Negara Maritim, begitulah julukan yang melekat bagi Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maritim ialah berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Sederhananya, Indonesia merupakan salah satu negara yang daerah teritorial lautnya sangat luas, dalam kata lain Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki air melimpah. Walau demikian, Indonesiapun tetap terancam persoalan krisis air bersih. Berdasarkan hasil survei kualitas air minum oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2021, hanya 17 persen rumah tangga di Indonesia yang mendapatkan akses air yang aman dan 1 dari 5 rumah tangga menggunakan air minum yang terkontaminasi tinja.
Penyebab dari permasalahan ini tentu saja tidak lepas dari campur tangan ulah manusia sendiri di dalamnya, seperti misal kesadaran membuat sumur resapan atau biopori masih rendah, seperti yang sudah diketahui bahwa banyak bangunan atau infrastruktur yang menggunakan bahan baku beton sehingga menyebabkan air hujan tidak terserap ke tanah, melainkan air hujan tersebut langsung mengalir ke sungai kemudian ke laut. Padahal biopori adalah teknik sederhana untuk menampung air hujan supaya lebih mudah untuk diserap oleh tanah dan membuat persediaan air dalam tanah selalu ada walaupun sedang musim kemarau. Penyebab lain yakni datangnya musim kemarau yang tidak bisa dihindari, dan juga perilaku buruk masyarakat yang masih sering kita jumpai mencemari air sungai dengan limbah pabrik atau pun sampah, juga limbah rumah tangga (blackwater dan greywater) sehingga air sungai yang ada menjadi terkontaminasi.
Tidak dapat disangkal bahwa air merupakan salah satu komponen penting dalam keberlangsungan hidup baik manusia, hewan, ataupun tumbuhan, bahkan tanah yang dianggap abiotik juga membutuhkan air. Tanpa air, tanah tidak dapat memberikan kehidupan kepada lingkungan biotik. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya ayat 30 yang berbunyi :
…وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ….الأية
“…dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup… (QS. Al-Anbiya ayat 3.)”
Terlebih lagi bagi umat muslim, air tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi digunakan juga untuk menjalankan ibadah menghadap Allah SWT seperti misal berwudhu sebelum menjalankan shalat, bersuci, mandi besar, dan lain sebagainya. Karena dalam Syari’at Islam, ketika akan menghadap Allah SWT harus dalam keadaan bersih dan suci. Lantas bagaimana jika air bersih terus menerus terkontaminasi dan manusia kesulitan untuk menemukan air bersih dan suci? Krisis air bersih ini seharusnya benar-benar menjadi persoalan prioritas karena tidak hanya berkaitan dengan persoalan duniawi saja seperti mandi, minum, mencuci pakaian, dan banyak lainnya, tetapi juga berkaitan langsung dengan persoalan ukhrowi seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya.
Disebutkan pula dalam firman Allah SWT yang lain, yakni dalam QS. Al-Maidah ayat 6 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْ… الأية
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,….(Qs. Al-Maidah ayat 6).”
Al-Qurthubi berpandangan mengenai ayat diatas, lahirlah kaidah ushul sebagaimana berikut :
أن ما لا يتم الواجب إلا به واجب مثله
“Sesungguhnya sesuatu yang tidak dapat menyempurnakan yang wajib kecuali dengan hal tersebut, maka hal tersebut hukumnya sama.”
Dalil diatas menunjukkan bahwa shalat tidak dianggap sah kecuali jika setelah berwudhu, dan tentunya membutuhkan air.
Sebagai pengingat, seperti pemaparan Kiai Sahal yang mengatakan bahwa bagi Kiai Sahal sendiri urusan yang berkaitan dengan duniapun harus mendapatkan perhatian serius, karena untuk mencapai kesempurnaan akhirat dibutuhkan wasilah dunia yang baik. Sebagaimana penulis singgung sebelumnya, bahwa shalat yang sempurna harus didukung dengan kebersihan dan kesehatan yang baik dari air yang digunakan untuk bersuci.
Kendati demikian, kehebatan berfikir manusia mampu menciptakan teknologi modern yang sedikit banyak bisa menjadi salah satu solusi atas permasalahan krisis air bersih akibat limbah pabrik ini. Air limbah yang kotor dan najis serta tidak layak konsumsi ini dapat diolah menjadi air bersih menggunakan teknologi modern sehingga dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, keperluan ibadah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa inovasi yang dibangun untuk mengolah air limbah tersebut menjadi air yang bersih dan suci. Seperti teknologi fotokatalisis yang dilakukan oleh mahasiswa Teknik Kimia 2008 Universitas Indonesia yang dapat mengubah limbah rumah tangga menjadi air bersih. Terdapat pula teknologi yang demikian di daerah Mojokerto, Jawa Timur dan Karawang, Jawa Barat yang mengolah limbah cair menjadi air bersih yang tentunya dengan sekian banyak prosedur yang harus dilalui. Berkaitan dengan teknologi pengolahan air limbah ini, Majelis Ulama Indonesia pun turut berkontribusi yang bersifat keagamaan melalui fatwa MUI No. 02 Tahun 2010 yang mana mempertimbangkan beberapa poin sebagaimana yang tercantum :
a. bahwa perkembangan teknologi memungkinkan daur ulang air yang semula berasal dari limbah yang bercampur dengan kotoran, benda najis, dan komponen lain yang merubah kemutlakan air;
b. bahwa penggunaan air daur ulang dalam masyarakat meningkat seiring dengan peningkatan pesat kebutuhan air dan penurunan kualitas sumber air akibat dari peningkatan jumlah penduduk, laju urbanisasi dan perkembangan industri;
c. bahwa selama ini belum ada standar baku kehalalan dalam pemanfaatan air daur ulang sehingga muncul pertanyaan seputar hukum pemanfaatannya;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang pemanfaatan air daur ulang guna dijadikan pedoman.
Secara sederhana, berdasarkan fatwa MUI No. 02 Tahun 2010 tersebut air daur ulang limbah dapat dihukumi suci dan layak untuk digunakan berwudhu, mandi besar, dan lain sebagainya jika memang sudah melalui prosedur kaidah-kaidah yang sudah ditentukan selama tidak membahayakan kesehatan.
Adapun berkaitan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia diatas telah dijadikan sebagai landasan sertifikat halal bagi perusahaan yang mengajukan sertifikat untuk air daur ulang limbah oleh Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Oesmena Gunawan.
Hemat penulis, pengolahan air limbah menjadi air bersih dan suci sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan perkara duniawi maupun ukhrowi merupakan inovasi yang sangat cemerlang. Selain menjadi solusi dari ancaman krisis air bersih yang dapat melanda Indonesia kapanpun, juga secara tidak disadari ini merupakan salah satu cara mewujudkan Imaratul Ardh sehingga diharapkan dapat menjadi wasilah untuk mencapai kesempurnaan akhirat sebab salah satu komponen yang diperlukan dalam syarat sahnya ibadah yakni air suci, kita jaga sedemikian rupa keberadaannya.
Wallahu a’lam.