Banyak orang tua yang telah mengenalkan dan memberikan uang saku kepada anak sejak dini ketika mereka telah memasuki bangku sekolah, dan ini telah menjadi suatu hal yang lumrah. Pasalnya, tidak ada masalah memberi uang saku kepada anak kecil baginya untuk membeli jajanan, mainan, atau sekadar membeli hal-hal yang remeh. Selain itu, orang tua pun tak perlu repot-repot mempersiapkan bekal bagi si kecil untuk dibawa ke sekolah, karena si kecil telah terbiasa belanja dengan uang saku yang diberikan. Mereka pun berkeyakinan barang yang dibeli si kecil ini tak mungkin sesuatu yang aneh-aneh, karena kebanyakan dari anak kecil tak begitu faham barang-barang yang mereka beli kecuali makanan dan mainan kecil yang menarik perhatiannya. Sehingga orang tua tidak khawatir memberikan uang saku.
Meski jumlah uang saku yang diberikan relatif sedikit dan tidak mungkin melebihi dari batas wajar, sebaiknya bagi orang tua agar memperhatikan betul barang apa saja yang dibeli oleh si kecil. Bahkan selain itu dalam beberapa kondisi, terdapat anak kecil yang melakukan dagang keliling seperti menjual gorengan, roti, dan barang-barang kecil lainnya yang mana merupakan tuntutan dari kurangnya ekonomi orang tua. Hal tersebutlah yang membuat mereka terbiasa menghitung dan mengelola uang hasil penjualan. Dalam kacamata fikih, anak kecil tersebut dianggap telah mumayyiz (cerdas) meski belum baligh. Melihat fenomena tersebut, seperti apa tanggapan fikih? Bagaimanan hukum akad jual belinya seorang anak kecil?
Imam Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan bahwa akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil tidak sah, baik dia sebagai penjual maupun pembeli. Karena syaratnya seorang yang berakad adalah mukallaf.
ب (وشرط في عاقد) بائعا كان أو مشتريا (تكليف) فلا يصح عقد صبي ومجنون وكذا من مكره
“Dan disyaratkan seorang yang melakukan akad, baik sebagai penjual maupun pembeli merupakan orang yang mukallaf. Maka tidak sah akadnya seorang anak kecil, orang gila, begitu juga orang yang terpaksa.”
Menurut Imam Syafi’i tidak sah jual belinya anak kecil yang belum baligh, baik dia sudah mumayyiz (cerdas) ataupun belum, baik dengan izin walinya ataupun tidak. Meskipun barang yang dibeli atau dijual si anak kecil ini merupakan hal yang remeh maka tetap saja pendapat Imam Syafi’i mutlak tidak sah.
.يصح بيع الصبي المميز لغيراليسير إذا أذن له وليه، فإن لم يأذن له وليه لم يصح بيعه، وهو مذهب الجمهور: الحنفية، والمالكية، والحنابلة
Sedangkan menurut jumhur ulama yakni Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jual belinya anak kecil mumayyiz yang belum baligh terhadap selain perkara remeh adalah sah, apabila dengan izin wali. Namun menurut jumhur ulama’, apabila tanpa adanya izin wali maka akad jual beli yang dilakukan si anak adalah tidak sah.
Jika melihat realitas saat ini, banyak fenomena anak kecil melakukan praktek pentasharrufan uang (melakukan akad jual beli) dan para orang tua mengizinkan. Sekilas hal ini nampak sepele dan sudah terpecahkan apabila si anak telah mengetahui fungsi uang untuk transaksi. Namun sebetulnya hal ini perlu direnungi bersama, melihat beberapa kasus yang terjadi atas transaksi yang dilakukan anak kecil.
Beberapa waktu terakhir, terjadi maraknya penjual permen kepada anak kecil yang mana sebenarnya permen yang mereka jual adalah permen narkoba. Banyak anak kecil yang tertipu dan tergiur untuk membeli permen tanpa mengetahui permen apa yang dijual. Begitu juga apabila terjadi penipuan oleh penjual, ataupun penjual yang menjual sejenis jajanan yang mengandung bahan-bahan tidak sehat, bahkan dapat membahayakan kesehatan. Jika hal ini terjadi pada orang dewasa, umumnya mereka dapat memilah dan mengidentifikasi ciri-ciri makanan yang baik untuk dibeli. Pada penjual permen narkoba, permen yang dijual tak memiliki merk. Siapapun yang melihat akan bertanya-tanya permen apa yang dijual, sehingga membuat orang dewasa berpikir dua kali untuk membeli. Berbeda halnya dengan anak kecil, mereka cenderung polos dan tertarik untuk membeli apapun yang menarik bagi mereka.
Sebagai orang tua, selayaknya memperhatikan betul akan hal ini. Dengan menyampaikan contoh diatas, memiliki maksud untuk dijadikan sebagai pertimbangan bagi para orang tua yang masih memberikan keluasan bagi anak melakukan transaksi sendirian tanpa didampingi orang dewasa.
Vina Rahma Sania, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24.