Masyarakat Indonesia memiliki kekayaan budaya yang besar, di mana agama dan moralitas
memiliki peran yang sangat penting. Salah satu isu yang masih terus mendapat sorotan adalah
konsumsi minuman keras atau miras. Meskipun telah diharamkan oleh agama Islam dan
dianggap sebagai tindakan yang tidak moral, namun fenomena ketidakpedulian masyarakat
terhadap keharaman miras masih dapat ditemui di berbagai lapisan masyarakat. Hal ini
menjadi perhatian bagi banyak kalangan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
konsumsi minuman keras, seperti penyalahgunaan, kekerasan domestik, dan penyalahgunaan
narkoba.
K.H. Ahmad Mustafa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, memberikan pandangannya
mengenai ketidakpedulian masyarakat akan keharaman miras. Dalam salah satu kutipannya,
Gus Mus menyatakan, “Masyarakat yang tidak peduli akan keharaman miras masih ada
karena masih rendahnya tingkat kesadaran dan pendidikan agama di masyarakat kita” (Gus
Mus, 2018). Kutipan ini menggambarkan fakta bahwa kurangnya pemahaman tentang ajaran
agama menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat
terhadap keharaman miras.
Dalam Islam, konsumsi minuman keras dianggap dosa besar. Dalam Al-Qur’an, dijelaskan
bahwa miras adalah perbuatan syaitan yang menyebabkan perselisihan dan kejahatan. Allah
SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 219, “Mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”.
Firman Allah juga ditemukan dalam Surah Al-Ma’idah ayat 90, “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Penyebab ketidakpedulian masyarakat terhadap keharaman miras bisa ditelusuri ke faktor
budaya, sosial, dan ekonomi. Salah satunya adalah budaya toleransi terhadap minuman keras
yang masih terdapat dalam beberapa komunitas masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh, di
dalam komunitas adat tertentu, masih ada kebiasaan meminum minuman keras sebagai
bagian dari tradisi atau ritual. Budaya ini menjadi faktor yang memberikan legitimasi sosial
bagi konsumsi miras, sehingga masyarakat cenderung tidak melihat konsumsi tersebut
sebagai hal yang melanggar agama.
Selain itu, faktor ekonomi juga berpengaruh pada ketidakpedulian masyarakat terhadap
keharaman miras. Di beberapa daerah di Indonesia, produksi dan penjualan minuman keras
menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat. Mereka tidak peduli dengan
keharaman miras, karena hal itu berdampak pada mata pencaharian mereka dan
keberlangsungan perekonomian wilayah mereka. Situasi ini semakin rumit dengan adanya
penetrasi perusahaan besar yang memproduksi dan memasarkan minuman keras secara
massal, sehingga konsumsi miras semakin banyak diminati oleh masyarakat awam.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap keharaman miras tidak dapat diabaikan, mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi minuman keras. Studi yang dilakukan oleh
Yayasan Penyakit Menular di Indonesia (YPMI) menunjukkan bahwa konsumsi minuman
keras memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan kasus kekerasan domestik, terutama
pada laki-laki yang mengalami penyalahgunaan alkohol. Studi ini juga menemukan bahwa
pengguna miras berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit hati, kanker, dan masalah
kesehatan mental lainnya.
Dalam hal ini, peran pemerintah sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap keharaman miras. Kampanye yang berkaitan dengan bahaya minuman keras dan
penegakan hukum yang lebih ketat harus dilakukan. Selain itu, lembaga pendidikan juga
harus memainkan peran yang lebih aktif dalam mengajarkan pemahaman agama dan
moralitas kepada siswa, sehingga mereka dapat memahami dan menghindari konsumsi
minuman keras.
Sebagai konklusi, ketidakpedulian masyarakat terhadap keharaman miras masih menjadi
masalah serius di Indonesia. Faktor-faktor seperti pendidikan agama yang rendah, budaya
toleransi terhadap minuman keras, dan motivasi ekonomi menjadi penyebab utama fenomena
ini. Dalam rangka mengatasi masalah ini, diperlukan kesadaran yang lebih tinggi dari
masyarakat serta peran aktif pemerintah dan lembaga pendidikan dalam mengajarkan
nilai-nilai agama dan moralitas. Keharaman miras harus dianggap sebagai sebuah isu krusial
yang memerlukan perhatian besar dari seluruh elemen masyarakat.
Oleh: Rifki Nurul Husain