pelaku pejuang kemerdekaan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Tafakkur dan doa itu dalam uraian Ir. Soekarno sendiri membuahkan ilham yang berkata agar Ir. Soekarno menggali dasar negara dari bumi Indonesia sendiri. Maka beliau malam itu menggali dan terus menggali dalam ingatannya, menggali dalam khayalnya, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini. Di lain waktu, beliau pernah mengatakan bahwa dasar yang statis dan dinamis untuk negara Indonesia hanya dapat digali di dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia karena ketika kita memasukkan elemen-elemen yang bukan berasal dari jiwa masyarakat, tidak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.
Maka dalam pidato presentasi dasar negara oleh Ir. Soekarno beliau selalu mengajak kita, untuk melihat bagaimana negara lain mencapai kemerdekaannya, bagaimana negara lain membuat dasar negara, ideologi apa yang akhirnya dipakai dalam negara tersebut, dan mencocokkannya dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ir. Soekarno tidak pernah mengajarkan kita untuk membeo pada negara lain, namun beliau mengajarkan kita untuk meluaskan pengetahuan dan mencari sebanyak mungkin cetakan-cetakan/ model-model jalan demi tercapainya tujuan. Cetakan/ model itulah yang nantinya dibentuk sesuai cita rasa dan corak bangsa Indonesia.
Dalam penawaran Ir. Soekarno atas 5 dasar negara, kita akan melihat setiap silanya pasti tawazun dan tawassuth sekali. Yang pertama adalah kebangsaan/ nasinolisme tanpa chauvinisme, yaitu kita ini berbangsa tapi juga menganut kekeluargaan antar bangsa, tidak jumawa dan merasa paling tinggi. Yang kedua, internasionalisme tanpa kosmopolitisme, yaitu berperi kemanusiaan yang tanpa melihat apa kebangsaannya namun tetap mengakui bahwa kita memiliki bangsa, kita adalah sebuah bangsa. Yang ketiga adalah mufakat dengan dasar permusyawaratan perwakilan, setiap golongan dalam Indonesia dapat memperjuangkan haknya dalam negara. Yang keempat, tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia yang berarti meniadakan kapitalisme. Dan yang terakhir, ketuhanan yang Maha Esa yang berarti semua orang dapaat beribadah dengan leluasa. Bukan Indonesia untuk kristen saja, atau Indonesia untuk Islam saja, namun Indonesia untuk Indonesia. 5 dasar inilah yang nantinya dinamakan Pancasila.
Namun dasar ini ternyata dapat diringkas menjadi 3 dasar negara menjadi; socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Dan ketika diringkas menjadi satu dasar saja, maka kita akan melihat bahwa Ir. Soekarno dengan segala pertimbangan perjuangan beliau melihat jiwa rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang gotong royong.