DALAM BER-FIQH PERLU TRANSFORMASI TATA NILAI (Uraian Mengenai Hukum Merayakan Ulang Tahun) KH. MA. Sahal Mahfudh

Kolom Yai488 Dilihat

DALAM BER-FIQH PERLU TRANSFORMASI TATA NILAI

(Uraian Mengenai Hukum Merayakan Ulang Tahun)

KH. MA. Sahal Mahfudh

Seorang santri diundang menghadiri acara ulang tahun temannya. Setelah itu, ia juga tertarik untuk merayakan ulang tahun kelahirannya. Tetapi, ia ragu dan bergegas bertanya kepada saya tentang pandangan fiqh menyikapi perayaan ulang tahun kelahiran.
Saya jelaskan bahwa pada prinsipnya, ulang tahun maupun istilah-istilah yang berkonotasi sama, sah-sah saja diperingati. Sekilas, pembolehan ini memang nyaris jarang dijumpai di beberapa kajian disiplin ilmu fiqh, karena secara esensinya peringatan ulang tahun bukan merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam.
Lewat beberapa contoh sikap dan perilaku Rasul, Islam hanya mengajarkan untuk bersyukur ketika mendapat suatu kenikmatan dan kebahagiaan, yang wujud implementasi yang ditempuh dengan cara memperbanyak amalan-amalan kebaikan dalam rangka taqarrub terhadap Yang menciptakan segalanya.
Meski demikian, satu istilah lain yang tidak jauh berbeda, yakni pengistimewaan hari kelahiran, ternyata pernah tersirat dalam kisah hidup Rasulullah. Satu kitab disiplin ilmu hadits Shohih Muslim, dalam penjelasan masalah Puasa, memuat suatu hadis yang diriwayatkan Abu Qatadah, dengan mata rantai periwayatan yang rapi dan jelas, mengungkap peristiwa tersebut.
Dalam hadis tersebut diriwayatkan suatu ketika Rasulullah diminta penjelasan mengenai perilaku pribadinya, yang secara rutin melakukan puasa di hari Senin. Kemudian dengan penuh rasa bahagia beliau menjawab, “Di hari itu saya dilahirkan dan di hari itu pula Al-Quran diturunkan”.
Namun selanjutnya tidak ditemui kejelasan mengenai perintah, anjuran atau bahkan larangan terhadap peringatan maupun pengistimewaan hari kelahiran untuk masing-masing individu. Namun motivasi yang layak untuk dipertimbangkan adalah substansi nilai yang terkandung dalam pengistimewaan hari kelahiran, yang sering kali dilakukan oleh Rasulullah dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan ritual.
Sebab, selain menghormati hari kelahiran, juga merupakan pengejawantahan atas kenikmatan dan kebahagiaan yang dilimpahkan Sang Pencipta.
Dari situ, kemudian yang menjadi acuan segenap ulama, peringatan hari ulang tahun maupun istilah-istilah yang berkonotasi sama, boleh-boleh saja dilakukan, dan tentunya boleh pula ditinggalkan.
Kaidah al-ashlu al-ibahah, (hukum segala sesuatu adalah diperbolehkan) pada gilirannya akan terus relevan untuk mendasarinya, sepanjang dalam praktik pelaksanaannya terjiwai oleh aturan-aturan yang diperbolehkan syariat. Terlepas dari hukum peringatan, perangkat selanjutnya yang nyaris banyak dijumpai di beberapa kasus peringati hari ulang tahun adalah walimah, satu istilah fiqh yang bisa diartikan jamuan dalam penyelenggaraan peringatan.
Meski tak ditemui riwayat yang menyebutkan bahwa dalam mengistimewakan hari kelahiran, Rasulullah menyelenggarakan acara di luar aktivitas ritual, namun tidak berarti cara terakhir itu sepenuhnya menyimpang dari syariat-syariat Islam.
Berdasarkan sebuah hadits Al Bukhari tentang pelaksanaan walimah yang diselenggarakan Rasulullah ketika mempersunting Sayyidah Hindun, mayoritas ulama melakukan penjabaran dan penjelasan secara rinci dengan berbagai aspek tinjauan beserta seperangkat teknis-teknis pelaksanaan walimah.
Menurut pengarang kitab al-Minhaj, penyelenggaraan walimah baik yang lazim diadakan untuk persepsi pernikahan maupun peringatan-peringatan lain, posisinya ditempatkan pada status sunnah (dianjurkan), karena makna implisit yang dapat dikemukakan darinya adalah manifestasi idkhalu al-surur, memberikan kebahagiaan bagi orang lain, yang tentu nilainya teramat baik untuk diperhitungkan.
Sedangkan menurut budaya yang berkembang dalam masyarakat umum, peringatan hari ulang tahun kelahiran terkadang diasumsikan sebagai hari penuh hura-hura dan pesta-pesta berlebihan yang teramat sedikit mempertimbangkan norma-norma syariah.
Dalam korelasinya dengan penyelenggaraan acara yang memberi dampak negatif itu, pandangan fiqih tentunya akan berbeda. Selain secara lahir ia akan berkonsekuensi terhadap kontroversi sosial, dalam perspektif syariah pun pelaksanaannya ditempatkan pada posisi sangat tidak terhormat dihadapan Sang Pencipta.
Karenanya, menurut hemat saya, kesempatan untuk mentransformasikan tata nilai yang sekedar diperbolehkan (ibahah) menjadi suatu ajaran (sunnah), dalam memperingati hari ulang tahun sebaiknya diisi dengan berbagai macam aktivitas sosial, bersedekah dan berbagi kebahagiaan dengan orang lain.

 

Sumber : "WAJAH BARU FIQH PESANTREN" KH. MA. Sahal Mahfudh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *