FIQH YANG KONTEKSTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH

FIQH YANG KONTEKSTUAL

Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh

Dalam Islam terdapat dua hal yang fundamental, yaitu akidah dan syari’at. Akidah adalah kepercayaan yang timbul di hati manusia dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya. Sedangkan syari’at adalah hal yang mengatur tata kehidupan manusia muslim sehari-hari, termasuk di dalam nya soal ibadah. Fiqh sebagai refleksi syari’at, memiliki empat pokok kompenen ajarannya, yaitu “ubudiyah (peribadatan), muamalah, munâkahah, dan jinayah.”

Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai korelasi kuat dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, amal ibadah adalah manifestasi dari keimanan. Kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseorang, dapat diukur dari intensitas ibadahnya. Sampai sejauh mana ia beribdah, di situlah ukuran lahiriah keimanannya. Hal ini merupakan titik berangkat yang di perlukan manakala kita akan mengklasifikasikan ke dalam golongan mukmin atau nonmukmin. Tanpa pembuktian itu sama sekali tidak masuk akal. Bukti tersebut tidak lain adalah amal ibadah, dalam keadaan suka maupun duka, atau dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun adanya.

Amal ibadah adalah manifestasi dari keimanan. Kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseorang, dapat diukur dari intensitas ibadahnya.

Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amaliah ibadah, bisa dilihat juga dari pentingnya niat bagi ibadah. Sebagai makhluk hidup, manusia setiap saat tentu berbuat sesuatu, atau dalam bahasa pesantren, melakukan amaliah, terpuji maupun tercela. Semua amaliah manusia bisa menjadi ibadah, atau tidak menjadi apa sama sekali. Dengan kata lain, amal itu tidak bernilai lebih, yang dapat membedakan antara amaliah ibadah dan amaliah biasa.

Semua amaliah manusia bisa menjadi ibadah, atau tidak menjadi apa sama sekali

Apakah suatu amaliah termasuk ibadah atau tidak, ditentukan oleh motif atau niat seseorang yang menjalankannya. Sesuatu akan menjadi ibadah, bila didiringi dengan niat beribadah. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, ibadah pada hakikatnya memiliki cakupan yang luas dan mendasar bagi setiap aspek hidup dan kehidupan. Nabi bersabda, “Semua amal tergantung pada motif dan niatnya.”

Di kalangan ulama, hadits ini diperselisihkan interpretasinya. Menurut Imam Abu Hanifah, hadits tersebut memberi pengertian, niat merupakan syarat amal seseorang. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, niat adalah rukun dari amaliah. Menurut jumhur al-ulama’ (mayoritas ulama) pendapat Syafi’i lebih kuat dijadikan pegangan (al-mu’tamad).

Perbedaan antara rukun dan syarat dapat dilihat di banyak kitab fiqh. Ini mempunyai konsekuensi tertentu, seiring dengan perbedaan definisi syarat dan rukun dalam ibadah. Secara definitif, syarat adalah sesuatu yang dapat menafikan sesuatu yang disyarati (al-masyrût), bila syarat itu tidak terwujud. Akan tetapi, syarat tidak menjadi wujud tidaknya al-masyrût, meskipun syarat tersebut wujud.

Sedangkan rukun merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sebuah ibadah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah terasa menjadi lemah apabila hanya menempatkan niat sebagai syarat sebuah amal. Uraian ini menegakan keterkaitan antara keimanan (niat) dan amal ibadah.

***

Ibadah terbagi menjadi dua macam, yakni yang bermanfaat untuk pribadi (individual/ syakhsiyah) dan untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima’iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah, seseorang perlu meningkatkan keimanan dan kepercayan akan wujud Allah dengan segala perintah dan larangannya, kepercayaan akan adanya pahala, serta keyakinan akan manfaat dan faidah dari amaliah ibadah.

Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari’at yang tertuang dalam fiqh sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praksis sehari-hari. Hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqh yang terlalu formalistik. Titik kehidupan yang kian hari cenderung bersifat teologis, menjadi tidak berbanding dengan konsep legal formalisme yang ditawarkan oleh fiqh. Teologi disini bukan hanya dalam arti tauhid yang merupakan pembuktian ke-Esa-an Tuhan, melainkan teologi dalam arti pandangan hidup yang menjadi titik tolak seluruh kegiatan kaum muslimin. Padahal di balik itu, asumsi formalistik terhadap fiqh ternyata akan dapat tersisihkan oleh hakikat fiqh itu sendiri.

Sebagaimana dimaklumi, fiqh dalam arti terminologinya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, atau dengan kata lain, yurisprudensi dalam Islam. Sebagai kompendium yurisprudensi, fiqh memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena sebagai disiplin ilmu maupun perangkat keputusan hukum, fiqh dibantu oleh sejumlah kerangka teoretik bagi pengambilan keputusan hukum agama.

“Sebagai kompendium yurisprudensi, fiqh memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena sebagai disiplin ilmu maupun perangkat keputusan hukum, fiqh dibantu oleh sejumlah kerangka teoretik bagi pengambilan keputusan hukum agama.”

Dari sana kita mengenal usul fiqh yang membahas kategorisasi hal-hal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaidah-kaidah fiqh yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqh. Belum lagi ilmu-ilmu Al-Qur’an dan hadits serta ilmu-ilmu bahasa Arab yang semuanya mendukung terselenggaranya fiqh sebagai disiplin ilmu dan perangkat keputusan hukum.

Sistematika dan separangkat penalaran yang dimiliki fiqh sebenarnya memungkinkan dikembangkannya secara kontekstual, sehingga tidak akan tertinggal oleh perkembangan sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum muslimin memperbanyak keturunannya. Dalam era over populasi sekarang ini anjuran nabi itu tidak dapat dipahami secara dangkal, yakni bahwa nabi memerintahkan untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran itu bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.

Sistematika dan separangkat penalaran yang dimiliki fiqh sebenarnya memungkinkan dikembangkannya secara kontekstual, sehingga tidak akan tertinggal oleh perkembangan sosial yang ada.

Tidakkah dengan begini, pendekatan fiqh secara kontekstual bukan merupakan hal yang mustahil dilkuakan? Ditambah lagi bahwa salah satu kaidah fiqh berbunyi, “Kebijaksanaan penguasa atas rakyatnya bertumpu sepenuhnya pada kesejahteraan rakyat itu sendiri”. Nah dari kaidah ini tentu dapat dikembangkan banyak teori sosial yang kompleks dan universal.

***

ASUMSI formalistik terhadap fiqh seperti di atas sering menjadi masalah laten. Fiqh oleh sebagian kaum muslimin diperlakukan sebagai norma dogmatis yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqh – dalam hal ini kitab kuning dianggap sebagai kitab suci kedua setelah Al Qur’an.

Bila demikian halnya saya teringat akan gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat kita sendiri – pesantren – agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.

pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqh secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqh secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqh itu sendiri.

Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqh secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqh secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqh itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan me nguaknya, tetapi juga oleh siapa saja yang berminat mengaji referensi pemikiran Islam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, setelah kita mengetahui posisi fiqh dalam tatanan sosial yang ada dan dibarengi dengan keinginan meningkatkan amaliah ibadah sosial-yang dalam hal ini lebih utama daripada ibadah individual maka tentu keinginan tersebut akan mudah tercapai atau minimal akan terkonsepsikan secara proporsional untuk kemudian ditindaklanjuti pada masa-masa yang akan datang. Sehingga fiqh atau komponen ajaran Islam lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqh secara baik dan benar, serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.


Sumber: KH. MA. Sahal Mahfudh, Nunansa Fiqh Sosial; Fiqh yang Kontekstual

(Judul Asli; Upaya Meningkatkan Amaliah Ibadah, pernah dimuat Harian Suara Merdeka, Jumat 24 April 1992.  Struktur tulisan telah diubah disesuaikan dengan judul baru)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *