Istri atau Pembantu Rumah Tangga?

Artikel2219 Dilihat

Pernikahan merupakan sebuah akad perjanjian yang kuat guna mewujudkan sebuah struktur keluarga baru yang diakui oleh agama dan masyarakat. Pernikahan yang sah itu mengandung beberapa implikasi, baik untuk suami, istri maupun keturunan yang akan dilahirkan kelak. Masing-masing harus menyadari dan memahami akan kewajiban serta hak terhadap satu sama lain. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang sangat kuat meliputi lahir dan batin sebagai sepasang suami istri. Di samping itu juga pernikahan merupakan suatu ibadah, dan perempuan yang sudah sah menjadi istri merupakan amanah dari Allah yang diberikan kepada suami yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Sudah menjadi hal lazim yang berlaku di masyarakat, dimana seorang istri biasanya bertugas melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga, baik itu memasak, mencuci, menjemur pakaian, menyetrika, menyapu di dalam dan luar rumah, dan lain sebagainya. Sebagian ulama fikih berpendapat, melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga seperti  yang dijelaskan di atas merupakan suatu keharusan yang harus dikerjakan istri sebagai baktinya kepada suami[1]. Sedangkan sebagian Ulama yang lain berpendapat istri tidak wajib untuk mengerjakan semua tugas tersebut.[2]

bagaimana pandangan Islam mengenai pekerjaan rumah tangga dan pelayanan istri terhadap kebutuhan sehari-hari suami?

Jika merujuk kepada kitab-kitab mazhab fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akan ditemui bahwa para ulama mazhab tersebut memiliki pendapat yang berbeda mengenai ketaatan istri untuk melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga.

Ulama yang berpendapat bahwa seorang istri itu wajib untuk melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangganya, adalah para ulama dari golongan mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Namun demikian, menurut ulama Hanafiyah, jika istri enggan melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga, maka ia tidak boleh dipaksa mengerjakannya. Pernyataan bahwasanya seorang istri wajib untuk melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga, itu berdasarkan pada fatwa ulama mazhab. Menurut mereka, pelayanan istri untuk menyiapkan kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga adalah amal kebaikan yang wajib dilakukannya sebagai hamba kepada Allah SWT (wajibah diyanah). Apabila istri tidak mau melakukan tugas tersebut, maka hakim tidak berhak mendesak istri untuk mengerjakannya. Apabila suami membawa makanan yang belum dimasak, kemudian istrinya tidak mau memasaknya atau dengan tegas ia mengatakan tidak mau melakukannya, maka istri tersebut tidak boleh dipaksa untuk mengerjakannya. justru sebaliknya,  suami yang diperintahkan untuk menyediakan makanan siap saji, atau menyewa pembantu untuk memasak dan mengurus rumah tangga. Jika istri bersedia melayani kebutuhan suami dan mengurus rumah tangga, maka ia akan mendapatkan pahala dan tidak boleh meminta upah atas pekerjaannya tersebut [3].

Dalil yang menjadi landasan ulama Hanafiyah atas pendapat mereka yang mewajibkan istri melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga adalah riwayat yang menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW pernah membagi tugas antara ‘Ali dan Fatimah [4].

Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwasanya Rasulullah SAW telah membagi tugas antara ‘Ali dan Fatimah. Tugas di luar rumah seperti mencari nafkah, mengurus kebun, membeli kebutuhan sehari-hari dan lain sebagainya dikerjakan oleh ‘Ali, kemudian tugas di dalam rumah seperti menyediakan makanan, menyapu rumah, mencuci piring dan lain sebagainya itu dikerjakan oleh Fatimah . Ulama Hanafiyah juga menjadikan ‘urf (adat) sebagai dalil kewajiban seorang istri untuk melayani kebutuhan suami dan mengurus rumah tangga[5]

Menurut ulama mazhab Malikiyah kewajiban melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga, hanya bagi istri yang berasal dari keluarga biasa, bukan dari keluarga terhormat. Hal tersebut harus dilakukannya sekalipun keadaan ekonomi suami berkecukupan. Sedangkan untuk istri yang berasal dari keluarga terhormat, maka ia tidak wajib melayani suami dan mengurus rumah tangga, malah suami yang diwajibkan menyewa pembantu untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga dan melayani kebutuhan sehari-harinya dan kebutuhan istri. Akan tetapi, jika kondisi ekonomi suami sedang kurang baik sehingga tidak sanggup menggaji pembantu, maka istri yang berasal dari keluarga terhormat tadi hanya wajib mengerjakan tugas dalam rumah saja [6]. Dalil yang dijadikan landasan oleh ulama Malikiyah dalam masalah kewajiban istri melayani kebutuhan suami dan mengurus rumah tangga adalah adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (‘urf).

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah,bahwasanya melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga bukan menjadi kewajiban seorang istri. Suami yang harus menyediakan sendiri kebutuhannya tanpa membebankannya kepada istri, atau mencari pembantu untuk mengerjakan tugas tersebut. Sebab akad nikah adalah akad yang menghalalkan laki-laki berjimak dengan perempuan yang dinikahinya, tidak ada kesepakatan dalam ijab kabul yang mengharuskan istri melayani kebutuhan sehari-hari suami atau mengurus rumah tangganya [7]

Hak istri terhadap suami adalah kewajiban suami yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab terhadap istrinya, dan hak suami terhadap istri adalah kewajiban istri yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab terhadap suaminya. Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam diketahui bahwa Alquran dan sunnah tidak merinci secara detil semua hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Hak istri terhadap suami yang terdapat dalam Alquran dan sunnah adalah hak mendapatkan nafkah, hak mendapat perlakuan yang baik, hak dipenuhi kebutuhan biologis, hak diperlakukan secara adil, dan hak mendapat mahar. Adapun hak suami terhadap istri yang terdapat dalam Alquran dan sunnah adalah hak ditaati, hak dipenuhi kebutuhan biologis, hak melarang istri melakukan suatu pekerjaan, istri harus menjaga diri dan harta suami, hak dihargai, dan hak memberi pelajaran atau teguran. Kewajiban utama istri terhadap suami adalah memenuhi panggilannya untuk berjimak dan tidak keluar dari rumah kecuali untuk kepentingan yang dibolehkan syariat, dan kewajiban utama suami adalah memberi nafkah serta mempergauli istri dengan baik. Para ulama mazhab fikih berbeda pandangan dalam menjelaskan hukum pelayanan istri terhadap kebutuhan sehari-hari suami dan pengurusan rumah tangga. Perbedaan pendapat tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, berpendapat istri wajib melayani kebutuhan suami dan mengurus rumah tangga, yaitu pendapat ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Kelompok kedua, menyatakan istri tidak wajib melayani kebutuhan sehari-hari suami dan mengurus rumah tangga, yaitu pendapat ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah.

 

Oleh : Husnu Amalia, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH

 

[1] Al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘ Fi Tartib al-Syara’i‘, Cet. II. Jil.V, (Beirut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 150. Jama‘ah Min ‘Ulama‘ al-Hind al-A‘lam, al-Fatawa al-Hindiyyah, Jil.

I, (Bulaq: al-Matba‘ah al-Amiriyyah, 1310 H), h. 548. Ahmad al-Dardir, al-Syarh al-Kabir ‘Ala

Mukhtasar Khalil, Jil. II, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.), h. 510-511. Ibnu al-

Qayyim, Zad al-Ma‘ad Fi Hadyi Khayr al-‘Ibad, Cet. III. Jil. V, (Beirut: Muassasah al-Risalah,

1994), h. 171. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil. II, (Cairo: al-Fath Li al-I‘lam al-‘Arabi,

t.th), h. 130.

 

[2] Al-Syirazi, al-Muhadhdhab Fi Fiqh al-Imam al-Syafi‘i, Cet. I. Jil. II, (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 482. Ibnu Qudamah, al-Mughni, Cet. III. Jil. X, (Riyadh: Dar

‘Alim al-Kutub, 1997), h. 225. Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasysyaf al-Qina‘ ‘An Matn al-Iqna‘, Jil. VII, (Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, 2003), h. 2554.

 

[3] Al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘…, Jil. V, h. 150. Jama‘ah Min ‘Ulama’ al-Hind al-A‘lam,

al-Fatawa…, Jil. I, h. 548.

 

[4] Al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘…, Jil. V, h. 150. Ibnu Battal, Syarh Sahih al-Bukhari, Jil.

VII, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th), h. 539. Setelah dilakukan penelitian, riwayat tersebut tidak ditemukan matan-nya dalam kitab-kitab hadis yang muktabar.

 

[5] Al-Kasani, Bada’i‘al-Sana’i‘…, Jil. V, h. 150, 152.

 

[6] Ahmad al-Dardir, al-Syarh al-Kabir…, Jil. II, h. 510-511.

 

[7] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Jil. X, h. 226. Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti,

Kasysyaf al-Qina‘…, Jil. VII, h. 2553.

14

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *