KH. MA. Sahal Mahfudh
(Suluk Kiai Sahal)*)
Oleh : Basmah Nafisah
KH. Muhammad Ahmad Sahal atau yang akrab dengan sapaan Kiai Sahal merupakan putra dari pasangan KH. Mahfudh Salam dan Nyai Hj. Badi’ah yang lahir pada tahun 1937 di desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Apabila di runut, Kiai Sahal masih memiliki nasab dengan Syekh Ahmad Mutamakkin yang merupakan seorang Waliyullah di Kajen. Dari garis Ayah, Kiai Sahal merupakan keturunan ke-7 dari Mbah Mutamakkin. Yaitu; KH. Mahfudz Salam adalah Putra dari KH. Abdussalam bin Kiai Abdullah bin Kiai Ismail bin Kiai Bunyamin bin Kiai Hendro bin Mbah Mutamakkin. Kemudian melalui jalur Ibu, Kiai Sahal merupakan keturunan ke- 8 dari Mbah Mutamakkin. Yaitu; Nyai Hj. Badi’ah adalah putri dari Raden Nyai Hafshoh binti Kiai Ma’sum bin Kiai Sholeh bin Kiai Asnawi Sepuh (pendiri Pondok Pesantren Damaran 78 Kudus) bin Nyai Jiroh binti Nyai Alfiyah atau biasa disebut Nyai Godek binti Syekh Ahmad Mutamakkin.
Kiai Sahal kecil belum memiliki tanda-tanda bahwa beliau akan menjadi Sosok Ulama’ besar, bahkan yang tampak adalah kakaknya yang bernama Mbah Hasyim bin KH. Mahfudh salam. Kiai Sahal kecil seringkali jail sebagaimana seorang anak biasa. Sedari masih belia, kedisiplinan termasuk dalam pengajaran penting bagi keluarga beliau. Meski begitu, beliau pernah melanggar aturan mendahului makan sebelum paman-pamannya, hingga beliau terkena marah dan lari ke rumah kakek beliau – KH. Abdussalam. Karena kejadian tersebut, nenek beliau kemudian menyebut Kiai Sahal kecil dengan panggilan “Sahlun’’.
Saat umur 7 tahun Kiai Sahal telah menjadi yatim karena KH. Mahfudh meninggal dalam penjara penjajah belanda. Kemudian setahun setelahnya, (saat beliau masih usia 8 tahun) ibunda Nyai Hj. Badi’ah meninggal. Karena yatim piatu, Mbah Nawawi dan KH. Abdullah Salam lah yang mengasuh Kiai Sahal. Setelah Lulus Ibtidaiyyah beliau melanjutkan madrasah tsanawiyah di Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM) atau biasa disebut Mathole’ hingga berusia 16 tahun.
Perjalanan Intelektual Kiai Sahal
Bendo Pare Kediri (1953-1957)
Setelah tamat dari PIM beliau nyantri di Pesantren Bendo Pare Kediri pada tahun 1953-1957. Di Bendo, Beliau belajar dengan KH.Muhajir dan banyak mempelajari ilmu tasawwuf, termasuk kitab tasawuf yang beliau dalami ialah kitab Ihya’ Ulumuddin. Yang kemudian dari mempelajari kitab Ihya’, beliau menulis makalah-makalah yang corak gagasannya terinspirasi dari kitab ihya’ Ulumuddin.
Selain mempelajari ilmu-ilmu seperti dijelaskan diatas, sifat Tawadlu Kiai Sahal juga merupakan pelajaran yang beliau dapatkan dari KH.Muhajir. Salah satu contoh ketawadluan KH. Muhajir yakni ketika mendapati suatu pertanyaan tidak pernah langsung menjawab, beliau selalu mengambilkan kitab terlebih dahulu, sekalipun pertanyaan tersebut merupakan pertayaan yang mudah bagi seorang level santri.
Sarang Rembang (1957-1960)
Setelah belajar di Pesantren Bendo, Kiai Sahal melanjutkan belajar di Pesantren Sarang Rembang. Disana Kiai Sahal mempelajari ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh kepada KH. Zubair Dahlan. KH Zubair merupakan seorang ulama yang ‘alim. Berdasar cerita dari Kiai Sahal, KH. Zubair merupakan sahabat sekaligus lawan debat ayah beliau – Kiai Mahfudh. Saking alimnya KH. Mahfudh dan KH. Zubair, beliau berdua sering debat mulai dari setelah maghrib sampai menjelang subuh, meski begitu, ketawadluan beliau berdua terlihat dari saling mempersilahkan menjadi imam saat sholat berjamaah.
Kenangan di Sarang (mengaji, menulis, dan mengajar)
Proses belajar Kiai Sahal dengan KH. Zubair berlangsung secara khusus. Ketika KH. Zubair mempunyai waktu senggang, beliau memanggil Kiai Sahal untuk mengahji secara intens berdua. Pernah suatu ketika ada seorang santri sarang yang ikut Kiai Sahal mengaji, namun setelah itu dia kapok karena Kiai Sahal dengan KH. Zubair menggunakan bahasa arab dalam proses belajarnya. Selain dalam proses belajar dengan KH. Zubair, Kiai Sahal juga menulis keterangan-keterangan yang dijelaskan Kiai Zubair, kemudian kumpulan dari catatan tersebutlah yang sekarang menjadi kitab Anwarul bashoir.
Disela-sela beliau mengaji dengan KH.zubair, Kiai Sahal juga diminta mengajar kitab ghoyatul wushul oleh teman-teman beliau. Sebagai bahan mengajar, Kiai Sahal mutholaah terlebih dahulu dengan mengkaji perbandingan kitab Ushul Fiqh yang lain seperti kitab Jam’ul Jawami dan kitab Nailul Ma’mul karya Syekh Mahfudz Tremas, sehingga dari hasil mutholaah itulah beliau menulis catatan-catatan atau ta’liqat kitab ghoyatul wushul yang kemudian kita kenal dengan kitab Thoriqotul khushul.
Saat nyantri di Sarang, Kiai Sahal telah membaca karya kitab Syekh Yasin Al-Fadany, seorang ulama yang mempunyai gelar Musnid ad-dunya atau gudangnya sanad (gelar yang ditujukan untuk Ulama yang telah diakui meriwayatkan hadist lengkap dengan sanadnya). Dalam beberapa kesempatan, Kiai Sahal memberi sanggahan, komentar ataupun pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syekh Yasin dengan cara murosalah (saling surat menyurat). Hal ini berjalan setiap bulan selama kurang lebih 1 setengah tahun. Atas Alimnya Kiai Sahal, Syekh Yasin memberi sanad keilmuan yang dititipkan kepada Kiai Baidlowi saat beribadah haji. Kiai Baidlowi sempat kaget dan bertanya kepada Syekh Yasin karena Kiai Sahal yang masih seorang bocah dan masih berstatus santri telah diakui dan diterima penuh sebagai murid dari Syekh Yasin.
Bertemu Syekh Yasin Al Fadany (1962)
Pertemuan Kiai Sahal dengan Syekh Yasin terjadi pada tahun 1962 M., saat Kiai Sahal menunaikan ibadah haji. Selama kurang lebih satu bulan, Kiai Sahal belajar langsung dengan Syekh Yasin. Karena kepercayaan atas kedalaman ilmu yang dimiliki Kiai Sahal, syekh Yasin menghendaki kiai Sahal untuk duduk disampig beliau yang kemudian kiai Sahal diutus (b. Jawa._Red) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para Ulama’ disaat sowan kepada syeikh Yasin. Sebagai metode pembajaran akselerasi, Syekh Yasin hanya cukup membenarkan dengan mengatakan shoh, shoh atas jawaban Kiai Sahal.
Karena kepercayaan atas kedalaman ilmu yang dimiliki Kiai Sahal, syekh Yasin menghendaki kiai Sahal untuk duduk disampig beliau yang kemudian kiai Sahal diutus (b. Jawa._Red) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para Ulama’ disaat sowan kepada syeikh Yasin.
Pasca Nyantri
Meski telah selesai nyantri, Kiai Sahal selalu belajar dan mutholaah setiap hari. Tidak hanya membaca kitab fiqih Syafiiyyah saja, namun terdapat banyak kitab lintas madzhab yang beliau baca. Diantaranya; kitab Hasyiyah Ibnu Abidin (madzhab Hanafiyyah), kitab Mudawwanah (Madzhab Malikiyyah), kitab Almughni (kitab Hanabilah), dll. Dalam bidang politik, beliau juga mengkaji kitab-kitab siyasah seperti kitab Assiyasah Asysyar’iyyah, Al Ahkam Assulthoniyyah, dll. Selain itu Beliau juga mengkaji Kitab Sayyib Quthub golongan Ikhwanul Muslimin, Kitab Ibnu Taimiyyah. dll. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Sahal tidak fanatisme terhadap satu madzhab tertentu, beliau mengkaji perbandingan madzhab-madzhab lain dan juga mengaplikasikan Undzur Ma Qola wa La tandzur man Qola.
Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Sahal tidak fanatisme terhadap satu madzhab tertentu, beliau mengkaji perbandingan madzhab-madzhab lain dan juga mengaplikasikan Undzur Ma Qola wa La tandzur man Qola.
Selain belajar kitab-kitab berbahasa arab, Kiai Sahal juga banyak membaca buku-buku Ilmiah berbahasa Indonesia. Kiai Sahal mempelajari ilmu umum seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Ilmu filsafat, Administrasi, Ilmu Tata Negara, Ilmu Jiwa, dll. Bahkan beliau juga membaca Buku Karya Agus Salim tentang Alam Fikiran Yunani.
Dunia Pendidikan dan Politik Kiai Sahal (1960-2014)
Aktifitas Kiai Sahal dalam dunia pendidikan berlangsung mulai tahun 1960. Beliau menjadi guru di Pesantren Maslakul Huda dan Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM). Pada tahun 1963 hingga beliau wafat, beliau mendapat amanat menjadi Direktur PIM dan pengasuh pesantrennya, Maslakul Huda. Selain itu, Kiai Sahal juga merupakan dosen di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985) dan menjadi Rektor di INISNU (Institut Islam Nahdlatul Ulama) Jepara hingga beliau wafat.
Selain aktif dalam dunia pendidikan, Kiai Sahal juga seorang aktivis organisasi mulai dari tingkat ranting hingga nasional. Sejak umur 10 th, beliau telah aktif sebagai Pengurus Persatuan Islam Indonesia (PII) Margoyoso. Kemudian beliau menjadi ketua diskusi fikih Roudlotul Musyawaroh bersama Kiai-kiai dan tokoh besar. Termasuk permasalahan yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah permasalahan jual beli dengan menggunakan kaca mata dimana hasil notulasinya menjadi kitab intifakh al wadijain.
Kemudian Kiai Sahal juga pernah menjadi Katib NU Pati, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU Jawa tengah, Ketua MUI dan Rais Aam PBNU sejak 1999 hingga Wafat. Bahkan beliau juga merupakan satu-satunya orang pesantren dan tanpa gelar yang terlibat menjadi Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan (BPPN) atau yang saat ini kita kenal dengan istilah KOMNAS Pendidikan.
Cermin Kedisiplinan
Kiai Sahal merupakan sosok yang disiplin, semua waktunya terjadwal mulai dari aktivitas subuh berjamaah, kemudian mengajar kitab Ushul Fikih Luma’, sarapan pagi jam 7 bersama keluarga, Mengaji al-quran dan mutholaah, Mengatur jadwal jam tamu pagi jam 8 hingga jam 11, Sore jam 4 hingga jam-5 dan malam setelah isya sampai Isya sampai jam 9, dan lain-lain. Beliau juga selalu sholat diawal waktu, bahkan setiap menjelang subuh ada seorang santri yang disuruh untuk membangunkan Kiai Sahal jam setengah 4 pagi, pada saat itulah waktu beliau untuk tidak pernah meninggalkan ibadah qiyamullail.
Selain itu, kedisplinan kiai sahal selalu dicerminkan kepada santrinya, Pernah suatu ketika beliau hendak mengajar kitab setelah wiridan subuh, belum ada satupun seorang santri yang datang terlebih dahulu ditempat ngaji, hingga kemudian beliau marah dan tidak mau mengajar. Kejadian lain juga saat Kiai Sahal diundang pada suatu forum dan diberi waktu untuk presentasi, sebelum waktu selesai beliau segera mengakhiri pembicaraan agar tidak melebihi jadwal yang diberikan. Selain itu juga saat hendak bepergian, beliau rela menunggu dibandara 1 jam sebelum penerbangan pesawat. Hal ini menunjukkan bahwa kiai sahal selalu tepat waktu dan sangat menghargai waktu.
Hikmah dari Kisah Kiai Sahal yang tersimpan
Tawadlu’ dan Zuhudnya Kiai Sahal
Kiai Sahal juga seorang yang tawadlu’. Pernah suatu ketika saat kiai sahal masih menjadi guru baru di PIM, Kiai Abdul Hadi – termasuk guru Ushul Fiqh Kiai Sahal semasa di PIM – mendatagi meja beliau yang notabene terdapat beberapa guru senior disana, kemudian Kiai Abdul Hadi bertanya tentang persoalan Ushul fiqh kepada beliau. Seketika itu wajah Kiai Sahal memerah karena merasa tidak pantas menjawab, namun akhirnya Kiai Sahal terpaksa menjawab karena sudah telanjur didatangi oleh Kiai Abdul Hadi. Kendati demikian, setelah pulang mengajar sekolah, Kiai Sahal segera sowan kepada Kiai Abdul Hadi sebagai bentuk ta’dzim pengagungan beliau kepada gurunya. Kiai Sahal meminta maaf memohon kepada Kiai Abdul Hadi untuk tidak mengulanginya lagi. Namun Kiai Abdul Hadi juga menyangkal untuk tidak perlu mempermasalahkan. Hal ini sebagai bentuk pemberian contoh Kiai Abdul Hadi agar para guru tidak merasa malu bertanya kepada guru yang lain, meski terhadap yang lebih muda.
Ketawadluan Kiai Sahal juga tampak pada saat pemilihan Rois Aam PBNU d Cipasung pada 1994 M.. Hampir semua menginginkan Kiai Sahal sebagai Rois Aam karena mengaggap kualifikasi yang pantas hanya dinisbatkan kepada Kiai Sahal. Namun karena pada saat itu masih ada Kiai yang lebih sepuh bernama Kiai Ilyas Ruhiat, Kiai Sahal dengan rendah hati menyatakan mundur dan tidak berkenan dicalonkan menjadi Rois Aam.
Meski telah menjadi seorang tokoh besar, Kiai Sahal merupakan Ulama yang Zuhud. Suatu hari beliau pernah diundang presiden SBY pada suatu acara, sebagai Rois Aam beliau banyak ditawari kiai-kiai lain untuk naik dimobil mereka seperti mobil Alphard, namun beliau menolak dan memilih mengenakan mobil kijang yang beliau punya. Kiai Sahal juga pernah menolak fee 25 jt sebagai ganti inisasi beliau mendirikan kantor MUI disebelah utara Masjid Baiturrohman Simpang Lima. Bahkan suatu ketika pada tahun 2008, ada tamu dari Skretariat Negara yang datang kemudian meninggalkan hadiah voucher 16 lembar kepada Kiai Sahal. Masing-masing lembar yang berisi 25 jt tersebut jika ditotal berjumlah 400 juta. Namun ketika Pak Dliya’ (santri ndalem) menghaturkan voucher tersebut, Kiai Sahal tidak menyentuh bahkan tidak melirik sama sekali. Kiai sahal Sahal menyuruh untuk menyerahkan dana tersebut kepada Pesantren dan STAIMAFA (Sekolah Tinggi Perguruan Islam Matholi’ul Falah) – sekarang IPMAFA. Selain itu, masih banyak sekali cerita-cerita dimana jika seharusnya dana tersebut berpeluang masuk kedalam kantong pribadi Kiai Sahal, namun semua itu beliau serahkan untuk pembangunan lembaga yang beliau dirikan seperti pesantren dan kampus IPMAFA.
Baju Batik dan Kuningisasi
Pada musim kampanye, kiai Sahal tampak sebagai sosok yang tegas terhadap kebenaran dan selalu memposisikan diri ditengah. Beliau tidak pernah memihak golongan satu atau yang lain. Pada tahun 1997 M. pernah ada apel disimpang lima. Karena tahu bahwa ada unsur kuningisasi, Kiai Sahal menggerutu dan pergi ke losmen/penginapan yang paling pelosok. Meski begitu, tentara intelijen presiden Soeharto dapat menemukan Kiai sahal. Dia memohon-memohon Kiai Sahal untuk dapat mengahdiri undangan. Karena tidak tega, Kiai Sahal bersedia dengan menyertakan tiga syarat; pertama Kiai Sahal meminta untuk tidak mengenakan jas kuning, kedua Kiai Sahal mengajak satu orang lain untuk menghadiri bersama beliau, dan ketiga Kiai Sahal meminta berdiri didepan saat berada di lokasi. Akhirnya tentara tersebut menyetujui kemudian Kiai Sahal menelpon untuk mengajak kiai Amin Soleh (pendiri pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri) serta mengenakan pakaian batik dalam acara tersebut. Hal ini menunjukkan atas ketegasan kiai sahal dan sebagai upaya beliau dalam mempresentasikan diri sebagai sosok Kiai yang seharusnya berada didepan serta tidak boleh berada dibawah presiden secara struktural.
Kiai Sahal; Ilmu dan Amal
Kiai Sahal juga merupakan sosok yang sangat sayang dan perhatian kepada santri-santri , dan orang terdekat beliau. Pernah suatu ketika beliau mengajak santri ndalem untuk jalan-jalan di gemerlapnya kota. Saat sampai di hotel, Kiai Sahal mengalami sakit perut dan diharuskan untuk kembali pulang. Namun beliau enggan pulang terlebih dahulu dan masih menawarkan kepada santri ndalem untuk belanja dan jalan-jalan terlebih dahulu. Atas Keluhuran kiai sahal, para santri tidak pernah merasa isti’bad (menghamba) kepada Kiai Sahal, para santri patuh terhadap Kiai Sahal berdasarkan atas kesukarelaan dan bentuk sayang seorang santri kepada Kiainya.
Atas Keluhuran kiai sahal, para santri tidak pernah merasa isti’bad (menghamba) kepada Kiai Sahal, para santri patuh terhadap Kiai Sahal berdasarkan atas kesukarelaan dan bentuk sayang seorang santri kepada Kiainya.
Selain mendirikan pesantren dan kampus, Kiai Sahal mendirikan BPPM (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat), Lembaga Koperasi, Bank, Rumah Sakit, dll.. serta mendukung program-program pemerintah seperti kependudukan serta mengajukan ide Lokalisasi Prostitusi. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Sahal adalah Ilmu dan Amal. Kiai sahal merupakan sosok pejuang yang peduli dengan masyarakat, tidak hanya berbicara teori namun juga pada praktek.
Oleh karena itu, Jangan hanya mengingat Kiai Sahal wafat, tapi ingatlah bagaimana Kiai Sahal hidup. Meski terkadang, Kiai terkesan keras dan kaku, hal tersebut telah ada pertimbangannya yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada sisi lemah pada diri Kiai Sahal, sisi lemah tersebut bersifat manusiawi dan tidak menjadi aib atau memberi pengaruh apapun. Seperti yang dikatakan oleh KH. Nafi’ Abdillah ‘’Lihatlah Kiai Sahal, semua tindakan beliau Mu’allaq Bi Al-Syariah’’.
Seperti yang dikatakan oleh KH. Nafi’ Abdillah ‘’Lihatlah Kiai Sahal, semua tindakan beliau Mu’allaq Bi Al-Syariah’’.
*) Disampaikan saat seminar suluk Kiai Sahal dengan narasumber Bapak Wahrodli dan Bapak Nidzomuddin serta didampingi moderator Bapak Ahmad Mutamakkin. Pada Selasa, 16 April 2018. Dan dipublikasikan pertama kali di Buletin Mahally kolom Tokoh.