Kiai Najib dan Ki Rendra Oleh: Muhammad Sholihuddin

Cerpen, Kolom Santri976 Dilihat

Kiai Najib dan Ki Rendra

Oleh: Muhammad sholihuddin

Pokok e, kamu, nurut saja sama kiai ya, Le!”. Kata itu masih tercatat rapi dikepalaku, kata yang kakek camkan di kepala ini yang ia pesankan sebelum keberangkatanku di pesantren ini, kata yang pasrah,seakan menjelma selembar sajadah di hamparan hutan rindang kehidupan. Namun kini, sajadah itu perlahan lenyap, masih layakkah kugunakan kata itu kali ini?.

“Mas Maryanto, sampean dipanggil Kiai!”, teriak seorang santri, aku pun langsung berlari menuju ndalem kiai. Tepat sebelum senja habis ditelan telaga jingga, kulihat burung alap-alap terming melintas. Ia berkaok panjang seakan ingin menyampaikan rahasia melalui caranya sendiri, hingga burung itu hinggap di ranting pohon menatap kosong pada kepergianku menuju ndalem kiai.

#

Sesampai di ndalem kiai, seketika kutundukkan kepalaku dan tubuhku sepertihalnya menghadap sang raja, siapa yang tak tunduk pada kiai satu ini, ia hanya mengenakan pakaian sederhana dan berpeci hitam, konon peci ini diberikan oleh Nabi khidlir.

Diceritakan, Kiai Najib selalu istiqomah berkeliling desa jalan kaki, mengamati apa saja tentang kehidupan yang berlangsung di desa. Dan pada saat genap 40 hari Kiai Najib di temui sosok pemuda berpakaian bersih serba hijau, belum sempat Kiai Najib bertanya tentang siapa ia, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan menuju langit, terlihat segaris hitam yang berkilat jatuh tepat di tangan pemuda itu, peci hitam itu diberikan kepada Kiai Najib,
“Pakailah peci hitam itu”. Ucap pemuda, peci itupun dikenakan Kiai Najib.
Sebelum akhirnya menghilang, pemuda itu sempat memperkenalkan dirinya sebagai Khidlir.

Sering beberapa orang desa datang malam-malam ke ndalem Kiai Najib, untuk meminta doa darinya untuk kelancaran urusan atau untuk melegakan duka yang sedang dihadapinya, dan setelah didoakan, Kiai Najib mengusap wajah mereka dengan peci hitam itu, bahkan ketika mereka betul-betul tak kuasa membendung kesedihan, peci hitam itulah yang mengusap airmata mereka. Dan warga desa menyebutnya peci hitam malam, karena seakan-akan segala keindahan malam terserap dan berpendaran di peci hitam itu, peci itu juga berhasil melenyapkan masalah dan kesedihan dalam warna hitamnya, serta berhasil menyinari kabut duka yang menyelimuti hati mereka.

Kini aku bread dihadapannya. Tak ada nyali kupandang wajahnya sekalipun,
“Bagaimana perihal persiapan acara hajatan besok, Nak?”. Tanya Kiai Najib padaku tentang persiapan hajatan yang akan dilaksanakan tiga hari kedepan,
“Insyaallah sudah semua kiwi”. Jawabku. Kiai pun tersenyum.

#

Malam ini entah kenapa rembulan terasa gamäng, hanya ada beberapa awan saga di langit yang bergerak perlahan menutupi sebagian rembulan yang menambah redup suasana, terdengar suara kepak sayap burung yang tak terlihat wujudnya ditelan bayangan, malam ini tak cocok bila kau gunakan untuk mengutarakan kesepian atau sekedar merayakan kesunyian bersama rembulan yang bagai lampu pijar warung remang-remang. Selesai mengikuti pengajian kitab Hidayatul Adzkiyak dengan Kiai Najib aku langsung kembali menuju kamar, tak seperti biasanya malam ini begitu mudah diriku diserang kantuk, dan akhirnya akupun tertidur.

“Tolong beritahu sahabatku, Najib, supaya acaranya dibatalkan saja”
“Baik, Kek”. Jawabku. Dan kakekku pun menghilang luntur seakan meleleh bersama ruang dan waktu, akupun terbangun dari mimpi aneh ini.
Pagi harinya, kala Kiai Najib masih bersantai di depan ndalem menikmati hangatnya pancaran matahari, aku menemuinya dengan hati yang masih mencari makna tentang mimpi tadi malam. Seperti biasa kiai melemparkan senyum padaku, begitulah caranya mewarnai awal hari kami, para santrinya.

Tampa pertimbangan, langsung saja kukatakan pada beliau supaya acara hajatan dibatalkan saja. Lalu, kiai bertanya mengapa demikian, tentu saja terdengar konyol bila kujawab bahwa aku ikut saja pada yang disampaikan kakek yang menemui cucunya, yaitu aku, Maryanto, di alam mimpi. Lantas aku hanya diam saja ketika beliau mengulangi lagi pertanyaan itu, mengapa?. Kiai tersenyum dan berkata padaku untuk kembali ke asrama saja karena sebentar lagi pengajian rutin akan segera dimulai.

“Bilang saja kepadanya ini pesan dari sahabatnya yang juga kakekmu sendiri, supaya membatalkan acaranya”. Kata kakekku seakan menegaskan perkataannya di mimpi malam lalu.
Aku hanya tertunduk dan mengangguk saja meski hati masih diliputi kabut tanya. Dan segalanya mendadak putih, pandanganku pun buram. Kubuka mataku, mimpi itu lagi, belum lagi maksud mimpi malam lalu terungkap mengapa harus ditegaskan lagi dengan mimpi malam ini.

Di pagi dan waktu yang sama seperti kemarin, aku menghadap kiai dan mengatakan kedua kalinya untuk sebaiknya kiai membatalkan saja acara hajatan itu. Dan laga, kiai bertanya mengapa, tapi kali ini senyuman di wajah yang meneduhkan itu sedikit turun, pertanda terdapat sedikit kecewa, kuberanikan menjawab
“Kakek yang bilang begitu, kiai, tadi malam di alam mimpi”.
Kiai terdiam sejenak dan berkata, “Ah, sudahlah, lagipula itu cuma mimpi kok, ndak papa”. Lalu, akupun pamit undur diri kembali ke asrama.

“Bilang padanya, cucuku, supaya acaranya dibatalkan saja, bilang sekali lagi, ini perkataan sahabatmu, seseorang yang menyayangimu”. Kata kakek dengan wajah yang tegas layaknya raja memberi mandat.
“Tapi kenapa, kek?” tanyaku, aku merasa lega dalam mimpi kali ini aku sempat bertanya.
“Karena, kalo dihitung tidak sesuai dengan hitungan jawa!, hormati budaya nenek moyang!”. Jawab kakek dengan wajah yang tak kalas tegas.

Aku merasa bersalah telah menanyakan itu, tapi mau bagaimana lagi. Lalu kakek mendekatiku dan memelukku, seakan diriku kembali ditimang-timangnya. Kubuka mata dan tersadar. Ah, mimpi ini untuk ketiga kalinya.
Dan lagi, di waktu yang sama, di pagi juga tempat yang sama aku menemui beliau, ada satu hal yang membuatku selalu senang menemuinya apapun keadaan, beliau, kiaiku selalu mengawali pertemuan dengan senyuman. Dengan tenang aku mengutarakan untuk ketiga kalinya supaya kiai membatalkan acara hajatan itu, tapi kali ini kuutarakan bahwa dalam mimpi itu, kakek berkata bahwa pembatalan tersebut berdasar pada ketidak sesuaian dengan hitungan jawa.

Kiai tersenyum sembari terpejam menikmati setiap kehangatan pancaran matahari yang ia maknai sebagai anugrah ilahi, lalu kiai berkata,
“Sahabatku, Ki Rendra, apa kabar ia sekarang? semoga engkau baik-baik saja”.
Aku masih tertunduk didepan kiai,
“Masih ingat betul aku, awal bertemu denganmu. Kala itu awal mula aku masuk di desa ini, kutemui berbagai kemaksiatan yang marak di mana-mana, desa yang asri ini, sungguh malang ketika harus dipenuhi dengan hal-hal yang tak diinginkan sang pencipta desa, lalu kubangun musholla sederhana awal mula pesantren ini”.
Aku menyimak saja seakan tak ingin satu katapun lari dari kepala.

Kiai melanjutkan ceritanya, “Tak mudah bagiku mendirikan musholla, banyak perlawan dari warga, entah fisik bahkan santet pun dilayangkan oleh mereka. Sampai pada suatu hari, engkau, Ki Rendra, yang terkenal sakti mandraguna di desa ini datang kepadaku dengan membawa macan, kau berkata bahwa aku telah menganggu ketentraman desa, tapi aku tahu dari sorot matamu itu terpancar bahwa engkau tak ingin mengotori ilmu kanuraganmu dengan segaris memar pun, tapi bila ada yang menganggu ketentraman desa kau pun terpaksa melanggarnya. Sahabatku, aku sudah tahu kala itu kau adalah korban hasutan warga desa yang tak berhasil menaklukanku. Maka ku ajak ia masuk rumah dan kuberitahu ia supaya macan itu di tinggal saja di kandang kambing, dan kita pun bercakap-cakap.

Percakapan kami terhenti kala terdengar auman panjang, ternyata macan yang kakekmu bawa telah mati, dan terlihat kambingku bersimpah darah, lalu kakekmu pun meminta maaf padaku dan ia berkata,
“Duhai pendatang, karena sebentar lagi cucuku akan lahir, lalu akan ku suruh ia belajar padamu”. Lalu aku berkata padanya bahwa syarat belajar denganku adalah masuk agama Islam, dan kakekmu yang beragama Kristen itu tak keberatan.

“Masihkah ia beragama Kristen, nak?”. kiai melontarkan pertanyaan padaku diakhir ceritanya.
“Mash, kiai”. Jawabku seketika.
“Semoga saja kelak ia diberi hidayah oleh Gusti Allah”. Aku mengamini.

Kiai meneruskan perkataannya, “Sudahlah kita serahkan saja semua ini pada Gusti Allah, masalah ketidaksesuaian dengan perhitungan jawa, bismillah”. Akupun pamit undur diri.

Malam kali ini telah berbeda, bintang-bintang mulai berkerlipan, tak terlihat adanya awan seakan tak ingin mengotori kegelapan yang bersih malam ini, namun sayang sang rembulan tetap terlihat gamang. Belum lagi kurebahkan kepala ini suara ketok pintu terdengar di kamarku, lantas kubuka pintu kamar, terlihat Sarwo, salah satu santri ndalem, ia berkata dengan wajah gugup bahwa aku telah ditunggu Kiai Najib di ndalem. kukenakan peci dan langsung menuju ndalem. Betapa terkejutnya diriku menemui ternyata kakekku, Ki Rendra, juga ada disini.

“Sudah kukatakan padamu, sebaiknya kau batalkan acaramu, sudah kucoba menghitung-hitungnya tapi tidak sesuai dengan hitungan jawa”. Ucap kakek agak meninggikan suara kepada Kiai Najib.

“Sudahlah, selaku hamba aku hanya bisa ikhtiyar selebihnya tawakkal pada-NYA, bismillah”. Jawab Kiai Najib.

“Kau bisa celaka Najib, sahabatku”.
Dengan kedatanganku percakapan pun terhenti dan kakek pun pamit undur diri, kiai memberi isyarat agar aku mengantarkannya sampai ke gerbang pesantren.

Sesampainya di gerbang pesantren, tiba-tiba kakek menangis lalu memelukku erat,
Pokok e, kamu nurut saja sama kyai ya, Le”. Ucap kakek tersedu-sedu. Kata-kata itu lagi, akhirnya kutemukan lagi sajadah tempatku pasrah yang dulu pernah lenyap. Sebelum berpisah kakek sempat mendoakan sahabatnya itu supaya segalanya baik-baik saja.

#

Matahari begitu ceria pagi ini, siul burung saling bersahutan dengan suara tabuhan rebana seakan perpaduan simponi manusia dan alam, acara hajatan kali ini berlangsung meriah, Kiai pun hadir memimpin serangkaian acara dengan penuh khidmat, di pagi ini berusaha kutampik segala sisa kecemasan tadi malam namun kecemasan serupa hujan itu masih menyisakan genangan di dalam hatiku, sebisa mungkin kuobati dengan lantunan sholawat dan zikir acara hajatan yang begitu meriah pagi ini. Hatiku tak henti-hentinya menggumamkan doa kebahagiaan serta keselamatan bagi kiaiku tercinta.

Setelah sekian lama, akhirnya rembulan begitu terang nampak malam ini, bintang bergemerlipan serentak, suara dan kepak burung hantu saling bersahutan seakan ingin menyisakan kebahagiaan pagi tadi hingga pagi nanti. Kutatapi wajah rembulan yang keperakan itu berharap bisa kutitipkan kecemasanku terhadap perkataan kakek kala malam itu.
Tok,Tok,Tok. Suara pintu dengan ritme yang terkesan gugup. Cepat-cepat kabuki pintu, terlihat Sarwo tak kuasa menahan isak, lantas kutanya ada apa?.

“Kiai Najib, wafat”. Innalillahi.

Setelah pemakaman usai, para santri dipulangkan ke rumah masing-masing terlebih dahulu. Dokter berkata bahwa kiai meninggal akibat serangan jantung, setidaknya hal itu masuk akal dibandingkan mempercayai akibat dari perhitungan jawa yang disampaikan kakek kala itu.
Akupun pulang ke rumah, segera kutemui kakek, kupeluk erat ia. Kami berdua tak sanggup menahan derai airmata. “Iya, nak, telah kudengar kabar itu”. Kami berdua masih terisak.

“Bukankah sudah kuperingatkan kepadamu wahai sahabatku, Najib”. Seakan ingin ia sampaikan peringatan itu lagi kepada sahabatnya yang telah tiada.
Hari demi hari kesehatan kakek mulai menurun akibat kesedihannya yang terlalu larut, tubuhnya kurus kering, tiap malam aku duduk di samping ranjangnya, tiap malam tak hentinya ia menceritakan petualangan masa mudanya dengan Kiai Najib, namun sayangnya semua kisah yang ia ceritakan selalu diakhiri dengan menyebut nama sahabatnya itu disertai derai airmata.

Setelah berminggu-minggu sakit, kakek pun pergi meninggalkan dunia yang fana ini, belum genap kesedihan satu teratasi sudah ditimpali kesedihan lagi.
Malam hari itu, ibu menemuiku di kamar, ia mengelus kepalaku berusaha mengusir kesedihan yang sudah semestinya dilenyapkan, ibu menatapku dan berkata,
“Janganlah sedih lagi, anakku. Kakekmu sudah bertemu sahabatnya di sana, mereka telah abadi”.

Aku masih termenung.
Ibu menatap wajahku, “Kakekmu telah bersyahadat sebelum kematiannya”. Akupun tersenyum dan memeluk erat ibuku.

Malam hari aku bermimpi ditemui seorang yang tua berpakaian hijau dan berpeci hitam, peci itu mirip peci ‘hitam malam’ milik Kiai Najib, orang tua itu berkata, “Kakekmu dan Kiai Najib adalah dua wali Allah yang memainkan perannya masing-masing, Kiai Najib memerankan Islam yang ikhtiyar dan tawakkal pada Gusti Allah, sedangkan kakekmu berperan sebagai manusia yang menjunjung tinggi budaya”. Lalu orang tua itu mengenakan peci hitam yang ia kenakan padaku.

Editor: Ima Nur Diana

_____________________

NB: Cerpen tersebut merupakan karya terbaik yang terpilih dalam perlombaan “Santri Berani Berkarya”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *