INTI ZAKAT:
SIMBOL TANGGUNGJAWAB PENGELOLAAN HARTA
Uraian Mengenai Zakat
Tiga pertanyaan berkenaan dengan zakat datang kepada saya. Pertama, tata cara menghitung zakat. Kedua, pemberian zakat di bulan Ramadlan. Dan ketiga pandangan kewajiban suami mengeluarkan zakat untuk istri yang sudah mempunyai penghasilan sendiri.
Untuk menjelaskan tata cara menghitung zakat, sebenarnya sederhana sekali, yaitu dengan mengalkulasikan semua kekayaan dan harta benda yang diperdagangkan, kemudian mengeluarkan zakat 2,5% bila hitungan tersebut telah mencapai nishab, (batas minimal seseorang berkewajiban membayar zakat).
Sebagaimana dijelaskan pengarang kitab Fathu Al-Qadir, dari kalkulasi tersebut pemiliknya berkewajiban mengeluarkan 2,5% darinya bila hitungannya telah mencapai nilai emas 77,30 Gram. Ditambah satu ketentuan lagi, perhitungan itu harus dilakukan ketika harta itu telah mencapai genap satu tahun (al-Haul).
Jika kedua hal itu (ketentuan nishab dan al haul) tidak terpenuhi, kewajiban membayar zakat menjadi gugur. Selain itu, juga ada satu persyaratan lagi, barang dagangan itu milik pribadi, bukan milik istri, anak-anak yang telah aqil baligh, atau orang lain jika terjadi pencampuran harta. Menurut al Anshari, dalam kitabnya, al Tahrir, yang memang telah memenuhi syarat satu nisab (meski dipisahkan belum mencapai) dan telah genap satu tahun, maka status harta tersebut tidak dibedakan dari harta milik orang lain. Hal itu dengan pengertian bahwa ketentuan zakatnya sebagaimana bila dimiliki oleh satu orang. Contoh konkret dari percampuran harta tersebut adalah seperti ketika harta suami dan istri k dikumpulkan untuk modal perdagangan yang kemudian diwujudkan dalam barang-barang pertokoan.
Sedangkan waktu pembayaran zakat, jika memang telah mencapai hitungan satu nisab dan genap satu tahun, seketika itu pula zakat harus dikeluarkan dengan tidak membenarkan adanya penundaan misalnya sampai bulan Ramadlan tiba.
Meski demikian, menunda pengeluaran zakat demi kemaslahatan yang lebih besar, misalnya menunggu adanya orang miskin yang lebih membutuhkan, dalam fiqh tidak ada hukum pelarangan, bahkan dinilai sebagai tindakan yang afdlal, lebih utama.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami, menunda memberikan zakat, tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat lebih besar, hingga bulan Ramadlan tiba tidak diperbolehkan, meski bulan tersebut teramat bernilai untuk memperbanyak ibadah. Karena masalah yang ada tidak kembali kepada penerima zakat, tetapi kembali kepada pihak pemberi.
Berbeda dengan zakat fitrah yang membayarnya dilakukan pada bulan Ramadlan. Dengan alasan ta’jil, cara mengeluarkan zakat sebelum waktu yang ditetapkan tiba, masih dalam batas toleransi.
Selanjutnya mengenai nafkah yang ditanyakan sebagaimana keterangan al-Syarqawi, secara singkat dapat diterangkan bahwa nafkah seorang istri lebih kaya daripada suami.
Karenanya, dalam masalah zakat fitrah yang wajib mengeluarkan atas istrinya adalah suami, tanpa memperdulikan bahwa istri mampu mengeluarkan zakat dengan hartanya sendiri. Karena dalam zakat fitrah seseorang yang mempunyai tanggung jawab memberikan nafkah, berkewajiban pula mengeluarkan zakat atas semua orang yang wajib di nafkahinya.
Namun, tidak menutup kemungkinan seorang istri merelakan hartanya dipegang suami yang kurang mampu, untuk digunakan sebagai nafkah. Tindakan itu dimaksudkan untuk menjaga kehormatan suami, agar tercipta kerukunan hidup dalam keluarga dengan saling membantu dan bersama-sama membina keluarga yang sakinah.
*Sumber: KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka bersama KMF Jakarta), Cet. I November 2004. pernah dimuat di Harian Umum Suara Merdeka, dialog dengan Kyai Sahal, Jumat, 29 Desember 1995. Judul asli: Masalah Zakat dan Tanggung Jawab Suami