Mengacu pada salah satu qaul Imam Syafi’i, maka dengan ini Raudlatul Musyawarah memutuskan bahwa pemakaian kacamata untuk ru’yatul mabi’ ( melihat barang dagangan ) tidak diperbolehkan. Dan dengan demikian maka transaksi jual-belinya pun tidak sah. Karena pemakaian kacamata dalam proses ru’yatul mabi’ mengandung unsur gharar ( penipuan ) yang secara tegas telah dilarang oleh Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya.
“ Lho, kenapa tidak diperbolehkan? Kenapa dihukumi tidak sah? Bukankah dengan memakai kacamata maka mereka yang mempunyai kendala dalam penglihatannya dapat terbantukan? Karena justru dengan memakai kacamata inilah mereka dapat ru’yatul mabi’ dengan jelas. Dengan demikian maka pemakaian kacamata dalam upaya ru’yatul mabi’ merupakan sebuah kewajiban yang denganya suatu kewajiban lain dapat terwujud dengan sempurna ( maa laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib ). Di sisi lain dengan menggunakan kacamata, maka gharar yang memang telah dilarang oleh Rasulullah dapat dihindari “ sanggah salah seorang peserta forum.
“ Adapun larangan pemakaian kacamata dalam masalah ini, sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Mahfudz Termas, Syekh Syarqawi dan yang telah difatwakan oleh Imam Romli dalam karya mereka masing-masing karena didasarkan pada kualitas kacamata yang ada di zamannya. Berbeda dengan kualitas kacamata yang ada di era sekarang “ imbuh peserta tadi.
Sanggahan inilah yang kemudian memotivasi Kiai Sahal untuk menuangkan bantahannya dalam salah satu karyanya yang berjudul Intifakh al-Wadajain yang secara khusus ditulis untuk mematahkan sanggahan tadi. Dan sudah barang tentu untuk memperkuat keputusan yang telah diambil oleh Raudlatul Musyawarah mengenai pemakaian kacamata dalam ru’yatul mabi’.