INDONESIA ADALAH KITA

Kolom Santri, Opini1405 Dilihat
Indonesia adalah kita
Oleh : Saiful Mujab *)
Pendahuluan
      Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural sejak berdirinya. Keberagaman etnik, kultur serta agama merupakan sebuah keniscayaan dari bangsa ini. Hal ini merupakan sebuah anugrah dari Allah SWT kepada bangsa ini yang seharusnya disyukuri dan dijadikan motivasi untuk saling mengenal dan memahami sehingga menjadi bangsa yang utuh, bersatu dan sulit terpecah belah. Senada dengan sabda Allah SWT di dalam al-Quran Surat Al- Hujuraat ayat 13 bahwa Allah SWT menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sebagai alat perekat hubungan antara satu sama lainnya, pun Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya (Tafsir Ibnu Katsiir)
أَيْ: لِيَحْصُلَ التَّعَارُفُ بَيْنَهُمْ، كلٌ يَرْجِعُ إِلَى قَبِيلَتِهِ
“maksud dari ayat tersebut (Al- Hujurat ayat 13) ialah Allah menciptakan beragam makhluq supaya dapat saling mengenal (memahami) antara satu sama lain”.
Melihat pembenaran Allah SWT terkait pluralitas yang demikian, tentunya manakala suatu bangsa diwarnai keberagaman di dalamnya seperti halnya bangsa Indonesia, tidaklah bertentangan dengan akidah Islam, bahkan malah menjadi sunnatullah di atas bumi. Dengan demikian, al-Quran sama sekali tidak menganjurkan adanya peperangan yang diakibatkan adanya keberagaman umat dan golongan. Peperangan hanya bisa terjadi ketika adanya penyerangan terlebih dahulu. Anjuran perdamaian tak pernah henti-hentinya diajarkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya.
       Namun, konsep pluralisme di Indonesia masih saja menjadi bahan perdebatan bagi sebagian pihak yang masih tekstualis dalam memahami beberapa dalil seperti halnya adanya dalil yang mengatakan bahwa “man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum”. Beberapa pihak menafsirkan ketika adanya pembenaran terkait keberagaman pada suatu bangsa maka konsekuensinya kita diharuskan saling hormat-menghormati, saling membela bahkan sampai pada tingkatan saling membenarkan keyakinan yang lainnya, membenarkan satu agama atas agama lainnya. Tuntutan yang semacam inilah yang dijadikan alasan untuk menolak keberagaman. Bahkan mereka mengkategorikan kebaragaman sebagai tindakan melawan agama dan menjustifikasi kepada mereka yang mendukung keberagaman sebagai syiirk modern. Tentunya penafsiran yang demikian sangatlah kontradiksi dengan konsep bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila. Untuk itu perlu adanya interpretasi ulang terkait makna keberagaman dan kontekstualisasi terhadap keberagaman di Indonesia agar tidak menimbulkan kesalah pahaman pemikiran yang justru mengakibatkan perpecahan umat terkhusus di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
       Umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia telah menjadi bagian terbesar atas kontribusi nyata sejak kehadiran mereka dalam membentuk dan mewarnai kultur di bumi Nusantara. Bahkan ketika kita menilik sejarah bangsa ini, peran umat Islam dalam membentuk dan mengukuhkan suatu negara menjadi kesatuan yang utuh sangatlah besar. Hal ini bisa dilihat manakala umat Islam akhirnya menyepakati dirubahnya tujuh kata dalam sila pertama yang tercantum dalam piagam Jakarta menjadi satu kalimat yang bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yakni Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Meskipun K.H Wahid Hasyim dan Kahar Muzzaki sebagai pencetus lahirnya tujuh kata tersebut, mereka menyadari bahwa Negara Indonesia lahir tidak semata-mata karena satu golongan saja yakni umat Islam, akan tetapi lahir oleh bermacam-macam golongan. Tentunya hal ini dikarenakan bangsa ini merupakan bangsa yang majemuk. Oleh karena itu, dalam sidang pertamanya, PPKI sepakat merubah tujuh kata yang tercantum dalam piagam Jakarta menjadi satu kalimat yang tercantum dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD.
Keputusan ini jelaslah merupakan sebuah pengorbanan besar bagi pemimpin-pemimpin politik Islam. Akan tetapi mereka lebih memilih persatuan bangsa demi menjaga ke-Tuhanan dan persatuan bangsa dengan menghilangkan potensi-potensi yang bisa memecah kesatuan seperti halnya deskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Hal ini selaras dengan prinsip saddu dzari’ah yakni memutus adanya potensi-potensi yang bisa menimbulkan kerusakan. Demikian, keputusan merubah tujuh kata dalam piagam Jakarta sangatlah tepat.
     Buya Hamka dalam bukunya Dari Hati ke Hati, Tentang Agama, sosial-Budaya, Politik menganggap bahwa sebenarnya pelopor kesadaran kebangsaan dan persatuan Indonesia terbesar ialah umat Islam. Pengakuan keesaan Allah SWT (tauhid) telah menjadi jiwa para penyusun ideologi bangsa ini, yakni Pancasila. Karena dengan sila pertamanya yakni Ke-Tuhanan yang Maha Esa akan menjadi dasar hidup kita dalam beragama maupun dalam berbangsa. Dengan pondasi yang ditamengi ketauhidan inilah rakyat Indonesia akan lebih bijak dalam menjalankan keagaamaan sekaligus kebangsaan. Buya Hamka juga berpandangan bahwa kemuliaan suatu bangsa akan terealisasi manakala kecintaan terhadap bangsa dan tanah airnya selalu dikaitkan dengan keyakinan dan keimanan terhadap Allah SWT. Dengan demikian, praktek Hubbul Wathon minal Iman sebenarnya sudah lama menjadi pegangan leluhur kita.
      Pancasila sebagai ideologi bangsa sekaligus menjadi dasar negara Indonesia dalam realitanya sangatlah sesuai dengan konteks bangsa ini yang berbhineka. Dengan adanya penerimaan serta taat pada Pancasila, merupakan sebuah keniscayaan bangsa ini akan menjadi bangsa yang kukuh, harmonis serta tidak mudah tergoyah. Adanya ideologi-idologi baru yang mencoba masuk dan mendoktrin rakyat dengan paham-paham yang berselisih dengan Pancasila haruslah segera dimusnahkan dari bumi nusantara ini.
Wacana khilafah Al-Islamiyah di Indonesia
    Dalam Islam, merupakan suatu kewajiban dalam suatu pemerintahan mengangkat seorang pemimpin untuk memimpin pemerintahan dalam suatu negara, bahkan ini menjadi suatu keniscayaa dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Kewajiban mengangkat pemimpin tidak berati mewajibkan suatu sistem tertentu untuk dijadikan dasar atau ideologi dalam menjalankan pemerintahan. Kewajiban pengangkatan pemimpin hanya bertujuan demi terwujudnya ketertiban umum dan terciptanya kemaslahatan baik duniawi maupun akhirat dalam hidup berbangsa.
     Ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah sejak awal menempatkan terkait sistem pemerintahan adalah sifatnya furu’iyah atau cabang agama dan bukan merupakan ushuliyah atau dasar keagamaan. Dalam artian persoalan furu’ bukan merupakan persoalan yang sifatnya paten, akan tetapi masih ada potensi untuk mengkontekstualisasikan dan interpretasi ulang pada maknanya. Senada dengan argumen ini, Imam Haromain dalam kitabnya Ghiyat al-Umam menganggap bahwa isu kepemimpinan bukanlah bagian dari prinsip akidah. Dan dominannya isu tersebut hanya sampai pada taraf dzanni atau dugaan yang tidak sampai pada taraf qath’i atau keyakinan.
    Dalam konteks negara Indoneisa, telah menjadi kesepakatan dan pilihan untuk menjadikan prinsip demokrasi serta Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dalam artian terkait pengangkatan pemimpin setiap rakyat mempunyai otoritas memilih dan dipilih dalam mekanismenya, serta setiap warga negara Indonesia harus meyakini dan menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa. Hal ini didasari karena Indonesia merupakan bangsa yang plural dan berbhineka. Dengan ini, adanya gerakan-gerakan terlarang yang ingin merubah sistem kenegaraan bangsa dan ideologi bangsa tidak bisa dibenarkan. Seperti halnya gerakan Hizbut al-Tahrir (HTI) yang ingin merubah sistem kenegaraan ini menjadi khilafatisme dan menolak prinsip demokrasi di Indonesia serta ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Hal ini tentunya berlawanan bahkan menentang ideologi Pancasila yang sudah menjadi pondasi negara yang telah dibangun sesuai kaidah dan norma tauhid. Untuk itu, gerakan-gerakan seperti halnya HTI justru menyebarkan ajaran radikal yang harus segera dibasmi dan dicekal.
      Profesor Mahfudz MD dalam salah satu pidatonya mengatakan dalam sudut akidah, teologis memang tidak ada di dalam sumber primer Islam itu ajaran yang mengatakan khilafah sebagai sistem baik di dalam al-Quran maupun hadist. Khifahah hanya disebutkan bagi pemimpin. Oleh karena itu setelah masanya nabi, lahir bermacam-macam jenis khilafah. Beliau memastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasilanya ini juga termasuk khilafah dalam artian sistem khilafah yang versi Indonesia atau khilafah al-Indonesiah. Dan ini merupakan sebuah kesepakatan ulama Indonesia. Selaras dengan Prof. Mahfudz MD, ternyata pakar ulama kontemporer yakni Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Qodhaya al-Fikr Al-Mu’ashir mengatakan “Sistem pemerintahan yang Islami tidak harus berbentuk Khilafah atau sitem kenegaraan yang lain seperti bentuk Republik. Melainkan yang terpenting sistem pemerintahan tersebut mengayomi urusan-urusan agama dan duniawi. Karena yang terpenting adalah menjalankan prinsip permusyawaratan.”
*) Penulis adalah Santri kelas 3, semester 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *