Epistemologi Hukum Khitan Perempuan Perspektif KUPI

Kolom Santri1023 Dilihat

Epistemologi Hukum Khitan Perempuan Perspektif KUPI

Oleh: Rafifatas Sajaya

A. Pendahuluan

Dalam tradisi di Indonesia, khitan sering diartikan “sunat” merupakan sebuah praktik yang sudah dikenal di masyarakat dan diakui agama-agama di dunia. Khitan tidak hanya diberlakukan untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan. Praktik khitan perempuan yang masih mendapat legitimasi dalam tradisi masyarakat di beberapa belahan bumi, akhir-akhir ini mendapat tantangan dan kritik dari berbagai lembaga internasional, terutama WHO dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam advokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.[1] Kemunculan sebuah fatwa yang diterbitkan oleh KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) tentang pengharaman memotong sebagian genetalia perempuan tanpa alasan medis yang dalam khazanah keislaman disebut khitan menuai pro dan kontra. Beberapa tokoh yang menentang mengatakan bahwasannya praktik khitan perempuan sudah ada di zaman Nabi Muhammad dan beliau tidak melarangnya.[2] Para Imam madzhab berbeda pendapat tentang status hukum khitan perempuan, termasuk dalam kategori wajib atau sunnah, yang berarti perdebatan tetap berlangsung pada kebolehan khitan itu sendiri. Namun, anggota KUPI memiliki alasan tersendiri bagaimana fatwa khitan perempuan bisa jatuh pada hukum haram.

B. Mengenal KUPI

Dilansir dari fahmina.or.id Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau disebut KUPI adalah sebuah kegiatan pertemuan untuk konsolidasi, diskusi, dan sharing pengalaman serta pengetahuan tentang kiprah ulama perempuan Indonesia dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. KUPI digagas oleh orang-orang yang memiliki kepedulian pada isu-isu keislaman dan keadilan gender di Indonesia. Istilah “perempuan ulama” dibedakan dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, yang bisa jadi belum memiliki perspektif keadilan. Sementara yang kedua adalah semua ulama yang memiliki dan mengamalkan perspektif keberpihakan pada perempuan untuk keadilan, baik ia berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespon realitas kehidupan untuk menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tetapi pada kongres ini, KUPI akan mengafirmasi perempuan-perempuan ulama, terutama yang memiliki kerja-kerja keadilan dan kemanusiaan. Sebagai sebuah proses kultural, istilah “ulama perempuan” dimaksudkan sebagai peneguhan dan penegasan bahwa kerja-kerja keulamaan, baik oleh laki-laki maupun perempuan, meniscayakan partisipasi perempuan sebagai subjek maupun penerima manfaat dari seluruh kerja-kerja kemanusiaan, baik di ranah keluarga maupun sosial.

KUPI digagas dan diselenggarakan oleh para perempuan dan laki-laki yang memiliki kepedulian pada isu keadilan gender perspektif Islam, baik ulama, pimpinan pesantren, aktivis dan akademisi, yang tergabung dalam Alimat, Rahima, Fahmina (ARAFAH). Ketua Komite Pengarah adalah Ibu Nyai Hj. Drs. Badriyah Fayyumi (Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi), Ketua Panitia Pelaksana adalah Ibu Aditiana Dewi Eridani, SH (Direktur Rahima), dan Sekretaris Umum adalah Ibu Ninik Rahayu (Pengurus Alimat).

C. Khitan Perempuan Perspektif KUPI

Khitan termasuk hal yang dibahas dan menjadi salah satu dari 8 poin hasil rekomendasi di dalam KUPI II yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah.

Menurut KUPI II, Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis terbukti berdampak merugikan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Komnas Perempuan bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2017, sunat perempuan mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka pendek, menengah, dan panjang. Semisal dalam praktik P2GP tipe 1, dalam tinjauan sistematik terhadap 17 penelitian, ditemukan hubungan yang jelas terhadap komplikasi kesehatan, seperti rasa sakit, pendarahan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil dan besar.

P2GP tipe 1 adalah pemotongan klitoris sebagian atau keseluruhan dan/atau kulup. Menurut WHO, berdasarkan hasil riset tersebut, praktik ini paling banyak dilakukan di Indonesia. Karena itu, semua pihak memiliki tanggung jawab mencegah P2GP tanpa alasan medis.

4. Epistemologi Hukum Khitan Perempuan

Hukum Khitan Perempuan tidak disebutkan secara dzahir al-lafdzi dalam al-Qur’an. Beberapa redaksi hadis berikut ini yang umumnya menjadi sandaran hukum khitan perempuan.

عن أبي المليح بن أسامة عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : الخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَال مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رواه أحمد في مسنده)

“Bahwa Nabi saw bersabda: Khitan merupakan sunnah (ketetapan rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan (HR. Ahmad)

عن عبد الله بن عمر مرفوعا بلفظ: يَا نِسَاءَ الأَنْصَارِ اخْتَضِبْنَ غَمْسًا واخْتَفِضْنَ وَلَا تُنْهِكْنَ وَ إِيَّاكُنَّ وَ كُفْرَانَ النِعَمِ (الشوكاني في نيل الأوطار)

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai wanita-wanita Anshar, warnailah kuku kalian (dengan pacar dan sejenisnya) dan berkhifadhlah (berkhitanlah) kalian, tetapi janganlah berlebihan.” (al-Syaukani dalam Nail al-Author)

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت إِذَا الْتَقَى الْحِتَانَانِ فَقَدْ وَحَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاغْتَسَلْنَا

“Apabila bertemu dua khitan maka wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (HR. at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dari ‘Aisyah r.a.)

 

عن أم عطية الْأنصارية أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أََحْْظَى للْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى البَعْلِ

Dari Ummu ‘Athiyyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang sunat/khitan, lalu Rasulullah SAW bersabda kepada perempuan tersebut “Jangan berlebihan, sebab yang demikian itu (bagian yang dipotong tersebut) paling membahagiakan perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (HR. Abu Daud dari Ummu ‘Atiyyah r.a.) hadis ini dinilai dloif oleh adz-Dzahabi dan al-Hajjaj.

عن الضحاك بن قيس، قال: كانت بالمدينة امرأة تخفض النساء، قال لها أم عطية، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: اخْفِضْيْ، وَلَا تُنْهِكِيْ، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَوْجِ. (رواه الطبراني)

Dari adh-Dhahhak bin Qais bahwa di Madinah ada seorang ahli khitan wanita yang bernama Ummu ‘Athiyyah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “khifadllah (potonglah/ kurangilah/ khitanilah) dan jangan berlebihan, sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan suami”. (HR. at-Thabrani)

عن أبي هريرة الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ الخِتَانُ والاسْتِحْدَاُد نَتْفُ الإِبْطِ والتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وقَصُّ الشَارِبِ (رواه الجماعة في نيل الأوطار)[3]

“Lima perkara yang merupakan fitrah manusia khitan, mencukur rambut di sekitar kemaluan, mencukur bulu ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis. (HR Jama’ah dari Abu Hurairah r.a. di kitab Nail al-Author).

Hukum khitan perempuan juga dapat ditinjau dari qoul-qoul ulama empat madzhab. Diantaranya ada qoul Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni:

فأما الختان فواجب على الرجال، ومكرمة في حق النساء، وليس بواجب عليهن.

“Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan tidak wajib bagi perempuan namun berarti suatu kemuliaan.” Beliau sendiri merupakan ulama yang menganut madzhab hanbali.

Adapula kitab yang mencantumkan pendapat aimmah al-madzahib al-arba’ah secara beriringan, seperti kitab ‘Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Daud.

وَقَدْ أَخَذَ بِظَاهِرِهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ فَقَالَا سُنَّةٌ مُطْلَقًا وَقَالَ أَحْمَدُ وَاجِبٌ لِلذَّكَرِ سُنَّةٌ لِلْأُنْثَى وَأَوْجَبَهُ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِمَا[4]

Disini diterangkan bahwasanya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa hukum khitan perempuan sunnah secara mutlak. Imam Ahmad berpendapat khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat khitan wajib bagi laki-laki maupun perempuan.

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kepakaran beliau sebagai ahli hadis mengatakan bahwa hukum khitan diperdebatkan di kalangan ulama. Ia menyimpulkan ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan wajib bagi lelaki maupun perempuan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i dan sebagian besar ulama mazhabnya. Pendapat kedua menyatakan tidak wajib. Pendapat ini dinyatakan oleh mayoritas ulama dan sebagian ulama mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar melanjutkan, bahwa untuk khitan perempuan, dalam mazhab Syafi’i sekalipun, dalam kenyataannya terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib untuk seluruh perempuan; dan ada pula yang mengatakan wajib terhadap perempuan yang ujung klitorisnya menonjol, seperti perempuan-perempuan daerah timur. Bahkan, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan bahwa khitan perempuan tidak wajib.[5]

Pada intinya, seluruh ulama sepakat bahwa khitan bagi perempuan merupakan hal yang disyari’atkan terlepas dari mewajibkan maupun menyunnahkan saja. Namun kita juga perlu mempertimbangkan kembali posisi khitan perempuan yang dinilai sebagai makrumah (kebaikan, kemuliaan) bagi diri perempuan dimana hadis-hadis tentang khitan perempuan itu sendiri kebanyakan dhoif–yang berarti memang hanya digunakan sebagai pijakan keutamaan amal, tidak lebih. Keutamaan amal ini juga sangat mungkin dipengaruhi oleh adat istiadat yang berlaku kala itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah kita akan melihat bahwa Nabi berpesan kepada seorang tukang khitan perempuan untuk mengurangi/ tidak menghabisi suatu bagian dari genetalia perempuan, menurut penulis perintah ini bukanlah berarti pensyariatan khitan prerempuan,–dimana Nabi juga tidak pernah mengkhitankan putri-putri beliau– melainkan sekedar tanggapan Nabi atas adat istiadat yang berlaku di kalangan Arab pada saat itu. Bagaimanapun Islam adalah agama yang akan bergaul dengan waktu dan kondisi dimana ia berada dan lentur terhadap hal-hal (adat istiadat) selama hal tersebut tidak memberikan pengaruh buruk pada manusia sebagai hamba Allah maupun sebagai Khalifah Allah di muka bumi.

Mengenai praktik khitan perempuan, macamnya sangat bervariasi pada rentang umur pelaksanaannya dan tata caranya. Untuk memperjelas tashawwur khitan  perempuan, ada baiknya menelusuri terlebih dahulu proses khitan itu sendiri.

Dalam kitab fikih, para ulama ternyata juga sudah menerangkan bagaimana prosesi khitan perempuan. Dalam kitab I’anah ath-Thalibin dijelaskan seperti berikut:

(قوله: وَالْمَرْأَةُ الخ) أَيْ وَالْوَاحِبُ فِي خِتَانِ الْمَرْأَةِ قَطْعُ جُزْء يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْخِتَانِ وَتَقْلِيلُهُ أَفْضَلُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ (ص) قَالَ لِلْخَاتِنَةِ: أَشِمِّي وَلَا تَنْهَكِيْ فَإِنَّهُ أَحْظى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ أَيْ لِزِيَادَتِهِ فِي لَذَّةِ الْجِمَاعِ، وَفِي رِوَايَةٍ: أَسْرَى لِلْوَجْهِ أَيْ أَكْثَرُ لِمَائِهِ وَدَمِهِ.[6]

“Yang diwajibkan dalam proses khitan perempuan adalah memotong bagian yang disebut dengan nama “khitan”. Dan menyedikitkan dalam proses pemotongan tersebut adalah hal yang lebih utama berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan lainnya: bahwa Rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: khitanlah dengan sedikit dan jangan menghabiskan bagian yang dipotong tersebut. Karena khitan dengan memotong sedikit bagian yang disebut khitan akan lebih menguntungkan perempuan dan lebih disenangi suami; dalam pengertian menambah kenikmatan hubungan badan. Dalam suatu riwayat disebutkan: pemotongan yang sedikit dan tidak berlebihan itu dapat lebih membuat wajah perempuan lebih bahagia karena lebih banyak aliran air dan darah di wajah.” Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu berkata:

والخِتَان: قطع جميع الجلدة التي تغطي حشفة ذكر الرجل، حتى ينكشف جميع الحشفة. وفي المرأة قطع أدنى جزء من الجلدة التي في أعلى الفرج. ويسمى ختان الرجل إعذاراً، وختان المرأة: خفضاً، فالخفض للنساء كالختان للرجال.

“Khitan adalah memotong kulit (kulup) yang menutupi dzakar laki-laki sehingga terbuka kulit dzakar yang asli. Khitan pada perempuan ialah memotong ‘sebagian’ dari kulit yang terletak pada bagian paling atas farji. khitan bagi laki-laki adalah pemotongan seluruhnya sedangkan khitan bagi perempuan adalah pengurangan sebagian (tidak memotong habis). Pengurangan kulit ini bagi perempuan dianggap seperti ‘khitan’ bagi laki-laki.”[7]

Dari teks-teks fikih yang ditemukan penulis, tatacara pelaksanaan khitan perempuan memiliki tiga poin khusus, yaitu dengan memotong bagian atas–bagian klitoris, dilakukan dengan pelukaan sebagian yang tidak berlebihan–tidak menghabisi, dan tentunya memiliki tujuan yaitu menambah kenikmatan hubungan badan bagi istri maupun suami.

Belakangan, ketika dunia kedokteran semakin maju dan alat-alat medis semakin canggih maka penelitian-penelitian semakin masif dilakukan, termasuk soal khitan perempuan ini. Ketika ditinjau ulang, struktur alat kelamin perempuan secara umum pada kondisi normal sebenarnya tidak membutuhkan khitan, tidak seperti laki-laki yang ketika dikhitan justru membersihkan potensi najis yang tertinggal di dalam kulup atau menghilangkan potensi penyakit yang bersarang di bawah kulup. Pemotongan sebagian dari bagian paling atas genetalia perempuan yang acapkali diklaim sebagai klitoris justru dapat membuat perempuan kehilangan kemampuan merasakan kenikmatan dalam berhubungan intim, sedangkan pada kulup laki-laki, pemotongan seluruh kulup ini justru akan membuat rangsangan seksual semakin terasa tajam. Ketika khitan perempuan menimbulkan hal yang semacam ini, maka khitan sudah semestinya kita hindari.

Dr. Artha Budi Susila Duarsa, M. Kes, pada peluncuran buku Khitan Perempuan: Dari Sudut Pandang Sosial, Budaya, Kesehatan, dan Agama pada Selasa (27/07/2010) lalu memberikan pendapat beliau dari sisi medis. Beliau mengatakan bahwa salah satu proses pengkhitanan dilakukan dengan metode hoodectomy (pemotongan kulup). Metode ini bertujuan meningkatkan kepekaan dan kenikmatan seksual serta mempermudah perempuan untuk mencapai orgasme ketika berhubungan intim. Namun, hal ini berlaku jika kulup (dalam bahasa fikih disebut الجلدة التي في أعلى الفرج) sebegitu lebar sehingga menutupi klitoris yang mencegah bagian tersebut dari tersentuh penis pada saat berhubungan intim. Prosedur seperti ini tidak boleh dilakukan para perempuan dengan bentuk klitoris normal. Klitoris dengan kondisi normal memiliki kulup yang sudah cukup terbuka dan sudah cukup menerima rangsang dimana ketika dibuka (dipotong/ dilukai) justru akan mengganggu rangsangan yang diterima.

Perlu diingat kembali bahwasanya kulup perempuan berbeda dengan laki-laki. Kulup perempuan tidak menutupi klitoris secara total, bahkan memiliki fungsi sebagai pelindung yang berarti tidak perlu dilukai maupun dipotong. Namun bagi para perempuan dengan jaringan pelindung yang berlebih pada farjinya perlu dilakukan prosedur perampingan kulup guna memperbaiki rangsangan pada klitoris. Tentunya dengan cara khitan dan dilakukan oleh orang yang mumpuni di bidangnya. Sejauh ini dapat diambil pemahaman bahwa khitan perempuan merupakan suatu makrumah bagi perempuan-perempuan yang memang perlu disunat untuk membuka pelindung kulupnya yang tebal sehingga nantinya dapat sampai pada apa yang disebutkan dalam hadis,

فَإِنَّ ذَلِكَ أََحْْظَى للْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى البَعْلِ.

Para kenyataannya, metode pelaksanaan khitan ternyata tidak hanya mengikuti model acuan sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih. Dari sekian metode khitan perempuan, WHO (World Health Organization) tahun 2004 menyebutkan setidaknya ada enam cara sunat perempuan. Pertama, menghilangkan bagian permukaan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora. Ketiga, pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang vagina (infibulation). Keempat, menusuk, melubangi klitoris dan labia, atau merapatkan klitoris dan labia, diikuti tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau jaringan di sekitarnya. Kelima, merusak jaringan di sekitar lubang vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts). Keenam, memasukkan bahan-bahan atau tumbuhan yang merusak ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan demi menyempitkan vagina. Semua cara tersebut oleh WHO dinyatakan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan harus diakhiri.[8]

Macam-macam cara khitan perempuan yang disebutkan WHO merupakan proses khitan yang benar terjadi akan tetapi sejatinya tidak manusiawi dimana secara fikih pun tidak demikian sehingga sangat layak untuk disebut sebagai kekerasan terhadap perempuan dan harus diakhiri. Khitan perempuan yang dilakukan serampangan sesuai kehendak pribadi tanpa menggunakan aturan main yang disepakati secara medis juga merupakan sikap intimidasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

Masih banyak kalangan masyarakat yang menganggap sunat sebagai tradisi yang harus dilestarikan. Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang tidak tahu menahu bahaya dan konsekuensi atas khitan perempuan yang dilakukan secara serampangan. Hal yang akhirnya mendasari KUPI untuk memunculkan fatwa keharaman Pelukaan dan Pemotongan Genetalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis.

Tidak hanya KUPI yang mengeluarkan fatwa pengharaman P2GP tanpa alasan medis. Lembaga Darul Ifta’ Mesir juga memiliki pandangan senada. Fatwa ini dikeluarkan jauh sebelum terbitnya fatwa KUPI.[9]

Pelarangan khitan perempuan bermula dari pernyataan Syekh Ibrahim Hamrusy (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya boleh saja meninggalkan khitan perempuan, sekalipun hal ini menjadi tidak makrumah. Jika ingin ada keputusan pelarangan khitan perempuan, maka harus ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa hal tersebut berbahaya. Jika hal ini bisa kita buktikan, maka pernyataan larangan khitan perempuan bisa kita putuskan”.

Professor Abdul Wahhab Khallaf, guru besar hukum Islam, juga menyatakan hal yang sama tentang bukti ilmiah yang bisa menjadi dasar bagi pelarangan khitan perempuan. Jika memang benar ada bukti demikian, pelarangan khitan perempuan sama sekali tidak melanggar syariah Islam.[10]

Pada Tahun 1953, Majallah al-Azhar, no. 10, tanggal 11 Juni 1953, kembali membahas hal demikian. Editornya, seorang ulama terpandang, Syekh Muhammad ‘Arafah menyatakan bahwa khitan perempuan itu bisa berdampak buruk bagi kehidupan pasutri. Karena itu, meninggalkan praktik ini tidaklah masalah. Justru yang melakukannya harus ekstra hati-hati. Jika pemerintah mau melarangnya, atas dasar dampak buruk ini, juga sama, tidaklah masalah.

Hal yang sama juga menjadi pandangan umum dari Syekh Muhammad Makhluf, Sayyid Sabiq, dan Muhammad Syaltut. Inti pandangan mereka bahwa khitan perempuan itu bukan bagian dari syariah Islam. Tidak ada yang memandangnya sebagai hal yang penting, apalagi wajib, dari sisi syariah, moral, maupun medis. Andaikan ada, ia hanya dari sisi adat kebiasan dan tradisi masyarakat.

Di sinilah makna dari ‘makrumah’ dalam istilah para ulama fikih diprediksi bukan termasuk dari sunnah (syariah). Istilah ‘makrumah’ memiliki basis adat dan tradisi. Sementara ‘sunnah’ sendiri adalah cikal bakal syariah. Karena basisnya adat dan tradisi, maka khitan perempuan harus kita kembalikan pada tradisi dan kebiasaan. Di mana faktor lain seperti penelitian medis menjadi suatu nilai tambah (pendukung) dalam menentukan suatu persoalan.

Sebagaimana penjelasan di atas, para ulama secara tegas mengembalikan isu khitan perempuan pada keputusan pertimbangan medis. Ketika medis menyatakan dengan jelas dampak buruk dan bahayanya, maka para ulama tidak segan untuk mengharamkannya.

Dari pertimbangan tersebut pada tanggal 28 Desember 2006, Dewan Fatwa Mesir (Dar al-Ifta al-Mishriyah) menyatakan pengharaman khitan perempuan dalam pertemuan Lembaga Penelitian Keislaman (Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah)

Lembaga Penelitian Keislaman ini, pada tahun 2007, juga mengadakan pertemuan kembali untuk membahas hal ini, dan mengeluarkan hasil sebagai berikut:

في ضوء الجدل المثار حول ختان الإناث، وموقف الشريعة الإسلامية منه، وفي ضوء ما وقع مؤخرًا من وفاة إحدى بناتنا المسلمات نتيجة ممارسة هذه العادة التي ينسبها البعض خطأ إلى تعاليم الإسلام، ناقش مجمع البحوث الإسلامية المسألة من جانبها الفقهي والصحي، وأجمع أعضاؤه على أن التحقيق العلمي يكشف في جلاء عن أنه لا أصل من أصول التشريع الإسلامي أو أحكامه الجزئية يجعل هذه العادة أمرًا مطلوبًا بأي وجه من وجوه الطلب، وإنما هي عادة ضارة انتشرت واستقرت في عدد قليل من المجتمعات المسلمة، وقد ثبت ضررها وخطرها على صحة الفتيات على النحو الذي كشفت عنه الممارسات في الفترة الأخيرة. لذلك وجد المجلس من واجبه أن ينبه إلى هذه الحقيقة العلمية والصحية، وإلى ضرورة تنظيم حملة إرشادية وإعلامية تحذر المواطنين من ممارسة هذه العادة الضار.

“Mencermati debat publik tentang khitan perempuan dan sikap syariah Islam tentangnya, dengan melihat kejadian terakhir. Di mana ada salah satu bayi perempuan yang meninggal akibat dari praktik khitan ini yang dianggap sebagian orang, secara salah, sebagai ajaran Islam. Lembaga Penelitian Keislaman membahas hal ini dari perspektif Islam dan medis.

Dalam pertemuan ini, seluruh anggota lembaga sepakat bahwa khitan perempuan adalah kebiasaan yang berbahaya, populer dan dipraktikkan sebagian kecil masyarakat Islam. Saat ini, telah nyata bahaya dan dampak buruk dari khitan perempuan sebagaimana penjelasan dalam berbagai penelitian mutakhir mengenai hal ini.

Karena itu, semua anggota lembaga ini memandang wajib memberi perhatian pada hakikat medis dan ilmiah pada persoalan ini, dan pentingnya mengelola gerakan edukasi publik untuk menghentikan praktik khitan perempuan yang berbahaya ini.”[11]

كل هذه النقول تبين أنها عادة وليست عبادة أي أن قضية ختان الإناث ليست قضية دينية تعبدية في أصلها، ولكنها قضية ترجع إلى الموروث الطبي والعادات والتقاليد الاجتماعية. ويكفي في ذلك أن نعلم أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم لم يختن بناته الكرام عليهن السلام، بينما ورد عنه ختان الحسن والحسين عليهما السلام.

“Semua teks-teks yang dikutip ini menjelaskan bahwa khitan perempuan adalah adat tradisi semata, dan bukan merupakan ibadah. Atau, dalam bahasa lain, khitan perempuan bukan persoalan agama yang secara dasar bersifat ta’abbudi (ibadah). Bukan.

Melainkan, ia adalah persoalan medis, adat kebiasaan, dan tradisi sosial saja. Pernyataan ini cukup menjadi kuat dengan melihat kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak mengkhitan putri-putri beliau, sementara mengkhitan sang cucu Hasan dan Husein, ‘alaihimassalam.”

5. Kesimpulan

Khitan perempuan merupakan bentuk adat budaya yang tidak dilarang oleh Nabi sebagai Syari’, sepanjang pelaksanaannya tidak menimbulkan mudharat perempuan tersebut. Khitan dikategorikan sebagai budaya bukan sebagai syariat terlebih karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak mengkhitan putri-putri beliau. Khitan perempuan merupakan suatu makrumah bagi perempuan-perempuan yang memang perlu disunat untuk membuka pelindung kulupnya yang menutupi klitoris sebagai pusat rangsangan seksual perempuan. Sejumlah fatwa pengharaman pemotongan/ pelukaan genetalia perempuan (khitan perempuan) muncul sebagai respon perlindungan perempuan dari pelaksanaan khitan perempuan di berbagai tempat masih banyak yang terbukti merugikan diri perempuan secara fisik maupun psikologis. Maka, para ulama secara tegas mengembalikan isu khitan perempuan pada keputusan pertimbangan medis. Ketika medis menyatakan dengan jelas dampak buruk dan bahayanya, maka para ulama tidak segan untuk mengharamkannya.

 

Catatan kaki:

[1] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan. (Yogyakarta: IRCiSoD). 2020. Hal. 105.

[2] Gus Zahro mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap rekomendasi KUPI (pengharaman pemotongan/ pelukaan genitalia perempuan) dalam video Youtube beliau.

[3] Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz 1 hlm 108.

[4] Al-Adzim Abadi Syaraf Al-Haqq,  ‘Aun Al-Ma’bud wa Hasyiyah ibn Al-Qayyim, juz 14 hlm. 125.

[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz XI, hlm. 531.

[6] Abu Bakar Syatha, I’anah ath-Thalibin, juz 4 hlm 198.

[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid I, h. 356.

[8] Musdah Mulia, Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam, Jurnal Perempuan diakses di https://www.jurnalperempuan.org  diakses pada 27 Januari 2023.

[9] Diambil dari arsip file situs website pemerintah Kalimantan Tengah. https://dp3appkb. kalteng.go.id/uploads/081c55de-bf4a-7082-69e8-4d31e0f8f5cc.pdf diakses pada 27 Januari 2023.

[10] Ibid.

[11] Penelitian oleh Dar Al Iftaa’ Mesir tentang sunat perempuan. The World Organization for Al-Azhar Graduations. 2014. https://azhargraduates.org/ar/news_archive1.aspx ?id=1083 diakses pada 27 Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *