Cara Fiqh Sosial Mengentaskan Kemiskinan Lewat Pemenuhan Gizi

Artikel417 Dilihat

Meneladani seorang tokoh, tentu saja tidak untuk membangun mitos atasnya. Justru, dengan menggali karya, mengupas hikmah dan mencipta kerangka pikir atas apa yang sudah direnungkan, ditulis dan dikerjakan seorang tokoh menjadi bagian penting dari gerak pengetahuan. Meneladani dan menggali pemikiran tokoh fiqh sosial, KH. MA. Sahal Mahfudh artinya memulai untuk membentuk manhaj al-fikr ala pesantren yakni mulai menggali, mengupas dan merenungkannya menjadi bagian penting dari gerak pengetahuan.[1]

Sebagai bagian dari gerak pengetahuan, “paradigma berfiqh baru” yang dibawa Kiai Sahal, memiliki lima ciri pokok. Salah satu cirinya adalah adanya upaya interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru[2]. Kontekstualisasi fiqh disini bukan berarti meninggalkan atau pun menanggalkan fiqh secara mutlak. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu (eksak maupun sosial) diluar yang selama ini dianggap “ilmu agama”.[3]

Salah satu contoh kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu adalah ketika pemahaman kitab kuning dengan panduan ilmu gizi akan sangat bermakna dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam berbagai literatur fiqh menjelaskan bahwa manusia memerlukan makanan pokok dengan istilah al-qut al-mughdzi. Al-mughdzi adalah makanan yang mengandung gizi, ketika al-qut al-mughdzi kemudian tidak hanya dimaknai dengan makanan pokok, tapi dimaknai juga dengan makanan pokok yang mengandung gizi menurut ilmu gizi atau makanan yang memenuhi empat sehat lima sempurna. Dengan bantuan disiplin ilmu kesehatan, lebih khusus ilmu gizi istilah tersebut akan lebih dapat dipahami secara tepat.[4]

Pada 24 Oktober 1991 dalam acara Mimbar Agama Islam TVRI Kiai Sahal menghadirkan upaya kontekstualisasi fiqh untuk menjawab salah satu problematika umat melalui makalah yang dituliskan beliau dengan judul “Gizi dan Pemberantasan Kemiskinan”.[5] Setting waktu saat itu pada masa akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 1, dan dimulainya (PJP) 2 atau era tinggal landas yang digadang-gadang mampu tinggal landas menjadi sejajar dengan negara lain yang sudah lebih dulu maju, yang ditandai dengan semakin majunya IPTEK.

Tulisan ini dimulai dari penjelasan beliau dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al – Bukhori:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ، اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Artinya: “Ada dua ni’mat dimana sebagian besar masyarakat justru di rugikan (tertipu) didalamnya, yaitu kesehatan dan waktu kosong.”

Selanjutnya dari Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, yang mengatakan:

فَإِنَّ مَقْصِدَ ذَوِي الْأَلْبَابِ لِقَاءُ اللهِ تَعَالَى فِي ْدَارِ الثَّوَابِ، وَلَا طَرِيْقَ إِلَى الْوُصُوْلِ لِلِقَاءِ اللهِ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَلَا تُمْكِنُ الْمُوَاظَبَةُ عَلَيْهَا إِلَّا بِسَلَامَةِ الْبَدَنِ وَلَا تَصْفُوْ سَلَامَةُ الْبَدَنِ إِلَّا بِالْأَطْعِمَةِ وَالْأَقْوَاتِ،

Artinya: “Bahwa tujuan hidup bagi orang-orang yang berakal sehat adalah bertemu Allah SWT di surga nanti. Dan tiada jalan menuju liqaaullah itu kecuali dengan dengan ilmu dan amal. Sementara itu, ilmu dan amal tidak mungkin dicapai kecuali dengan kesehatan badan. Dan kesehatanpun tidak bisa tercapai kecuali dengan makanan dan zat-zat penguat bagi kesehatan manusia.”

Dari dua ibarah diatas jelas disebutkan bahwa tanpa adanya kesehatan manusia akan kesulitan dan bahkan tidak akan bisa melakukan aktifitas-aktifitas yang bermanfa’at seperti mencari ilmu dan beramal yang pada gilirannya manusia dapat melakukan ibadah yang sempurna dalam rangka mencapai tujuan yaitu bertemu Allah. Tidak dapat dinafikan bahwasanya antara kesehatan dan zat-zat penguat (القوة) atau gizi (غذاء) merupakan dua hal yang selalu berkelindan.

Untuk membentuk masyarakat yang sehat gizi merupakan faktor penentu yang menjadi syarat dasar bagi kehidupan manusia, gizi juga tidak bisa ditawar lagi merupakan faktor penentu sumber daya insani yang baik, secara fisik maupun non fisik. Tanpa hal itu potensi dan produktivitas manusia bisa mengalami reduksi.

Jika melihat uraian tersebut, maka permasalahan kemiskinan dan kefaqiran mempunyai hubungan yang sangat erat dengan gizi. karena manusia tanpa kesehatan dan tanpa sumber daya insani yang baik akan lebih dekat dengan kemiskinan dan kefakiran. Hal itu terjadi akibat ketidakmampuan mengaktualisasikan dirinya secara produktif di tengah kehidupan ini.

Disisi lain masyarakat yang miskin dan fakir sulit untuk memenuhi gizi, sehingga sebagai upaya memotong lingkaran kemiskinan tersebut harus ada pemenuhan gizi untuk masyarakat fakir dan miskin. setelah pemenuhan gizi yang memadai, manusia menjadi sehat. Karena sehat ia bisa menerima dan mengembangkan IPTEK sekaligus mempunyai sumber daya insani. Sehingga pada akhirnya ia dapat bekerja secara produktif dengan etos kerja yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan dan pada gilirannya ia terhindar dan kemiskinan dan kefaqiran.

Lebih lanjut, makalah tersebut merupakan bentuk dari solusi yang Kiai Sahal tawarkan terkait relasi antara pemenuhan gizi dan pemberantasan kemiskinan untuk menyambut era tinggal landas pada saat itu, beliau melihat bahwa setiap masalah selalu memliki konteksnya tersendiri, yang biasanya lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.[6]

Dengan demikian, reinterpretasi teks-teks fiqh yang telah dilakukan Kiai Sahal diatas jika dilihat dari berbagai disiplin ilmu akan terlihat secara konstruktif dan saling terelasi. Beliau melihat segala sesuatu secara komprehensif, maka tidak menutup kemungkinan bahwa solusi yang ditawarkan tiga dekade lalu dapat kembali menjadi solusi pada saat ini.

Apakah pengentasan kemiskinan lewat pemenuhan gizi tersebut dapat terealisasi dengan memberikan makan siang gratis?.

 

[1] Umdah El Baroroh, dkk , Epistemologi Fiqh Sosial Konsep Hukum dan Pemberdayaan masyarakat, (Pati: Fiqh Sosial Institute, 2014), hal. ix

[2] MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2011), hal. viii

[3] Ibid. Hal. xIiii

[4] Ibid.

[5] MA. Sahal Mahfudh, Makalah Gizi dan Pemberantasan Kemiskinan, 1991 (tidak dipublikasikan)

[6] MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2011), hal. xiiii

 

Aini Ulfiah Farida,

Santri semester 4 Ma’had Aly Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *