Disabilitas Perspektif Ilmu Fiqih:
Analisis Filosofis Tentang Gagasan Fiqih Ramah Disabilitas
Oleh:
Habib Maulana Syukron
A. Latar Belakang
Fiqih yang merupakan hasil ijtihad tidak lepas dari adanya subjektif. Demikian halnya dengan aturan fiqih yang memang masih jauh dari inklusivitas terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu fiqih ramah disabilitas di buat oleh ulama kontemporer, sehingga tidak terjadi salah dalam memahami fiqih klasik yang mengakibatkan terjadinya pemikiran yang melenceng dalam beragama. Perkembangan sosial budaya dalam peradaban manusia modern saat ini menjadi hal yang utama bahwa fiqih pun harus berkembang.[1]
Fiqih secara bahasa adalah memahami tujuan perkataan pembicaraan. Menurut istilah, fiqih diartikan sebagai ilmi tentang hukum syariat yang bersifat amaliyah yang diambil dari dalil terperinci, merupakan ilmu dari hasil pemikiran dan ijtihad, serta membutuhkan analisa dan penalaran.
Istilah disabilitas dan difabel mempunyai perbedaan makna. Difabel (different ability) didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas. Tidak selalu jika seseorang berbeda dari mayoritas orang, maka ia dianggap sebagai “cacat” atau disabled. Sementara itu, disabilitas (disability) didefinisikan sebagai seseorang yang belum mampu berakomudasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan disabilitas.
Difabel atau disabilitas merujuk pada kondisi yang meliputi hambatan atau keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan pembatasan partisipasi. Sedangkan istilah gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh (strukturnya), suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas aktivitas (tindakan). Sedangkan pembatasan partisipasi merujuk pada kesulitan yang dialami oleh seseorang ketika berinteraksi dan terlibat dalam kegiatan sosial dan kehidupan sehari-hari.[2]
Oleh karena itu, disabilitas adalah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi antara ciri-ciri fisik atau mental seseorang dan lingkungan sosial dan budaya tempat orang tersebut tinggal. Penyandang cacat atau difabel merujuk pada individu yang memiliki kekurangan fisik dan/atau mental yang menghalangi atau mengganggu kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas atau aktivitas dengan benar dan efektif. Hal ini dapat meliputi berbagai jenis hambatan atau rintangan, dan menyebabkan kesulitan dalam partisipasi dan integrasi sosial. mereka terbagi menjadi tiga kategori, yaitu penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik sekaligus mental.
Dari uraian di atas, lantas bagaimana seorang penyandang disabilitas menjalankan perintah syariat? Bagaimana pula landasan filosofis fikih disabilitas?
B. Pandangan Islam terhadap Disabilitas
Nilai-nilai universal Islam, sebagaimana kesetaraan(equality), al-musawa (kesamaan hak/derajat), al-adalah(keadilan/justice), al-hurriyah(kebe-basan/freedom) dan sejenisnya, menjadi tolok ukur, dasar, landasan dan penguatan disabilitas dalam fiqh Islam atas penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas sekaligus menegaskan menghindari sikap dan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Islam memandang bahwa semua manusia adalah setara, tidak terkecuali bagi para penyandang disabilitas, mereka berhak mendapatkan perlakuan manusiawi. dan layanan fasilitas yang memadahi, terutama fasilitas beribadah kepada Allah swt.[3]
Pernyataan di atas secara eksplisit menegaskan bahwa kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan sama dan diterima dengan tulus, tanpa diskriminasi, tanpa stigma negatif dan tanpa marginalisasi dalam kehidupan sosialnya, Syekh Ali as-Sabuni dalam Tafsir Ayat Ahkam menjelaskan sbb :
يقول الله جل ذكره ما معناه : ليس على اهل الاعذار ولا على ذوى العاهات (الاعمى و لا عرج والمريض) حرج ان يأكلوا مع الاصحاء فان الله تعالى يكره الكبر والمتكبرين ويحب من عباده التاضع التواصع
Artinya:
“Subtansi firman Allah swt. (surat an-Nur, 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya udzur dan keterbatasan (disabilitas netra, daksa dan orang sakit) untuk makan bersama non-disabiltas, sebab Allah swt. Membenci kesombongan dan orang-orang yang sombong, Allah menyukai kerendahan hati dari hamba-Nya.[4]
Penyandang disabilitas (difabel) identik dengan istilah dzawil ahat, dzawil ihtiyaj al-Khashah (Dzawil a’dzar) : orang-orang yang mempunyai keterbatasan, ketubuhan khusus (mempunyai udzur). Hal ini muncul sebuah pertanyaan, apakah dengan demikian penyandang disabilitas harus didiskriminasikan (dikucilkan)?. Tentu tidak, karena penyandang disabilitas juga manusia yang mempunyai hak yang sama untuk bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Apalagi dalam perspektif islam, bahwa manusia yang paling mulia di hadapan Allah swt. adalah yang paling bertaqwa kepada Allah swt. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat, 13 sbb :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[5]
C. Penerapan Hukum Islam terhadap penyandang disabilitas
Tinjauan hukum Islam terhadap hak keagamaan penyandang disabilitas dalam UU RI no 8 tahun 2016 tidak bertentangan dengan Islam karena Islam sangat menghargai hak-hak manusia dalam menjalankan syari’at Islam sehingga orang yang akalnya sempurna dan hanya mengalami keterbatasan fisik, maka ia terkena kewajiban menjalankan syari’at Islam namun untuk orang yang tidak berakal tidak ada kewajiban baginya untuk melaksanakan syari’at Islam karena Allah tidak ada memberikan kesulitan kepada hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Sesungguhnya yang paling penting dan dibutuhkan adalah perubahan cara pandang dan sikap masyarakat yang lebih positif terhadap penyandang disabilitas dan memberikan fasilitas sesuai dengan kedisabilitasannya. Dalam fiqh Islam, ada beberapa ketentuan khusus yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, misalnya ketentuan tentang shalat bagi orang dengan keterbatasan fisik, perintah untuk memberikan zakat dan sedekah kepada mereka, dan kewajiban memberikan aksesibilitas pada bangunan dan fasilitas publik untuk penyandang disabilitas.[6]
D. Penyandang Disabilitas dalam Masyarakat dan Kebijakan Publik
Lahirnya fiqih disabilitas tidak semena-mena muncul dari ide yang spontan, namun ada yang melatarbelakangi mengapa perlu ada fiqih disabilitas. Fiqih Disabilitas muncul saat mereka penyandang disabilitas merasa resah terhadap kehidupannya, baik secara sosial, agama maupun ekonomi. Setidaknya ada 5 hal yang mendasari keresahan mereka, antara lain:[7]
- Cara Pandang
Mayoritas masyarakat memandang penyandang disabilitas dengan cara pandang yang mistis dan naif. Cara pandang mistis adalah cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas merupakan takdir Tuhan. Tuhan yang menentukan keterbatasan seseorang, dan manusia hanya dapat pasrah tanpa berbuat apa-apa. Sedangkan cara pandang naif adalah cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas merupakan kecelakaan, infeksi penyakit, keturunan atau pun penuaan. Mereka butuh pendidikan, pelatihan, kursus dan keterampilan khusus sehingga dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Kedua cara pandangan ini bermuara pada belas kasihan. Kemudian memunculkan stigma terhadap penyandang disabilitas bahwa mereka adalah kelompok lemah, tidak berdaya, tidak beruntung, tidak normal dan sebagainya. Akhirnya muncul diskriminasi terhadap mereka.
- Sikap dan Perilaku terhadap Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas sering dianggap aib bahkan kutukan, sehingga masyarakat cenderung menjauhi. Sikap dan perilaku ini berawal dari asumsi bahwa mereka tidak mampu. Ketidakmampuan ini lah yang menjadi lahirnya diskriminasi, baik di tingkat keluarga, masyarakat, perusahaan maupun negara.
- Keterbatasan Layanan Publik
Layanan dan fasilitas yang ramah disabilitas masih sangat terbatas, seperti jalan raya yang belum sepenuhnya bisa digunakan oleh penyandang disabilitas, begitu pula transportasi umum. layanan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar setiap manusia juga masih jauh dari harapan.
- Keterbatasan Peluang Kerja
Pandangan bahwa disabilitas tidak dapat bekerja dan hanya bergantung pada orang lain merambah hingga perusahaan. Banyak yang tidak mau menerima penyandang disabilitas. Mereka dipandang sebelah mata, meskipun ada mereka memiliki potensi tersendiri.
- Hambatan Pelaksanaan Kewajiban Keagamaan
Hambatan ini tidak terbatas pada aspek ibadah saja. Seperti keterbatasan disabilitas netra dalam bacaan keagamaan sehingga tidak bisa mandiri untuk mengaksesnya. Regenerasi dai dan ustaz juga masih banyak yang tidak ramah disabilitas. Majelis Ta’lim yang jarang diberikan akses untuk penyandang disabilitas. Semua hambatan ini semakin membuat mereka terus menerus jauh dari ketentuan syariat bagi penyandang disabilitas.
E. Penyandang Disabilitas dalam Hukum Normatif Negara
Pada dasarnya, negara sudah berusaha melindungi penyandang disabilitas melalui konstitusi, yakni pasal 28 A UUD 1945, UU no. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Peraturan-peraturan tersebut muncul karena hak-hak disabilitas sebagaimana dalam pembahasan D. Penyandang Disabilitas dalam Masyarakat dan Kebijakan Publik itu kurang terpenuhi maka diperlukan penguatan. Penguatan hak-hak disabilitas tersebut berlandaskan dengan 4 landasan, yaitu:
- Posisi Manusia sebagai Makhluk
Semua manusia diciptakan Allah Swt. fī aḥsani taqwīm (dala bentuk sempurna. Allah telah menganugerahkan pada manausia untuk membedakan kebaikan dan kebenaran. Namun, manusia diciptakan tak seragam baik itu jasmani maupun rohani. Secara umum, kerangka manusia hakikatnya sama, namun berbeda bentuk dan kemampuan.
Dibalik perbedaan itu pasti ada hikmahnya. Seperti dalam status sosial yang berbeda agar terjadi saling menolong antar manusia. Allah Swt. berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” [QS. Az-Zukhruf: 32]
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, Tafsīr al-Munīr menjelaskan bahwa Allah lah yang membagi rizki, keberuntungan dan memberikan kelebihan derajat. Lebih kuat atau lemah, pintar atau bodoh, populer atau asing, kaya atau miskin, semua hal ini jika tidak ada, maka tidak akan terjadi saling tolong menolong.[8]
- Cakap Hukum dan Cakap Bertindak
Dalam ushul fikih, dikenal istilah ahliyah (kecakapan) yang mencakup ahliyyah al-wujūb (cakap hukum) dan ahliyyah al-adā’ (cakap bertinda). Dalam konteks ahliyyah al-wujūb, seluruh manusia memilikinya.
فكل إنسان أيا كان له أهلية الوجوب ولا يوجد إنسان عديم أهلية الوجوب لأن أهلية للوجوب هي إنسانيته
Artinya: “Setiap manuisa memiliki kelayakan tugas (cakap hukum). Tidak adak manusia yang tidak layak untuk menjalankan tugas, karena kelayakannya untuk bertugas adalah kemanusiaannya.”[9]
Sedangkan ahliyyah al-adā’, tidak semua manusia memilikinya. Orang yang mengalami gangguan jiwa total, tindakannya tidak menjadi tindakan hukum. Bagi orang yang mengalami keterbatasan fisik, seperti diabilitas netra, tuli dan sebagainya, mereka menjalankan semampunya, sesuai Firman Allah “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesai dengan kemampuannya.[10]
- Kewajiban Keluarga, Masyarakat dan Negara
Dalam Islam, semua hak insani, baik yang primer, sekunder maupun tersier, pada mulanya merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. Jika tidak mampu, maka beralih ke masyarakat; jika masyarakat tidak mampu, maka tanggung jawab beralih ke negara. Posisi negara dalam pemenuhan hak-hak insani merupakan the last ressort (tumpuan terakhir).
Penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan syariat Islam. Maka negar memiliki kewajiban untuk menyediakan fasiitas publik yang ramah penyandang disabilitas.
- Prinsip-prinsip Kemudahan dalam Islam
Kemudahan merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam. Kemudahan diberikan Allah Swt. Untuk tujuan dna maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Beberapa dalil prinsip kemudahan dalam Islam sebagai berikut:
وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ …
Artinya: “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama….” [QS. Al-Hajj: 78]
… يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. Al-Baqarah: 185]
F. Maqāṣyid al-Syarī’ah Sebagai Asas Fiqih Disabilitas
Maqāṣid syar’iyyah memandang orang yang mempunyai kebutuhan khusus (disabilitas) mempunyai hak yang sama dengan orang normal dalam mendapatkan hak baik saat di dunia dan di akhirat. Dalam hal pemeliharaan anak, Islam mengenal konsep haḍanah atau perlindungan anak yang wajib dilakukan bagi setiap keluarga. Anak adalah merupakan suatu amanat dari Allah yang harus dijaga dalam seluruh kondisinya termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Agama memberikan tuntunan atau cara beribadah bagi kalangan difabel sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab fiqih baik dalam urusan ubudiyyah, muamalah maupun yang lain. Maqasid Syari’ah adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat. Istilah yang sepadan dengan inti maqāṣhid syarī’ah adalah maslahat, karena penetapan hukum senantiasa didasarkan atas maslahat.[11] Dalam kajian hukum Islam, dimunculkan beberapa jenis maslahah.
Pertama, Maslahah Primer, yakni yang secara umum dikenal dengan kaidah yang lima, Yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan serta harta. Kelima kaidah umum tersebut merupakan kaidah atau asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan universalitas agama. Jika sebagian tidak dilaksanakan maka akan mengakibatkan rusaknya agama Seluruh rangkaian hukum Islam atau Syari’at yang terdiri dari Akidah, Ibadah, dan Muamalat, dan Akhlaq, memenuhi unsur-unsur lima kaidah umum di atas. Oleh karena itu setiap amal akan selalu berlandasakan kajian maslahat sebagai tujuan akhirnya.
Kedua, kemaslahatan sekunder, adalah kemaslahatan yang harus ada dan di- penuhi untuk kebutuhan hidup, seperti jual beli, pernikahan, dan semua jenis muamalat. Kemaslahatan sekunder menempati posisi kedua setelah kemaslahatan primer. Kemaslahtan sekunder hanyalah mengikuti jejak kemaslahan primer. oleh karena itu seluruh hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan sekunder tidak lepas dari kemaslahatan primer.
Ketiga, kemaslahatan tersier, adalah kemaslahatan yang kembali pada bentuk adat istiadat, akhlak dan adab, Ketiga jenis kemaslahatan tersebut berhubungan dengan kondisi difabilitas harus dijiwai dengan prinsip-prinsip kemaslahatan dan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal, dan melenyapkan segala bentuk kerusakan, dan kerugian. Dalam konteks regulasi di Indonesia, terdapat Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2011 tentang Disabilitas (Konvensi mengenai Hak-Hak penyandang Disabiltas ) pasal 3 ayat 1, 2dan 3. Pasal 3 ayat 1 berbunyi:
Penyandang disabilitas, negara neara pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penuh semua hak-hak penyandang disabilitas.
Dengan demikian, fiqih disabilitas adalah fiqih atau hukum Islam yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan hak bagi kalangan disabilitas. Hukum Islam Tentang Disabilitas.
Survei literatur fiqih tentang isu-isu yang dilakukan oleh Rispler-cam barangkali adalah survey yang paling lengkap yang pernah ditulis dalam bidang ini. Dalam bukunya Disability in Islamic Law, dia membahas secara rinci, setiap pasal dalam bab-bab klasik kitab fiqih untuk menemukan bagaimana hukum Islam menetapkan sejumlah aturan khusus bagi mereka yang karena gangguan baik fisik dan atau mental tidak bisa dituntut untuk mengerjakan aturan-aturan ibadah secara formal.
Kajian ini penting karena literatur sebelumnya mengkaji permasalahan ini secara datar. Ia menegaskan: The disabilities are always mentioned as a matter of fact, as part the reality that people are meant to live in, as aresult of the divine wisdom and planning with wich Allah manage the icreation, no emotional attitude, such as remorse, anger, despair, or disappointment, accompanes, any of the discussions of disabilities within the literature.[12] Fenomena ini menunjukkan bahwa fikih bersikap toleran, menerima para difabel apa adanya, mengakomodaasi kebutuhan khususnya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan sebagai seorang muslim. Islam memandang kondisi disabilitas bukan merupakan hukuman, melainkan ujian dari Allah untuk memperkuat keimanan. Akomodasi fikih kebutuhan khusus kalangan difabel dapat dilihat dalam tabel berikut.
Bab | Jenis Difabilitas | Jenis Dispensasi Fiqih |
Hukum | Sakit Jiwa (ma’tuh) gila (majnūn) hilang akal, dan Sejenisnya | Tidak Berkewajiban segala Jenis Ibadah |
Thoharoh | Lumpuh | Jika tidak ada yang membawakan air, cukup dengan tayamum |
Sholat | Tidak Mampu Berdiri, Hilang Akal | Berbaring atau Mengerjakan Semampunya |
Menghadap Kiblat | Buta | Menghadap kemana Saja ia Yakin |
Sholat Jumat | Buta, Lumpuh, Ketuaan, dan Kondisi Keamanan | Tidak Wajib Jumatan, tetapi sholat dhuhur di rumah, berdasarkan kaidah hifẓhu adami afḍal min hifẓhu al-Jamā’ah |
Puasa | Sakit Permanen (orang tua) | Membayar Denda |
Haji | Sakit yang menghalanginya pergi haji | Tidak Perlu Pergi Sendiri dan Kalau secara Ekonomi mampu, Maka Ia Wajib Membayar orang untuk Mewakilinya |
Zakat | Sakit Jiwa | Wajib |
Kesimpulan Risplem-Chaim tersebut sebenarnya terdapat dalam hampir semua kitab fiqih. Dispensasi ini dibangun melalui salah satu kaidah utama dalam fikih yang berbunyi al-masyaqqatu tajlību al-taisir (kesulitan dalam hukum Islam justru mengakibatkan kemudahan) Wujud kemudahan ini mencakup perlakuan khusus terhadap penyandang disabilitas sebagaimana terlihat dalam tabel dispensasi di atas dapat terlihat beberapa jenis kesulitan dan
dispensasi yang diberikan oleh fiqih.[13]
Kondisi disabilitas dapat dibagi dengan beberapa “zona disabilitas”. Kaum lanjut usia seringkali mengalami kesulitan berjalan sehingga harus menggunakan alat bantu seperti tongkat dan atau kursi roda. Pengguna kursi roda membutuhkan ruang yang lebih besar dengan kursi roda dan mobilitasnya. Disabilitas netra membutuhkan ruang yang bersih dari barang (supaya tidak tersandung), dan rapih. Disabilitas rungu membutuhkan desain khusus untuk aktifitas mereka. Disabilitas wicara menggunakan bahasa isyarat dalam komunikasi juga membutuhkan ruang yang bersih. Sementara disabilitas ganda/auitisme membutuhkan penanganan khusus dan ruangan khusus. Disabilitas juga dapat lahir karena sakit atau kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas ini memanjang mulai dari ruang privat dalam ranah domestik hingga ruang publik. Pemerintah memberikan sejumlah aturan untuk ruang-ruang umum dan ruang perkotaan. Undang-Undang mengatur agar bangunan-bangunan umum seperti mall, rumah sakit, restoran dan perkantoran mempunyai akses besar untuk kaum disabilitas. Keberpihakan kepada penyandang diabilitas ini termasuk memberikan aturan untuk mempekerjakan kaum disabilitas dalam kehidupan profesionalitas perkantoran paling sedikit 10%. Disabilitas memiliki beberapa jenis dan bisa terjadi selama masa hidup seseorang atau sejak orang tersebut terlahir ke dunia.[14]
Pertama, adalah disabilitas fisik merupakan gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu anggota badan bahkan lebih atau kemampuan motorik seseorang. Termasuk disabilitas fisik adalah gangguan yang membatasi sisi lain dari kehidupan sehari-hari misalnya karena gangguan pernapasan dan epilepsi. Kedua, disabilitas mental yaitu sebuah istilah yang menggambarkan berbagai kondisi emosional dan mental. Gangguan kejiwaan adalah istilah yang digunakan pada saat disabilitas mental secara signifikan mengganggu kinerja aktivitas hidup yang besar, misalnya saja seperti mengganggu belajar, berkomunikasi dan bekerja serta lain sebagainya. ketiga, Disabilitas intelektual merupakan suatu pengertian yang sangat luas mencakup berbagai kekurangan intelektual, diantaranya juga adalah keterbelakangan mental. Sebagai contohnya adalah seorang anak yang mengalami ketidakmampuan dalam belajar. Dan disabilitas intelektual ini bisa muncul pada seseorang dengan usia berapa pun. Keempat disabilitas sensorik merupakan gangguan yang terjadi pada salah satu indera. Istilah ini biasanya digunakan terutama pada penyandang disabilitas yang mengacu pada gangguan pendengaran, penglihatan dan indera lainnya juga bisa terganggu. kelima, Disabilitas perkembangan merupakan suatu disabilitas yang menyebabkan suatu masalah dengan pertumbuhan dan juga perkembangan tubuh. Meskipun istilah disabilitas perkembangan sering digunakan sebagai ungkapan halus untuk disabilitas intelektual, istilah tersebut juga mencakup berbagai kondisi kesehatan bawaan yang tidak mempunyai komponen intelektual atau mental, contohnya spina bifida.[15]
Jika ditelisik setidaknya terdapat dua faktor penting tidak terjawabnya konsep disabilitas dalam pandangan fiqih. pertama, karena fiqih terlalu fokus terhadap persoalan kebutuhan manusia, dan bukan pada hak yang layak diterima, dan kedua, karena subjek fiqih berupa perorangan bukan intitusional.[16]
G. Kesimpulan
Disabilitas (difabel) adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Sedangkan istilah gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh (strukturnya), suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas aktivitas (tindakan).
Penyandang Disabilitas itu tidak memiliki strata sosial yang rendah dengan manusia sehat, yang mana hal itu menunjukkan perintah agar menyamakan perhatian terhadap seluruh umat manusia dengan tidak membedakan status sosial dan juga menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik ataupun status sosial. Tinjauan hukum Islam terhadap hak keagamaan penyandang disabilitas dalam UU RI no 8 tahun 2016 tidak bertentangan dengan Islam.
Fiqih Disabilitas dalam Masyarakat dan Kebijakan Publik itu membentuk pengaruh dalam bidang cara pandang, sikap dan perilaku terhadap penyandang disabilitas, keterbatasan layanan publik, keterbatasan peluang kerja, dan hambatan dalam melakukan kewajiban agama. Fiqih Disabilitas dalam hukum normatif negara itu dilandasi 4 hal: posisi manusia sebagai makhluk, cakap hukum dan cakap bertindak, kewajiban keluarga, masyrakat dan negara, serta prinsip-prinsip kemudahan dalam Islam.
fiqih disabilitas itu ada tetapi masih samar samar, karena belum keberpihakan fiqih terhadap hak-hak disabilitas. konsep untuk membangun fiqih disabilitas dapat dilakukan melalui konsep maqashid sar’iyah. Dengan demikian pekerjaan rumah tentang fiqih disabilitas menjadi tantangan bagi kaum muslimin termasuk masyarakat muslim Indonesia masih belum atau “kurang” dalam memperhatikan konsep fiqih disabilitas.
[1] Fikri Abdullah, “Resensi Buku Fiqh Ramah Difabel”, Jurnal Inklusi, (Januari, 2015) Vol. 2, No 1, h. 196.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikr, 2010), h. 27.
[3] Ahmad Totonji and Abdulaziz Sachedina, “Islam and Disability: Perspectives in Theology and Jurisprudence,” Journal of Religion, Disability & Health 17, no. 4 (2013), h. 343-344.
[4] Muhammad Ali Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bairut: Muassah Manahil al-Irfan, cet ke-3 1401 H/1981 M), h. 223.
[5] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1984), h. 847.
[6] Ahmad Totonji dan Abdulaziz Sachedina, “Islam and Disability: Perspectives in Theology and Jurisprudence,” Journal of Religion, Disability & Health 17, no. 4 (2013), h. 339-350.
[7] Lembaga Bahtsul Masail PBNU dkk, Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2019) h. v-xi.
[8] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997) Juz XXV, h. 125-126.
[9] Lembaga Bahtsul Masail PBNU dkk, Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas …, h. 42-43.
[10] Ibid.
[11] Mualim, Zainal Asikin, dan Yushaeni. (2001). Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 50.
[12] Rispler, D. (2007). Disability in Islamic Law. Springer, h. 3.
[13] M. Khoirul Hadi, “Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ”, PALASTREN, (Juni, 2016) Vol. 9, No. 1, h. 8
[14] Ibid
[15] Ibid, h. 9
[16] Ibid