KREATIF, INOVATIF, dan DISTINGTIF (Telaah makna Enterpreneurship) oleh: Dr. KH. Ahmad Dimyati, M.Ag

Kolom Santri1626 Dilihat

CATATAN KECIL TENTANG ENTERPRENEURSHIP DI MA’HAD ALY 

(MA’HAD ALY MASLAKUL HUDA FI USHUL AL- FIQH)

Oleh : Dr. KH. Ahmad Dimyati, M.Ag

Assalamu’alaikum.,

Ini sekedar refleksi obrolan kecil dengan beberapa rekan santri tentang “euforia” entrepreneurship (maaf istilahnya agak lebai, euforia). Berawal dari dua fakta, bahwa; Pertama, ada semacam semangat baru di kalangan santri MA ketika mulai mengenal entrepreneurship, baik melalui perkuliahan maupun beberapa pelatihan yang mereka ikuti akhir-akhir ini. Maklum setiap hal baru memang selalu lebih menarik. Kedua, selain semangat ternyata ada keresahan pada sebagian santri, sebagaimana tersisip dalam pertanyaan; “bagaimana dengan tujuan utama MA Maslakul Huda yang berorientasi pada penyiapan kader ulama ushul fiqh?”

Santai dulu, jangan buru-buru disimpulkan.

Di sini saya melihat dua poin penting juga, pertama; minimnya pemahaman sebagian santri tentang apa itu entrepreneurship. Sepertinya entrepreneurship mengalami reduksi makna, sehingga dipahami sebagai kegiatan “monetasi” (bagaimana menjadikan produk bernilai uang). Lebih parah lagi jika entrepreneruhsip bermuara pada cara menjadi pengusaha. Waduh, kalau sudah begini jian sungguh sesat dan menyesatkan. Tapi tidak heran juga kenapa muncul pemahaman seperti ini, sebab kemunculannya juga tidak jauh-jauh dari gagasan para ekonom dan pelaku usaha. Schumpeter misalnya memaknai entrepreneurship sebagai ide kreatif dan inovatif untuk meraih peluang ekonomi. Sayangnya indikatornya dibatasi pada kemampuan menghadirkan produk barang/ jasa yang baru, manajemen yang baru, serta memanfaatkan bahan baku alternatif.

Tapi ya maklum, wong dia ekonom kelas wahid. Sebut lagi nama Ciputra, pasti ketika berbicara entrepreneurhsip tidak jauh dari meng-create produk secara kreatif dan inovatif. Dua kata kunci ini yang kemudian diyakini sebagai inti etrepreneurhship. Kalau saya menambahkan satu key word lagi, distinctive (harus ada keunikannya, beda dengan yang lain). Tetapi ada yang lebih parah lagi, yaitu pengindonesiaan istilah entrepreneurship menjadi kewirausahaan. Padahal istilah tersebut dari bahasa Perancis “entreprende” lalu mengalami terserap ke dalam bahas inggris “entreprise”. Kata pertama memiliki arti “memulai” atau “berusaha melakukan”. Sedangkan arti istilah kedua agak menyimpang karena dipahami sebagai “perusahaan” atau “kegiatan memulai usaha”. Sepertinya istilah serapan dalam bahasa Inggris inilah yang jamak digunakan dan sama sekali terputus dari makna awal. Yo wis ben lah.

Tapi saya akan coba menarik kembali pengertian entrepreneurship pada akar katanya secara serampangan, sehingga entrepreneurship saya definisikan sebagai “Cara berfikir yang kreatif, inovatif dan distingtif”. Sudah begitu saja, tidak perlu dihubungkan dengan ekonomi, monetasi atau variabel lain. Mengapa saya memilih “cara berfikir” (sebagai peyerapan makna dari spirit)? Saya teringat pada apa yang dilakukan Weber pada saat menginterpretasikan ajaran “Calvinisme” (salah satu sekte Kristen Protestan) menjadi “spirit of capitalism” dengan anak kandungnya sistem ekonomi kapitalis yang saat ini menguasai dunia. Spirit (jangan dimaknai semangat ya, bisa berbelok makna lagi) para penganut Calvinism yang cenderung asketis tetapi memiliki orientasi pada tujuan menjadi yang terbaik pada gilirannya melahirkan dalil “Kebahagiaan di akhirat ditentukan oleh kebahagiaan di dunia”. Jika kemudian kebahagiaan di dunia dibatasi dengan materi itu ya salah para Weber dan penerus kapitalisme. Tetapi sekali lagi, intinya entrepreneurship adalah sebuah ide, sebuah cara berfikir, pandangan dunia (worldview, welstanchaung) dan apalagi lah yang seistilah itu dengan 3 ciri tadi; kreatif, inovatif dan distingtif. Jika demikian, lanjut pada poin kedua;

Kedua; berkembangnya cara pandang dikotokik dan cenderung mengkontraskan entrepreneurship dengan tujuan menyiapkan kader ulama ushul fiqh. Saya sampaikan: “mas, mbak, kalau entrepreneurhsip njenengan artikan sebagai jualan, jadi pengusaha, cari duit, ya pasti akan tubrukan, bukan cuma tabrakan. Bagaimana njenengan yang dididik menjadi kader ulama’ ushul fiqh kok tiba-tiba bercita-cita jadi pengusaha? Apakah tidak boleh, ya boleh saja. Tetapi bukan itu yang ingin diraih dari materi atau pelatihan entrepreneurhsip. Kalau itu yang dimaksud, njenengan pasti lupa muthala’ah al-Mustashfa, asybah wa an-nadha’ir, dan thariqah al-husul karena sibuk jualan online, bikin warung, atau buka jasa ojek online khusus untuk santri.

Jadi bagaimana? Sekali lagi mari maknai entrepreneurship seperti definisi saya tadi (maksa dikit he he), supaya tidak ada yang perlu dikontraskan dengan tujuan menyiapkan kader ulama. Ma’had Aly tentu tidak ingin kuwalat dengan meletakkan standar lulusan menghadirkan mbah sahal-mbah sahal  baru. Itu ngoyoworo. Tapi ulama yang dikehendaki adalah yang sesuai konteks 5-10 tahun ke depan, ketika panjenengan semua pulang dan berkirah di masyarakat. Konteks perubahan waktu, tempat, budaya, bahkan kemajuan teknologi (saya sebut spesifik meskipun menurut Soerjono Soekanto bagian dari unsur budaya) membutuhkan ulama ushul fiqh dalam sosok yang baru. Kalau spirit entrepreneurhsip dimasukkan sebagai kompetensi tambahan, itu artinya panjenengan diharapkan menjadi ulama yang pinter (minimal seperti cak Moqsith Ghazali lah, tidak perlu makasa jadi Imam Ghazali), tetapi ditambah kemampuan berfikir yang kreatif, inovatif dan distingtif itu tadi.

Konkretnya apa yang bisa dilakukan? Cobalah lihat sekarang saja, jangan terlalu jauh ke depan bisa blur nanti; bahwa njenengan itu hidup dalam generasi yang melek media. Fenomena nomophobia, figital, gen Z (buka google, cari artinya kalau belum tahu) dan lain-lain mestinya menjadi “ladang amal”   (meminjam istilah Aa Gym) bagi ulama ushul fiqh di masa depan. Kalau dalam era sekarang njenengan ngajar ushul fiqh masih dengan cara mbalah, baca kitab kuning, sorogan, tasmi’ …. yo jangan harap bisa diikuti orang banyak. Paling santri-santri salaf yang masih dikerangkeng di pesantren saja yang mau ikut. Apakah tidak terfikirkan bagaimana mengalih mediakan materi ushul fiqh secara audio visual. Apakah tidak terbayangkan panjenengan membuat aplikasi ushul fiqh berbasis android? Apakah mustahil panjenengan menuangkan naskah Thariqah al-husul secara digital, yang ketika diklik berubah warna hijau, menunjukkan posisi sebagai mubtada’ lalu keluar makna gandul “utawi” dan terjemahannya ke dalam 10 bahasa internasional. Kalau itu bisa dilakukan, panjenengan keren. Ulama ushul fiqh seperti ini yang diharapkan menghabisi Khalid Basalamah dan para pemujanya.

Hemm…. ya wis lah. Selamat berwirausaha, eh.. ber entrepreneurship wahai calon ulama ushul fiqh”

Wassalamu’alaikum, Didim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *