Makna Uang Japuik dalam Adat Istiadat Pernikahan Pariaman

Makalah3339 Dilihat

A. LATAR BELAKANG

Dilangsir dari akun resmi KEMDIKBUD (kementrian pendidikan dan kebudayaan) Indonesia tercatat terdapat 11.622 warisan budaya, 1.728 di antaranya telah ditetapkan oleh KEMDIKBUD. Sedangkan komunitas adat istiadat mencapai 2.161 ditahun 2022.[1] Dari data yang telah disajikan dapat kita ketahui bahwa negara Indonesia memiliki beraneka ragam budaya dan adat istiadat yang kaya, dari adat istiadat yang mengatur suatu acara seperti pernikahan, kematian, kehamilan, dan kesenian.

Menurut KBBI adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan. Menurut Jalaludin Tunsam adat istiadat berasal dari bahasa Arab yaitu ‘adah yang berarti kebiasaan atau cara, adat istiadat adalah suatu gagasan yang mengandung nilai kebudayaan, norma, dan hukum di suatu daerah.[2]

Sumatra Barat adalah salah satu Pronvinsi yang dikenal dengan adat istiadatnya yang masih kental diwariskan oleh nenek moyangnya, terkhususnya di daerah Pariaman yang terkenal dengan adat pernikahanya. Dalam prosesi pernikahan adat Pariaman terdapat  istilah “uang bajapuik” (japuik, jemput).

Pengertian uang japuik sendiri secara singkat adalah uang atau benda berharga yang diberikan oleh pihak anakdaro (pihak perempuan) kepada marapulai (pihak laki-laki) sebagai bentuk tertariknya anakdaro (pihak perempuan) untuk menikahi marapulai (pihak laki-laki). Pemberian uang japuik ini dilakukan sebelum prosesi pernikahan (pra pernikahan).

Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan pemeluknya, lebih-lebih agama Islam memandang kaum perempuan yang kemampuannya tidak setara dengan Islam. Perempuan mendapatkan pandangan khusus dalam Islam, terutama dalam kedudukan dan kehormatannya. Hal ini dapat  kita lihat dalam pengaplikasian pernikahan agama Islam, yang mana agama Islam sendiri menyebutnya dengan istilah mahar atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan maskawin, yaitu pemberian wajib calon suami kepada calon istri ketika berlangsungnya akad nikah di antara keduanya untuk mengarungi kehidupan bersama sebagai pasangan suami istri[3]. Adapun menurut Mazhab Syafi’i mahar merupakan sesuatu yang wajib dibayar disebabkan adanya akad nikah atau senggama [4]

Dari keterangan di atas  dapat disimpulkan bahwa segala jenis pemberian barang atau sesuatu yang dianggap berharga dalam konteks pernikahan di dalam agama Islam hanya diperuntukkan untuk pihak laki-laki yang akan diberikan kepada pihak perempuan, akan tetapi dalam realitanya pengaplikasian adat japuik di Pariaman yang merupakan pemberian uang atau sesuatu yang dianggap berharga pihak perempuanlah yang memberi dan pihak laki-laki yang menerima.

Ketidak selarasan antara ketetapan agama Islam dan adat ini menimbulkan barbagai macam pertanyaan dari masyarakat. Hal inilah yang membuat penulis ingin mencoba mengungkapkan makna yang terkandung dalam uang japuik di Pariaman dengan meneliti sejarah historisnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari rumusan masalah yang sudah tertera di atas, penulis penulis menyimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

  1. apa makna pemberian uang atau barang yang dianggap berharga di luar pernikahan dalam adat istiadat uang japuik?

C. LANDASAN TEORI

            Ferdinand de Saussure mengungkapkan, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Chaer, makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik[5]. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.[6]

Makna dalam pemberian uang atau barang dalam adat uang japuik menyimpah mauatan tersendiri yang terkandung di dalamnya. Uang japuik ini mempunyai arah atau tujuannya dalam pelaksanannya.

D. METODE PENELITIAN

Sebagai karya ilmiah maka tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode, karena metode datap memudahkan kegiatan penelitian dan menjadikan penelitian terlaksana secara sistematis di dalam kegiatan penelitian.

1. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian lapangan. Penelitian dilakukan dengan mengambil sumber data dari masyarakat asli Padang Pariaman.

2. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pariaman Sumatra Barat.Alasan penulis   menetapkan lokasi penelitian ini disebabkan kentalnya akan tradisi uang japuik di daerah tersebut.

3. SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN

a. Subjek penelitian adalah orang-orang yang terlibat dalam penelitian ini. Sebagai subjek dalam penelitian makna uang japuik dalam adat istiadat pernikahan Pariaman Pariaman Pasangan suami istri dan masyarakat yang melaksanakan tradisi uang japuik di Pariaman.

b. Objek penelitian adalah apa yang di teliti dalam penelitian ini. Sebagai objek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi uang japuik di Pariaman.

4. SUMBER DATA

Sumber data adalah subjek dimana data diperoleh. Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. DATA PRIMER

Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, obeservasi, maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti[7].

Sumber dari data primer adalah masyarakat yang melaksanakan tradisi uang japuik Pariaman Sumatra Barat.

b. DATA SEKUNDER

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen, buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian yang diteliti, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, peraturan perundang-undangan.[8]

5. TEHNIK PENGUMPULAN DATA

a. OBSERVASI

Obsevasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta oleh panca indera lainnya.[9]

Dalam hal ini peneliti belom sampai melakukan observasi langsung ke Pariaman Sumatra Barat, dikarenakan belum adanya dana dan waktu.

b. WAWANCARA

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu untuk dijawab pada kesempatan lain. [10]

Dalam hal ini pihak yang diwawancarai adalah masyarakat yang melaksanakan tradisi uang japuik di Pariaman Sumatra Barat.

E. PEMBAHASAN

               Adat uang japuik adah salah satu adat istiadat yang berada di daerah Sumatra Barat lebih khususnya di daerah Pariaman, uang japuik sendiri adalah uang atau barang yang dianggap berharga yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai permintaan  sebagai permintaan menantu. kemudian uang dengan jumlah nilai tertentu yang akan di kembalikan kepada keluarga pengantin wanita setelah dilakukana cara pernikahan. Pihak pengantin pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara atau lebih dari nilai yang diberikan. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (anak daro) berkunjung atau batandang ke pihak pengantin pria rumah mintuo (rumah mertua). Bahkan pemberian itu melebihi nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria) sebelumnya karena ini menyangkut gengsi keluarga marapulai (pengantin pria) itu sendiri.[11]

Asal mulanya tradisi uang japuik ini berlaku bagi calon menantu yang mempunyai darah kebagsawanan seperti sayyid, baginda, dan sultan. Ketiga gelar ini diwariskan dengan jalur nasab yang diturunkan oleh sang ayah. Seiring berkembangnya zaman tidak hanya tiga golongan ini yang mendapat uang japuik. Akan tetapi setiap lelaki yang berasal dari Pariaman jika ingin melakukan pernikahan maka lelaki tersebut berhak mendapatkan uang japuik.

Asal terciptaya adat uang japuik yang berada dalam tradisi masyarakat Pariaman ini berawal dari orang-orang kaya kota Madinah, karena ingin mendapatkan menantu Hasan dan Husein cucu Rasulullah SAW, dan orang kaya di kota Madinah tersebut sanggup membayar dengan harga mahal asal mendapatkan mereka. Dan tradisi ini dilakukan oleh orang Pariaman.[12]

Uang japuik ini juga mempunyai kadar tersendiri yang ditimbang dari profesi laki-laki, semakin tinggi profesi atau pendidikan seorang laki-laki maka semakin besar pula uang japuiknya.

F. KESIMPULAN

               Adat istiadat uang japuik yang sudah lama dipraktekan ditengah-tengah masyarakat Pariaman mempunyai maksud dan tujuan terdendiri, dari apa yang telah dianalisa oleh penulis, penulis menyimpulkan bahwasanya pemberian uang japuik ini adalah bentuk penghormatan dan betuk memuliakannya pihak perempuan yang ingin menjadiakkan laki-laki sebagai suaminya dengan memberikan uang atau benda yang dianggap berharga, karna masyarakat Pariaman sagat menghargai peran seorang laki-laki dalam sebuah keluarga, hal ini senada dengan apa yang dilakukan orang-orang madinah yang ingin meminang Hasan dan Husain cucu Rasulullah SAW dengan memberikan uang atau sesuatu yang dianggap berharga demi inggin mendapatkan keturunan dari salah satunya.

G. DAFTAR PUSTAKA

https://www.kemdikbud.go.id/

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-adat-istiadat/

Hukum hukum diktum, volume 13, Nomor 2 Juli 2015 121-128).

Hukum hukum diktum, volume 13, Nomer 2 Juli 2005 121-128

Abdul Chaer, Linguistik  Umum (Jakarta:Rineka Cipta, 1994) 286.

Aminuddin, Semantik (Bandung: Sinar Baru, 1998), 50.

Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Tekhnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2011), cet ke-1, hal 23)

Ibid., 170 hal

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007), cetakan ke-2 hal 115)

Jakarta: Kencana, 2011), cetakan ke-2 hal 138

Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, (Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam

Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, 2012), hal 5

Buya Zulhamdi Malin Mudo, Pendiri Sekolah Adat Minangkabau, FGD, Via Group

Whatsapp, 08 September 2020.

 

[1] https://www.kemdikbud.go.id/

[2] https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-adat-istiadat/

[3] Hukum hukum diktum, volume 13, Nomor 2 Juli 2015 121-128).

[4] Hukum hukum diktum, volume 13, Nomer 2 Juli 2005 121-128

[5] Abdul Chaer, Linguistik  Umum (Jakarta:Rineka Cipta, 1994) 286.

[6] Aminuddin, Semantik (Bandung: Sinar Baru, 1998), 50.

[7]Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Tekhnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2011), cet ke-1, hal 23)

[8] Ibid., 170 hal

[9] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007), cetakan ke-2 hal 115)

[10] Jakarta: Kencana, 2011), cetakan ke-2 hal 138

[11] Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, (Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam

Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, 2012), hal 5

[12] Buya Zulhamdi Malin Mudo, Pendiri Sekolah Adat Minangkabau, FGD, Via Group

Whatsapp, 08 September 2020.

 

M. Ali Mustofa,

Santri Ma’had Aly Maslakul Huda semester 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *