Konsep Toleransi Antar Umat Beragama dalam Perspektif Islam
Oleh: Dama Adawiyan Ilyasi
Isu toleransi antar umat beragama di Indonesia merupakan salah satu isu keagamaan yang sering memunculkan perdebatan di kalangan publik. Beberapa waktu yang lalu, isu ini sempat muncul ke publik dan menimbulkan perdebatan sengit ketika seorang mubaligh menyampaikan pidato di dalam sebuah gereja di daerah Jakarta. Kasus inilah yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi kalangan yang setuju, masuknya mubaligh ke gereja bukanlah suatu hal yang salah, karena itu merupakan wujud toleransi dalam beragama. Sedangkan bagi kalangan yang kontra, masuknya mubaligh ke gereja dianggap sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari syariat, karena hal itu merupakan bentuk kerelaan (ridha) terhadap kekufuran. Sampai saat ini masalah seperti demikian nampaknya masih menyisakan tanda tanya besar di kalangan awam, sebenarnya bagaimana konsep toleransi antar umat beragama yang diajarkan oleh Islam, dalam wujud seperti apa ajaran toleransi diimplementasikan. Oleh karenanya, dalam tulisan ini, akan dipaparkan bagaimana konsep toleransi yang diatur oleh syariat Islam.
Sebelum lebih jauh membahas perihal konsep toleransi dalam Islam, ada baiknya untuk dicantumkan terlebih dahulu pengertian toleransi itu sendiri. Kata toleransi adalah bentuk kata benda (nomina), sedangkan kata sifatnya ialah toleran. Dalam KBBI, kata toleran memiliki arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kata toleransi ini diambil dari bahasa latin “tolerare” yang artinya dengan sabar membiarkan sesuatu. Dalam kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, kata toleransi berasal dari kata سمح yang mempunyai arti mengizinkan, membolehkan, membiarkan, memberi hak, menyetujui. Jadi, pengertian toleransi secara luas adalah sifat/sikap manusia yang menghargai/menghormati pendirian dan pilihan orang lain yang berbeda dengan pendiriannya.
Kembali ke inti pembahasan, di agama Islam terdapat ketentuan khusus terkait sikap toleransi antar umat beragama, konsep toleransi antar umat beragama telah termaktub di dalam wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan satu-persatu konsep-konsep toleransi dalam Islam beserta dalilnya dari nash Al-qur’an dan sunnah beserta penjelasan dari para ulama.
1. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk agama Islam, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
ﵟلَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦ﵞ [البقرة: 256]
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Sebab turunnya ayat ini—sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Thabari dari sahabat Ibnu Mas’ud—adalah saat itu terdapat salah seorang sahabat dari kaum anshar yang bernama Hushain, ia memiliki dua anak beragama nasrani. Pada suatu ketika, ia memaksa kedua anaknya untuk masuk Islam, akan tetapi kedua anaknya tidak berkenan. Akhirnya terjadi perdebatan di antara mereka bertiga hingga akhirnya diadukan kepada Rasulullah Saw. dan kemudian turunlah ayat ini yang menegaskan tidak ada unsur keterpaksaan dalam memeluk agama Islam, karena bukti dan dalil kebenaran agama Islam sudah sangat jelas dan tidak butuh pemaksaan lagi.
2. Dilarang menghina agama/kepercayaan lain (Q.S. al-An’am ayat 108)
ﵟوَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٠٨ﵞ [الأنعام: 108]
Artinya: “”Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 108)
Dalam ayat ini, Allah Swt. mencegah umat Islam dari mencela sesembahan nonmuslim. Alasannya karena, jika umat Islam mencela sesembahan nonmuslim, maka nonmuslim tersebut akan melakukan balasan dengan menghina Allah Swt. secara zalim dan melampaui batas, padahal Allah tersucikan dari hal-hal yang mereka tuduhkan kepada-Nya. Ayat ini mengandung hikmah yang dalam, di mana sebuah kemaslahatan harus ditinggalkan ketika ia beresiko menimbulkan mafsadah yang lebih besar. sebagaimana bunyi kaidah:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghina sesembahan nonmuslim bisa mendatangkan maslahat, karena hal itu merupakan bentuk penghinaan terhadap kekufuran. Akan tetapi, menghina sesembahan nonmuslim juga bisa mendatangkan mafsadah, bahkan lebih besar jika dibandingkan maslahat yang ada, yaitu balasan nonmuslim dengan menghina Allah Swt.
3. Tidak ikut campur akidah dan ibadah agama lain (Q.S. al-Kafirun 1-6)
ﵟقُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦ﵞ
Artinya: “”Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir!(1), Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah(2), dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah(3), dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah(4), dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah(5), Untukmu agamamu, dan untukku agamaku(6).”
Ibnu Abbas menceritakan sebab turunnya ayat ini, bahwa Nabi pernah didatangi oleh beberapa orang kafir Quraisy, (mereka adalah Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin Abdul Muthallib, Umayyah bin Khalaf). Mereka mengajak Nabi untuk bersekutu dalam urusan peribadatan. Mereka bersedia menyembah Allah Swt. dengan catatan jika Nabi juga bersedia menyembah sesembahan mereka, lantas turunlah surat ini yang secara tegas menolak tawaran dari kafir Quraisy tersebut.
4. Boleh melakukan transaksi/bekerjasama dengan orang-orang non-muslim asalkan tidak dalam kemaksiatan (Q.S. al-Mumtahanah ayat 8-9).
ﵟلَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨ إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٩ﵞ [الممتحنة: 8-9]
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (8). Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim(9).”
Kedua ayat di atas menerangkan bagaimana sikap yang harus dipegang oleh seorang muslim terhadap keberadaan orang kafir. Pertama, sikap musālamah (berdamai). Hal ini ditujukan kepada kafir yang tidak memerangi umat Islam dan tidak mengusir kaum muslimin dari tanah mereka. Bagi kaum muslim diperkenankan untuk berbuat baik kepada mereka, seperti saling memberi, silaturahmi dan sebagainya. Kedua, sikap mu’ādah (bermusuhan). Sikap ini ditujukan bagi kafir yang memerangi umat Islam, kaum muslimin diperbolehkan, bahkan terkadang diwajibkan untuk memerangi mereka karena kezaliman yang telah mereka lakukan terhadap umat Islam.
Berdasarkan keterangan yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan bahwa agama Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat beragama, karena toleransi antar umat beragama merupakan hal yang baik, untuk menciptakan sebuah kemaslahatan dalam urusan dunia. Akan tetapi jangan sampai penerapan toleransi antar umat beragama dilakukan melewati batas-batas yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Jangan sampai atas nama toleransi seseorang mengatakan semua agama sama, atau beribadah dengan berbagai macam ajaran agama. Karena inti dari toleransi adalah sebuah sikap menenggang rasa terhadap kepercayan orang lain, tanpa intervensi dan ikut campur terhadap kepercayaan mereka.
Referensi
[1] Ibnu Jarir at-Thabari, Jāmi’ al-bayān ‘an ta’wīli āyi al-qur’ān, Mekkah, Daar at-Tarbiyyah wa At-turats, cet. tanpa tahun, Vol. 5, Hal. 409.
[2] Wahbah az-Zuhaily, at-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Daar al-Fikr, 1991. Vol.7, Hal. 327.
[3] Muhammad bin Ahmad al-Qurthubiy, al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet. 3 1964. Vol. 20, Hal. 225.
[4] Wahbah az-Zuhaily, at-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Daar al-Fikr, 1991. Vol.28, Hal. 137.