سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Al-Israa’ (17:1) : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW. merupakan sesuatu yang tidaklah asing didengar oleh telinga kita, karena merupakan hal yang pada umumnya diperingati oleh umat muslim tiap tahunnya. Bagi umat muslim, hal ini merupakan sesuatu yang wajib diyakini karena merupakan sesuatu yang diceritakan oleh lisan yang paling jujur yakni Nabi SAW. karena salah satu sifat wajib bagi rasul adalah ash-shidqu (jujur). Akan tetapi, manusia sebagai makhluk yang berakal sudah sewajarnya akan condong untuk lebih mempercayai sesuatu yang bisa dinalar oleh akal (rasional), karena hal tersebut dirasa lebih dapat dipercaya dan dapat dibuktikan kebenarannya ketimbang sesuatu yang sifatnya tidak logis/tidak masuk akal (irasional) yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan dirasa mustahil. Lalu bagaimanakah dengan peristiwa isra’ mi’raj? Apakah ia rasional? Jika tidak, maka apakah ia irasional? Sehingga merupakan sesuatu yang diyakini didasarkan pada keimanan belaka?
Untuk menjawab pertanyaan ini, seyogyanya kita memahami terlebih dahulu bagaimana terjadinya peristiwa isra’ mi’raj ini. Di dalam tafsir Qurtubi dijelaskan :
فَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى- وَهِيَ هَلْ كَانَ إِسْرَاءً بِرُوحِهِ أَوْ جَسَدِهِ، اخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ السَّلَفُ وَالْخَلَفُ، فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِسْرَاءٌ بِالرُّوحِ، وَلَمْ يُفَارِقْ شَخْصُهُ مَضْجَعَهُ، وَأَنَّهَا كَانَتْ رُؤْيَا رَأَى فِيهَا الْحَقَائِقَ، وَرُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ حَقٌّ. ذَهَبَ إِلَى هَذَا مُعَاوِيَةُ وَعَائِشَةُ، وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ وَابْنِ إِسْحَاقَ. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: كَانَ الْإِسْرَاءُ بِالْجَسَدِ يَقَظَةً إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَإِلَى السَّمَاءِ بِالرُّوحِ، وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى:” سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى” فَجَعَلَ الْمَسْجِدَ الْأَقْصَى غَايَةَ الْإِسْرَاءِ. قَالُوا: وَلَوْ كَانَ الْإِسْرَاءُ بِجَسَدِهِ إِلَى زَائِدٍ عَلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى لَذَكَرَهُ، فَإِنَّهُ كَانَ يَكُونُ أَبْلَغُ فِي الْمَدْحِ. وَذَهَبَ مُعْظَمُ السَّلَفِ وَالْمُسْلِمِينَ إِلَى أَنَّهُ كَانَ إِسْرَاءً بِالْجَسَدِ وَفِي الْيَقَظَةِ، وَأَنَّهُ رَكِبَ الْبُرَاقَ بِمَكَّةَ، وَوَصَلَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَصَلَّى فِيهِ ثُمَّ أُسْرِيَ بِجَسَدِهِ. وَعَلَى هَذَا تَدُلُّ الْأَخْبَارُ الَّتِي أَشَرْنَا إِلَيْهَا وَالْآيَةُ. وَلَيْسَ فِي الْإِسْرَاءِ بِجَسَدِهِ وَحَالِ يَقَظَتِهِ اسْتِحَالَةٌ، وَلَا يُعْدَلُ عَنِ الظَّاهِرِ وَالْحَقِيقَةِ إِلَى التَّأْوِيلِ إِلَّا عِنْدَ الِاسْتِحَالَةِ، وَلَوْ كَانَ مَنَامًا لَقَالَ بِرُوحِ عَبْدِهِ وَلَمْ يَقُلْ بِعَبْدِهِ. وَقَوْلُهُ” مَا زاغَ الْبَصَرُ وَما طَغى ” يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ مَنَامًا لَمَا كَانَتْ فِيهِ آيَةٌ وَلَا مُعْجِزَةٌ ص208 – تفسير القرطبي – سورة الإسراء آية – المكتبة الشاملة الحديثة
Apakah perjalanan isra’ mi’rajnya Nabi dengan ruh atau jasadnya? ulama salaf & khalaf berbeda-beda pendapat dalam masalah ini. Ada golongan yang berpendapat bahwasannya isra’ mi’rajnya Nabi adalah dengan ruh, dan jasadnya Nabi tidak meninggalkan tempat tidurnya (pendapatmya Mu’awiyah & Sayyidah ‘Aisyah). Dan dihikayatkan dari Hasan bin Ishaq bahwasannya ada juga golongan yang mengatakan isra’nya Nabi SAW sampai Baitul Maqdis itu dengan jasad secara sadar, dan naik ke langit dengan ruh, dengan dalil bunyi ayat :
“سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى”
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha”
Allah menjadikan Masjidil Aqsha akhir dari perjalanan Nabi, sehingga mereka berkata: jikalau isra’nya Nabi dengan jasad itu melebihi masjidil Aqsha, niscaya Allah akan menuturkannya. Karena hal tersebut lebih mengena di dalam memuji Nabi SAW. Dan sebagian besar ulama salaf dan para orang muslim mengatakan bahwasannya isra’nya Nabi itu dengan jasad dan secara sadar. Isra’nya Nabi secara sadar itu tidaklah mustahil, sehingga tidaklah boleh memalingkannya dari makna zahir & hakikat, yakni lafaz بعبده dimaknai روحًا و جسدًا ( hamba dimaknai dengan jasad beserta ruhnya) kepada makna takwil, kecuali ketika hal tersebut mustahil. Jikalau isra’ mi’rajnya Nabi itu terjadi secara mimpi, niscaya Allah akan berkata dengan lafadz بروح عبده (dengan ruh hamba-Nya) tidak dengan lafadz بعبده (dengan hamba-Nya). Hal ini juga dikuatkan dengan firman Allah SWT :
مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ
An-Najm (53:17) : “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.”
Dan juga jikalau isra’ mi’rajnya Nabi itu terjadi secara mimpi, niscaya isra’ mi’raj tersebut tidak menjadi sebuah tanda akan kebesaran Allah dan tidak pula menjadi sebuah mu’jizat.
Berdasarkan penjelasan di dalam tafsir Qurtubi di atas, kita dapat mengetahui bahwasannya para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai isra’ mi’raj Nabi apakah dengan ruh atau jasadnya saja. Bagi golongan yang mengatakan bahwasannya peristiwa tersebut terjadi dengan ruhnya Nabi saja (terjadi secara mimpi), maka hal ini jelas menjadi rasional. Dan tidak akan ada yang mengingkarinya, karena hal ini jelas bisa saja terjadi.
Akan tetapi, bagi golongan yang mengatakan bahwasannya isra’ mi’raj Nabi tersebut ruhan wa jasadan ( dengan ruh dan jasadnya), maka hal ini jelas menjadi permasalahan, karena bagaimanakah caranya seseorang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain kemudian naik ke langit ke sidratul muntaha dalam waktu yang sangat singkat, yang bahkan Sayyidah ‘Aisyah sendiri mengatakan bahwasannya Nabi tidak melihat Allah? Sayyidah’ Aisyah berkata :
مَنْ زعم أنّ محمّدا رأى ربّه فقد أعظم الفرية على الله
“Barangsiapa yang meyakini bahwasannya Nabi Muhammad pernah melihat tuhannya, maka sungguh ia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR Bukhari no. 4855).
Oleh Karena itu, jelaslah hal ini tidak rasional. Lalu apakah ini berarti bahwa hal ini irasional? Mungkin kebanyakan orang akan beranggapan begitu, namun sebenarnya hal tidak rasional belum tentu merupakan sesuatu yg irasional. Karena di antara rasional dan irasional ada satu lagi cara berpikir yang mungkin sering terlupakan oleh kebanyakan orang atau bahkan tidak diketahui, yakni cara berpikir suprarasional. Suprarasional merupakan cara berpikir yang menunjukkan sesuatu diluar nalar, yakni sesuatu yang tidak bisa di nalar oleh pikiran kita. Hal ini disebabkan keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri, seperti halnya pandangan mata kita, sebaik apapun mata kita, kita tidak akan bisa melihat sesuatu yg ada di balik dinding, sesuatu yang amat jauh. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kemampuan mata kita, karena kemampuan manusia itu terbatas.
Sebagai penutup, isra’ mi’raj memang bukanlah hal yang rasional, akan tetapi ia juga bukanlah hal yang irasional, melainkan ia adalah hal yang suprarasional. Peristiwa ini merupakan kehendak Allah yang tidak bisa dinalar oleh pikiran manusia, karena terbatasnya kemampuan akal manusia terkhusus untuk memahami hal hal yang ghaib. Dan cukuplah menjadi bukti akan adanya hal hal yang suprarasional ialah kejadian alam semesta, terciptanya manusia, hewan, tumbuhan dan lain – lain.
“Sesuatu yang tidak terbatas tidak akan bisa dibatasi oleh sesuatu yang terbatas”
KH. M.A. Sahal Mahfudh
Oleh Hafizh Al-Mundziry, Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester V.