Epistemologi Hukum Khitan Perempuan Perspektif KUPI

Kolom Santri864 Dilihat

Mahally.ac.id – Dalam tradisi di Indonesia, khitan sering diartikan “sunat” merupakan sebuah praktik yang sudah dikenal di masyarakat dan diakui agama-agama di dunia. Khitan tidak hanya diberlakukan untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan. Dalam berbagai kebudayaan seringkali dipandang sebagai peristiwa sakral seperti halnya perkawinan. Kesakralannya tampak dalam hal-hal yang dilakukan untuk itu. Akan tetapi, fenomena kesakralan dengan upacaranya itu memang terlihat hanya berlaku pada khitan anak laki-laki. Untuk khitan anak perempuan jarang terlihat adanya nuansa sakral tersebut.[1]

Praktik khitan perempuan yang masih mendapat legitimasi dalam tradisi masyarakat di beberapa belahan bumi, akhir-akhir ini mendapat tantangan dan kritik dari berbagai lembaga internasional, terutama WHO dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam advokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.[2] Kemunculan sebuah fatwa yang diterbitkan oleh KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) tentang pengharaman memotong sebagian genetalia perempuan tanpa alasan medis yang dalam khazanah keislaman–seperti yang sudah disebutkan di awal disebut khitan menuai pro dan kontra. Beberapa tokoh yang menentang mengatakan bahwasanya praktik khitan perempuan sudah ada di zaman Nabi Muhammad dan beliau tidak melarangnya.[3] Para Imam mazhab berbeda pendapat tentang status hukum khitan perempuan, termasuk dalam kategori wajib atau sunah, yang berarti perdebatan tetap berlangsung pada kebolehan khitan itu sendiri. Namun, anggota KUPI memiliki alasan tersendiri bagaimana fatwa khitan perempuan bisa jatuh pada hukum haram.

Analisis Filosofis Sumber Hukum Khitan

Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Untuk lelaki, teknik pelaksanaan khitan hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulup penis lelaki. Adapun untuk perempuan berbeda di setiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klitoris dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina.[4]

Dalam tulisan fikih kontemporer, Syekh Sayyid Sabiq berkata:

“Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing, dan dapat merasakan kenikmatan jimak dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan ialah dengan memotong bagian teratas dari faraj-nya. Khitan ini merupakan tradisi kuno (sunnah qadimah).[5]

Di dalam hukum Islam, Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ahli hadits terkemuka mengatakan bahwa hukum khitan diperdebatkan di kalangan ulama. Ia menyimpulkan ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan wajib bagi lelaki maupun perempuan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i dan sebagian besar ulama mazhabnya. Pendapat kedua menyatakan tidak wajib. Pendapat ini dinyatakan oleh mayoritas ulama dan sebagian ulama mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar melanjutkan, bahwa untuk khitan perempuan, dalam mazhab Syafi’i sekalipun, dalam kenyataannya terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan wajib untuk seluruh perempuan; dan ada pula yang mengatakan wajib terhadap perempuan yang ujung klitorisnya menonjol, seperti perempuan-perempuan daerah timur. Bahkan, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan bahwa khitan perempuan tidak wajib.[6]

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi’i yang mendukung pendapat bahwa khitan adalah wajib, kebanyakan berkaitan dengan khitan lelaki. Hal yang bisa dikaitkan dengan khitan perempuan ialah alasan bahwa khitan merupakan kewajiban, ibadah, dan syiar agama. Pernyataan ini tentu didasarkan pada teks agama yang otoritatif. Dalam hal ini, Ibnu Hajar mengemukakan satu hadits sebagai dasar kewajiban khitan perempuan:[7]

عَنْ أُمّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَنَّ إِمْرَأَةً كَانَتْ تَخْتَنَّ النِّسَاءَ فِي الْمَدِينَةِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَنْهَكِي، فَإِنَّ ذَلِكَ أحظى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ. وفي رواية أخرى: أَشِتِي وَلَا تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَنْوَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الرَّجُلِ. رواه أبو داود

“Dari Ummu Athiyah Ra. berkata: bahwa ada seorang perempuan juru sunat para wanita Madinah. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian (kenikmatan) perempuan dan kecintaan suami.” Dalam suatu riwayat baginda bersabda, “Potong ujung saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian (kenikmatan) suami.” (HR. Abu Dawud).[8]

Abu Dawud sendiri berkata hadits tersebut lemah, karena ada perawi yang tidak diketahui.[9] Tetapi, Ibnu Hajar di dalam kitab Fath al-Bari mengatakan bahwa ada hadits yang bisa menguatkan dari Adh-Dhahak bin Qays yang diriwayatkan oleh Baihaqi, tanpa menyebutkan teks hadits tersebut dan tidak juga menyatakan kualitasnya.[10]

Tetapi, di dalam kitab Talkhish al-Habir, Ibnu Hajar menyatakan respon yang berbeda terhadap beberapa hadits terkait beberapa jalan lain yang diriwayatkan oleh Hakim, Baihaqi, Thabrani, Abu Na’im, dan Al-Bazzar Ketika mengomentari rantai sanad hadits, ia mengutip beberapa pendapat dari para ulama pakar hadits: ada yang mengatakan bermasalah (maʼlul); ada yang mengatakan lemah (dha’if); dan ada yang mengatakan tidak dikenal (munkar). Bahkan, ia mengutip pernyataan dari Ibnul Mundzir sebagai berikut:

لَيْسَ فِي الْخِتَانِ خَبَرُ يُرْجَعُ إِلَيْهِ، وَلَا سَنَدُ يُتَّبَعُ

“Tidak ada satu pun hadits yang bisa menjadi rujukan dalam hal khitan, dan tidak ada satu pun sanad-nya yang bisa diikuti.”[11]

Hal tersebut mengisyaratkan penafian terhadap teks agama yang otoritatif dan valid, yang menyatakan secara eksplisit bahwa khitan adalah wajib.

Di dalam teks hadits Umm Athiyah Ra., kalaupun ia shahih, mayoritas mazhab tidak memahami, baik secara tersurat maupun secara tersirat, adanya perintah untuk mengkhitankan perempuan. Yang ada hanyalah tuntunan dan peringatan Nabi Muhammad SAW. kepada juru khitan perempuan agar melakukan khitan dengan cara yang baik dan tidak merusak.[12] Baginda membiarkan praktik khitan perempuan berjalan di Madinah, tetapi disyaratkan dengan jaminan tidak berlebihan, tidak merusak, dan membiarkan sesuatu yang menjadi bagian kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Apabila syarat ini dijadikan dasar, maka khitan bisa menjadi tidak diperkenankan oleh baginda apabila berlebihan atau merusak dan tidak memberikan kenikmatan seksual bagi perempuan.

Hukum Khitan Perempuan Perspektif KUPI

Perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, berakhir Sabtu (26/11). Sejumlah pandangan dan sikap keagamaan, serta rekomendasi KUPI II dihasilkan. Salah satunya, desakan agar tidak melakukan khitan bagi perempuan atau tindakan Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis, karena hukumnya haram.[13]

Hukum khitan sebenarnya bisa dirumuskan kembali dengan mengacu pada perspektif kesetaraan lelaki dan perempuan serta pembacaan yang jernih terhadap semua warisan klasik, baik hadis-hadis yang berkaitan dengan khitan perempuan maupun kitab-kitab fikih yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan merujuk pada berbagai pandangan ulama saat menjelaskan hadis-hadis lemah mengenai khitan perempuan, lembaga Darul Ifta’ Mesir berpandangan bahwa:[14]

كل هذه النقول تبين أنها عادة وليست عبادة أي أن قضية ختان الإناث ليست قضية دينية تعبدية في أصلها، ولكنها قضية ترجع إلى الموروث الطبي والعادات والتقاليد الاجتماعية. ويكفي في ذلك أن نعلم أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم لم يختن بناته الكرام عليهن السلام، بينما ورد عنه ختان الحسن والحسين عليهما السلام.

“Semua teks-teks yang dikutip ini menjelaskan bahwa khitan perempuan adalah adat tradisi semata, dan bukan merupakan ibadah. Atau, dalam bahasa lain, khitan perempuan bukan persoalan agama yang secara dasar bersifat ta’abbudi (ibadah). Bukan. Melainkan, ia adalah persoalan medis, adat kebiasaan, dan tradisi sosial saja. Pernyataan ini cukup menjadi kuat dengan melihat kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak mengkhitan putri-putri beliau, sementara mengkhitan sang cucu Hasan dan Husein, ‘alaihimassalam.”

Berangkat dari fakta-fakta ini, kemudian menjadi dasar bagi banyak ulama kontemporer untuk melarang khitan perempuan. Setidaknya, untuk tidak menganggapnya sebagai sunnah, ibadah, atau bahkan tidak juga makrumah. Sejak Syekh Rasyid Ridha, pada tahun 1904, di Majalah al-Manar, menyebutkan bahwa hal ini tidak ada dalam sunnah sama sekali. Majalah al-Azhar pada tahun 1951, juga sudah memulai membahas khitan perempuan. Karena ada pertanyaan dari berbagai dokter, dan memungkinkan pelarangannya jika nyata membahayakan.[15]

Pelarangan khitan perempuan bermula dari pernyataan Syekh Ibrahim Hamrusy (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) yang berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya boleh saja meninggalkan khitan perempuan, sekalipun hal ini menjadi tidak makrumah. Jika ingin ada keputusan pelarangan khitan perempuan, maka harus ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa hal tersebut berbahaya. Jika hal ini bisa kita buktikan, maka pernyataan larangan khitan perempuan bisa kita putuskan”.

Professor Abdul Wahhab Khallaf, guru besar hukum Islam, juga menyatakan hal yang sama tentang bukti ilmiah yang bisa menjadi dasar bagi pelarangan khitan perempuan. Jika memang benar ada bukti demikian, pelarangan khitan perempuan sama sekali tidak melanggar syariah Islam.

Pada Tahun 1953, Majallah al-Azhar, no. 10, tanggal 11 Juni 1953, kembali membahas hal demikian. Editornya, seorang ulama terpandang, Syekh Muhammad ‘Arafah menyatakan bahwa khitan perempuan itu bisa berdampak buruk bagi kehidupan pasutri. Karena itu, meninggalkan praktik ini tidaklah masalah. Justru yang melakukannya harus ekstra hati-hati. Jika pemerintah mau melarangnya, atas dasar dampak buruk ini, juga sama, tidaklah masalah. Hal yang sama juga menjadi pandangan umum dari Syekh Muhammad Makhluf, Sayyid Sabiq, dan Muhammad Syaltut. Inti pandangan mereka bahwa khitan perempuan itu bukan bagian dari syariah Islam. Tidak ada yang memandangnya sebagai hal yang penting, apalagi wajib, dari sisi syariah, moral, maupun medis. Andaikan ada, ia hanya dari sisi adat kebiasaan dan tradisi masyarakat.

Di sinilah makna dari “makrumah” dalam istilah para ulama fikih. Istilah “makrumah” bukan sunnah, apalagi wajib. Istilah “makrumah” basisnya adalah adat dan tradisi. Sementara “sunnah” basisnya adalah syariah. Karena basisnya adat dan tradisi, maka khitan perempuan harus kita kembalikan pada tradisi dan kebiasaan. Di mana penelitian medis menjadi suatu keharusan sebagai basis utama dalam menentukan suatu persoalan.

Sebagaimana penjelasan di atas, para ulama secara tegas mengembalikan isu khitan perempuan pada keputusan pertimbangan medis. Ketika medis menyatakan dengan jelas dampak buruk dan bahayanya, maka para ulama tidak segan untuk mengharamkannya.

Dari pertimbangan tersebut, keputusan Dewan Fatwa Mesir (Dar al-Ifta al-Mishriyah), pada tanggal 28 Desember 2006, dalam pertemuan Lembaga Penelitian Keislaman (Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah), menyatakan pengharaman khitan perempuan. Lembaga Penelitian Keislaman ini, pada tahun 2007, juga mengadakan pertemuan kembali untuk membahas hal ini, dan mengeluarkan hasil sebagai berikut:

في ضوء الجدل المثار حول ختان الإناث، وموقف الشريعة الإسلامية منه، وفي ضوء ما وقع مؤخرًا من وفاة إحدى بناتنا المسلمات نتيجة ممارسة هذه العادة التي ينسبها البعض خطأ إلى تعاليم الإسلام، ناقش مجمع البحوث الإسلامية المسألة من جانبها الفقهي والصحي، وأجمع أعضاؤه على أن التحقيق العلمي يكشف في جلاء عن أنه لا أصل من أصول التشريع الإسلامي أو أحكامه الجزئية يجعل هذه العادة أمرًا مطلوبًا بأي وجه من وجوه الطلب، وإنما هي عادة ضارة انتشرت واستقرت في عدد قليل من المجتمعات المسلمة، وقد ثبت ضررها وخطرها على صحة الفتيات على النحو الذي كشفت عنه الممارسات في الفترة الأخيرة. لذلك وجد المجلس من واجبه أن ينبه إلى هذه الحقيقة العلمية والصحية، وإلى ضرورة تنظيم حملة إرشادية وإعلامية تحذر المواطنين من ممارسة هذه العادة الضار.

“Mencermati debat publik tentang khitan perempuan dan sikap syariah Islam tentangnya, dengan melihat kejadian terakhir. Di mana ada salah satu bayi perempuan yang meninggal akibat dari praktik khitan ini yang dianggap sebagian orang, secara salah, sebagai ajaran Islam. Lembaga Penelitian Keislaman membahas hal ini dari perspektif Islam dan medis.

Dalam pertemuan ini, seluruh anggota lembaga sepakat bahwa khitan perempuan adalah kebiasaan yang berbahaya, populer dan dipraktikkan sebagian kecil masyarakat Islam. Saat ini, telah nyata bahaya dan dampak buruk dari khitan perempuan sebagaimana penjelasan dalam berbagai penelitian mutakhir mengenai hal ini.

Karena itu, semua anggota lembaga ini memandang wajib memberi perhatian pada hakikat medis dan ilmiah pada persoalan ini, dan pada pentingnya mengelola gerakan edukasi publik untuk menghentikan praktik khitan perempuan yang berbahaya ini.”

Dewan Fatwa Mesir dan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, pada 22 November 2006, memprakarsai Muktamar Ulama Dunia yang secara khusus membahas mengenai sunat atau khitan perempuan. Dalam Muktamar ini, para ulama dari berbagai dunia Islam hadir, termasuk para ahli medis yang menggeluti masalah krusial ini. Pembahasan utama dalam Muktamar ini adalah pandangan Islam dan sikap medis mengenai khitan perempuan.

Syekh Dr. Ali Jum’ah sendiri, sebagai Ketua Dewan Fatwa Mesir dalam Muktamar ini, mendesakkan pandangannya mengenai pelarangan segala bentuk khitan perempuan. Karena dianggap berbahaya secara medis, dan karena itu dilarang dalam Islam. Sekalipun tidak seluruh peserta sepakat tentang pengharaman khitan perempuan, tapi mereka sepakat pada pentingnya meninggalkan dan melarang segala praktik khitan perempuan.

Kesimpulan

Khitan perempuan merupakan bentuk adat budaya yang tidak dilarang oleh Nabi sebagai Syari’, sepanjang pelaksanaannya tidak menimbulkan mudarat perempuan tersebut. Khitan dikategorikan sebagai budaya bukan sebagai syariat terlebih karena Nabi Muhammad SAW. sendiri tidak mengkhitan putri-putri beliau. Sejumlah fatwa pengharaman khitan perempuan muncul sebagai respon perlindungan perempuan dari pelaksanaan khitan perempuan yang di berbagai tempat masih banyak yang terbukti merugikan diri perempuan secara fisik maupun psikologis.

Maka, para ulama secara tegas mengembalikan isu khitan perempuan pada keputusan pertimbangan medis. Ketika medis menyatakan dengan jelas dampak buruk dan bahayanya, maka para ulama tidak segan untuk mengharamkannya.

End Notes:

[1] Agus Hermanto. Hukum Khitan Perempuan dan Faedahnya. 2019. Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung. http://syariah.radenintan.ac.id/hukum-khitan-perempuan-dan-faidah nya/ diakses pada 26 Januari 2023.

[2] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan. (Yogyakarta: IRCiSoD). 2020. Hal. 105.

[3] Gus Zahro mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap rekomendasi KUPI (pengha- raman pemotongan/ pelukaan genetalia perempuan) dalam video Youtube beliau.

[4] Elga Sarapung, dkk., Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 118.

[5] Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. (Cairo: Dar al-Fikr, 1987). Juz I. Hlm. 36.

[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz XI, hlm. 531.

[7] Ibnu Hajar al-Asqalani. Fath al-Bari. Juz XI. Hlm. 530.

[8] Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijitsani Abu Dawud, As-Sunan. Kitab: Al-Adab, No. Hadits: 5271, Juz IV, hlm. 368. Lihat juga Mubarak bin Muhammad Ibnul Atsir, Jami’al Ushul, Juz V, hlm. 348.

[9] Ibid. Lihat juga Ibnu Hajar al-Asqalani. Fath al-Bari Juz XI hlm. 530.

[10] Ibid.

[11] Ibnu Hajar al-Asqalani. Talkhis al-Habir (Tanpa kota: Madinah al-Munawwaroh, 1964) Juz IV hlm. 83.

[12] Anwar Ahmad. Ara’ ‘Ulama ad-Din al-Islami fi Khitan al-Untsa (Cairo: Tanpa Penerbit, 1989) hlm. 8-9.

[13] Mahrus Sholih. Kongres KUPI: Khitan bagi Perempuan tanpa Alasan Medis Hukumnya Haram. 2022. Radar Jember.id. https://radarjember.jawapos.com/nasional/27/11/2022/kongres-kupi-khitan-bagi-perempuan-tanpa-alasan-medis-hukumnya-haram/ diakses pada 24 Februari 2023.

[14] Diambil dari arsip file situs website pemerintah Kalimantan Tengah. https://dp3appkb. kalteng.go.id/uploads/081c55de-bf4a-7082-69e8-4d31e0f8f5cc.pdf diakses pada 27 Januari 2023.

[15] Redaksi. OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam. Mubadalah.id.https://mubadalah.id/oiaa-cairo-mengharamkan-khitan-perempuan-sesuai-syariah-islam/ di akses pada 27 Januari 2023.


Kontributor: Ima Nur Diana, Santri Ma’had Aly PMH Semester VI.

Foto: Pinterest.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *