Iddah Bagi Anak Kecil

Artikel534 Dilihat

Sebelum membahas iddah bagi anak kecil, terlebih dlu harus kita ketahui definisi dari iddah itu sendiri, dan hikmah di syariatkannya iddah. Kemudian masuk kepada pembahasan iddah bagi anak kecil.

  1. Definisi Iddah

Iddah adalah masa penantian (untuk tidak menikah dulu) bagi seorang istri dalam waktu yang sudah ditentukan oleh agama, yang bertujuan untuk mengetahui kosongnya rahim seorang istri (bagi istri yang masih berpotensi hamil) atau karena peribadatan/ta`abbudi/ taken for granted (bagi istri yang masih kecil atau sudah menopause) sebagai bentuk duka cita atas wafatnya suami[1].

  1. Hikmah Disyari’atkan Iddah

Allah SWT mewajibkan iddah atas Muslimah demi memelihara kemuliaan dan kehormatan keluarga, disamping memelihara wanita dari keterlepasannya dari suatau ikatan dan percampuran nasab. Iddah juga disyari’atkan sebagai tanda berkabung  atas kematian suami dengan memperlihatkan kesedihan setelah wafatnya, juga untuk menghormati ikatan yang suci “ikatan pernikahan”. Demikian pula iddah ditetapkan dengan tujuan untuk mengakui keutamaan dan kebaikan suami[2].

Para ulama telah menyebutkan mengenai hikmah disyari’atkannya iddah  beberapa hal yang secara garis besarnya sebagai berikut:

  1. Mengetahui bebasnya Rahim sehingga tidak ada percampuran dan kesimpangsiuran nasab di antara berbagai individu (anak)
  2. Demi kepentingan ibadah, sebagai ketaatan atas perintah Allah yang telah memrintahkan kaum wanita mengamalkan perintah-Nya itu.
  3. Menampakkan kesedihan dan belasungkawa atas kematian suami sebagai pengakuan atas kelebihan suami dan kebaikannya.
  4. Sebagai upaya masa persiapan bagi suami-istri dalam kasus talak, untuk kembali menjalin hubungan suami-istri melalui rujuk.
  5. Mengagungkan pernikahan sehingga pernikahan tidak sempurna kecuali setelah menunggu waktu yang cukup lama. Jika tanpa itu maka pernikahan boleh jadi seperti permainan anak-anak, sempurna lalu terlepas dalam sesaat[3].

 

  1. Iddah Bagi Istri Yang Masih Kecil

Para fuqoha berbrda pendapat mengenai iddah bagi istri yang masih kecil, sebagai berikut :

  • Pendapat pertama, sebagian pengikut malikiah mengatakan: jika anak perempuan itu tidak mampu berjimak, maka ia tidak mesti memenuhi iddah karena dipastikan tidak mungkin hamil, dan menjimaknya sama dengan melukainya. Tetapi jika ia kuat berjimak, maka ia mesti melewati masa iddah, yakni selama 3 bulan.
  • Pendapat kedua, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan Dawud serta Ibn Hazm berpendapat bahwa istri/perempuan yang masih kecil itu wajib melewati iddah selama tiga bulan, baik ia masih kecil atau pun telah dewasa sebagaimana diisyaratkan keumuman firman Allah swt, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan- perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”
  • Pendapat ketiga, Imam Ahmad dalam suatu riwayat dari Abu Thalib mengatakan: Jika ia sebagai wanita/istri yang masih kecil maka wajib atasnya menjalani iddahnya selama tiga bulan. Jika tidak demikian, seperti ketika ia telah sampai umur yang ketika itu umumnya wanita berhaid, seperti umur lima belas tahun, tetapi ia masih juga belum haid, maka ia wajib beriddah selama setahun, sebab ia sebagai wanita yang diragukan. Boleh jadi ia hamil, yang menghalangi haidnya, maka ia memerankan wanita yang hukumnya seperti orang yang tidak haid setelah sebelumnya ia haid[4].

Berukut adalah beberapa pendapat fuqoha mengenai hukum massa iddah bagi istri yang masi kecil. Yang mana sudah umum diketahui bahwa setiap terputusnya ikatan pernikahan yang sah dalam islam, maka terdapat konsekuensi hukum iddah bagi setiap wanita muslim, namun hukum iddah tidak hanya dibebankan kepada wanita muslim dewasa atau tua, fiqih juga telah mengatur hukum iddah bagi seorang istri Muslimah yang masih kecil.

[1] HENDERI KUSMIDI, “Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan”, dalam E-Jurnal system IAIN Bengkulu, Vol 04, No 01, hal. 34, Thn 2017

[2] PROF.Dr.Hj. HUZAEMAH TAHIDO YANGGO,MA, “Fiqih Anak”, (P.T. AL-MAWARDI PRIMA Jakarta Selatan, 2004), Hal. 351

[3] Ibid, hal. 352

[4] Ibid, hal. 353

Oleh: Qurotun Nada Kamila, Santri Semester 5 Ma’had Aly PMH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *