Mahally—Yayasan Pesantren Maslakul Huda menggelar upacara Hari Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia (RI), Rabu (17/08/2022) di halaman Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda. Upacara tersebut diikuti oleh seluruh komponen unit Yayasan Pesantren Maslakul Huda, mulai dari para pembantu pengasuh, karyawan unit Pesantren Maslakul Huda (PT. BPRS Artha Mas Abadi, PT. BPR Artha Huda Abadi, Masda Catering), jajaran guru PAUD dan SD An-Nismah, Muhadlir Ma’had Aly, para santri PMH (PMH Lil Mubtadiin, Lil Mubtadiat, PMH Putra, Al-Badi’iyyah dan Ma’had Aly).
KH. Abdul Ghofarrozin, selaku pembina upacara menyampaikan bahwa 77 tahun bukanlah usia yang mudah untuk dijalani. Usia ini adalah usia yang sangat penting karena tidak lama lagi Indonesia menginjak usia satu abad. Oleh karena itu, penting untuk direnungi bersama perihal semakin variatifnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia.
“Tantangan bangsa ini berasal dari mana-mana. Dari dalam dan dari luar. Dari dalam, bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling bhinneka sedunia. Ada ratusan suku, ratusan bahasa dan ada puluhan ribu pulau. Tidak ada bangsa di dunia ini yang semajemuk Indonesia. Dari sudut pandang itu, di usia 77 dan kita masih utuh adalah sesuatu yang luar biasa serta sesuatu yang harus kita syukuri. Ketika kita melihat bangsa yang kurang majemuk, bangsa yang terdiri dari lebih sedikit suku, lebih sedikit budaya, lebih sedikit bahasa, itu sudah bubar terlebih dahulu. Sedangkan kita, sampai usia ke 77 ini masih utuh menjadi satu, Indonesia. Tapi bukan berarti secara internal kita terbebas dari tantangan. Salah satu tantangannya adalah disintegrasi bangsa“. Tutur beliau.
Sebagai salah satu upaya yang membuat bangsa Indonesia tetap utuh adalah karena keikhlasan para founding fathers dan para pendiri negeri ini, ketika semua suku dan semua elemen bangsa tidak ada yang mengedepankan egonya, kesukuannya, dan semua berdiri di dalam satu bangsa, Indonesia. Bangsa ini tidak akan tetap merdeka tanpa perjuangan para kiai-kiai dan para masyayikh kita. Termasuk sumbangsih para salafunassholihun (orang-orang saleh terdahulu) di dalam kemerdekaan Indonesia sangat luar biasa. Misalnya, tanpa ada Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, kemerdekaan ini belum tentu bisa bertahan sampai sekarang. Dan Resolusi Jihad tersebut berasal dari kiai-kiai pesantren.
“Kita hidup di Kajen sekarang ini sebagai santri juga sebagai para khudamah; khudamaul ilmi, khudamaul ma’ahid, dan khudamaul madrasah. Dari sini juga, sumbangsih kemerdekaan di dalam level mikro juga tidak bisa ditinggalkan oleh sejarah. Mbah kita bersama (Mbah Mahfudh) yang merupakan ayahanda KH. Sahal Mahfudh wafat di penjara dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kakaknya Kiai Sahal; Kiai Hasyim Mahfudh wafat juga karena tertembak oleh Belanda. Para tokoh-tokoh yang lain di Kajen ini seperti Mbah Salam, Mbah Nawawi, Mbah Thohir, dan mbah-mbah yang lain semuanya terlibat di dalam revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia.” Lanjut Gus Rozin.
Oleh karena itu, jika melihat lebih dalam lagi posisi kita sebagai santri dan sebagai khudamah di Kajen ini, Gus Rozin menjelaskan bahwa wajib bagi kita untuk meneladani para Salafunassholihun baik di level lokal Kajen dan sekitarnya maupun di level nasional nusantara. Bagaimana caranya? Indonesia sudah selesai dalam konteks nation state (konsep negara bangsa). Maka, jangan lagi ada bahasan untuk kembali pada masa kerajaan, monarki absolut, maupun kembali pada sistem khilafah.
Salah satu konsep nation state selain digagas elemen bangsa, juga dilegitimasi oleh para kiai kita di pesantren. Oleh karena itu, pesantren dan keluarga besar pesantren serta keluarga besar Nahdliyyin dan Nahdlatul Ulama sampai sekarang tidak membuka ruang bagi perpecahan bangsa ini. Kita memiliki kewajiban untuk meneruskan kemerdekaan ini dengan mengisi hal-hal positif dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana cara mengisi dengan sebaik-baiknya? Menurut Gus Rozin, para santri harus bisa berkembang dan harus mempersiapkan diri untuk berdiaspora agar mampu masuk ke semua lini pekerjaan dan pengkhidmatan di Negara Indonesia.
“Para santri ketika di Kajen, di Matholiul Falah maupun di Maslakul Huda harus mempersiapkan diri dalam konteks tafaqquh fiddin. Sehingga, tempaan keagamaannya, urusan ubudiyahnya sudah selesai dan ketika keluar nanti siap berdiaspora dan siap berkhidmah di mana saja. Untuk berkhidmah dengan sebaik-baiknya dan untuk mengisi kemerdekaan ini sekaligus untuk menjadi benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Lanjut beliau.
Dewasa ini, harapan bangsa terhadap para santri yang paling tinggi–tetapi tidak satu-satunya–adalah akhlaqul karimah. Karena berbagai hal termasuk banyak pengaruh dari luar, perkembangan teknologi, banyak meningkatnya kelas menengah, maka kemudian bangsa kita mengalami kemerosotan moral yang luar biasa di semua lini. Kemudian Gus Rozin melanjutkan, “Termasuk adanya ancaman degradasi moral yang masuk ke dalam pesantren. Tapi, kita harus berhusnuzon dan beroptimisme bahwa pesantren di tengah tempaan tatanan sedemikian rupa masih tetap dapat mempertahankan moralitas pesantren dengan akhlaqul karimah. Karena saya kira itu yang menjadi modalitas utama dari para santri dan pesantren.
“
Secanggih apapun akal santri, sehebat apapun skill santri, sehafal apapun para santri pada kitab-kitab yang dipelajari, itu tidak ada artinya tanpa dilandasi dengan akhlaqul karimah. Tidak ada artinya jika tanpa dilandasi dengan moralitas yang baik dan perilaku yang bisa ditiru. Oleh karena itu, saya kira ini menjadi kewajiban kita sebagai penerus bangsa, sehingga bangsa ini tetap utuh ila yaumil qiyamah
“
_________________________________
Ditulis oleh Ima Nur Diana, santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester V