Mari Ngopi (Ngolah Pikir) untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
Oleh: Happi In Islami*)
“Mu’dlamu maṣâlih ad-dunyâ wa mafâsidihâ ma’rûfatun bi al-‘aql” (besarnya kemaslahatan dan kemafsadatan di dunia, dapat diketahui dengan akal fikiran) statement tersebut dipaparkan oleh syeikh ‘Izuddin bin ‘abdi as-salam ketika beliau menjelaskan bahwa maslahah dan mafsadat itu temasuk yang dapat diketahui oleh manusia sebagai ‘âqil (orang yang berakal)(1).
Dilansir dari buku Nuansa Fiqh Sosial, KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (selanjutnya disebut dengan kiai Sahal) dalam memaparkan pemikiran beliau perihal “Moral dan Etika dalam pembangunan” beliau memulainya dengan memberi pemahaman bahwa,
“Pada dasarnya manusia adalah makhluk terbaik dari sekian makhluk yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi kehormatan atau karamah, bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai “Khalifah Allah” di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan pemberian-Nya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa “akal dan pikiran” yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari, dan mengembangkan ilmu teknologi.” (KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, 2011:181) (2)
Pada paparan tersebut yang berposisi sebagai opening statement, sepertinya beliau berupaya memberi pemahaman kepada pendengar (kala itu) (3), dan pembaca (setelah dibukukan) sebelum mengarah pada pembahasan moral dan berbagai instrument persoalan-persoalannya.
Disisi lain, ditinjau dari segi penyusunan kalimat, pernyataan tersebut berposisi sebagai lead atau bagian penting yang memang perlu disampaikan sejak awal kalimat atau tulisan.
Memang perlu diakui, fungsional akal merupakan suatu keniscayaan bagi manusia sebagai hayawânun nâthiq. Tidak berhenti sampai disitu, kiai Sahal juga memaparkan bahwa manusia sebagai “khalifah Allah” di atas bumi dibekali tiga potensi yaitu akal pikiran, nafsu, dan perasaan(4).
Maka kemudian disamping akal pikiran, manusia juga perlu mengikutsertakan dua potensi tersebut dalam setiap mengambil tindakan.
Secara ringkas statement diatas penulis artikan sebagai ngolah pikir (mengolah pikir)(5) , yaitu proses berfikir di mana memposisikan akal sebagai pemeran utama. Perlu diakui bahwa pada era yang diberi label 4.0 ini, ngolah pikir (dengan tanpa mengesampingkan nafsu, perasaan dan perangkat kemanusiaan lainnya) merupakan hal yang mendesak untuk dibiasakan, terlebih bagi pembaca yang masih tergolong pada usia muda – yang selanjutnya disebut pemuda.
Pemuda ialah generasi penerus bangsa. Sebagai generasi penerus, membaca sekaligus belajar dari sejarah (dalam artian latar belakang suatu masalah), dan persoalan yang sedang dilaluinya, seharusnya masuk pada bahan bacaan wajib yang meraka baca.
Pemuda ialah generasi penerus bangsa. Sebagai generasi penerus, membaca sekaligus belajar dari sejarah (dalam artian latar belakang suatu masalah), dan persoalan yang sedang dilaluinya, seharusnya masuk pada bahan bacaan wajib yang meraka baca.
Karena bagaimanapun Al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihî wa sababihî wujûdan wa ‘adaman (ada dan tidaknya hukum itu tergantung pada sebab (‘illat)nya), pun “Ada dan tidaknya suatu peristiwa, itu tergantung pada sebab (‘illat)nya” seperti; Gerakan separatis yang terjadi di Papua; OPM (Organisasi Papua Merdeka), peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi jika tidak ada sebabnya.
Mari berpikir apa yang akan terjadi jika pemuda Indonesia sama sekali tidak membaca sekaligus belajar tentang apa yang pernah dan yang telah terjadi di Indonesia, mari berpikir apa yang akan terjadi jika pemuda Indonesia sama sekali tidak berfikir tentang cara merealisasikan cita-cita serta tujuan NKRI, mari berfikir apa yang akan terjadi jika pemuda Indonesia adalah bangsa Indonesia yang tidak peduli terhadap rumahnya sendiri (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Maka kemudian statement yang diusung oleh Syeikh Izzuddin bin abdi as-salam dapat kita jadikan sebagai sandaran dalam bertindak, artinya manusia perlu ber-tafakkur terlebih dahulu sebelum bertindak (fakkir qobla an tu’azzim) “apakah maslahahnya lebih besar ataukah justru mafsadatnya yang lebih besar, karena semua itu dapat diketahui oleh akal pikiran”.
Setelah membaca dan berpikir, maka langkah selanjutnya adalah menentukan sikap. Apakah mendapat solusi untuk Indonesia yang benar-benar Indonesia secara menyeluruh, atau tetap diam dan berencana menjadi warga yang pasif?
Semua jawaban bergantung pada setiap Individu. Sebagai penerus bangsa, menempuh pendidikan baik berbasis pesantren maupun tidak adalah hal yang wajib. Baik kemudian ilmu yang diperoleh itu untuk diri sendiri, meskipun pada dasarnya “Al-‘ilmu bila ‘amalin ka asy-syajari bi lâ tsamarin” (ilmu yang bersamanya tanpa adanya amal, maka ilmu tersebut ibarat pohon yang tak berbuah).
Catatan kaki:
(1) Syeikh ‘Izuddin bin ‘Abd Salam, Al- Qowâ’idul Kubrô al- mausûm bi qowâ’idil ahkâm fi iṣlâḥil anâm; hlm. 7, juz.1
(2) Muhammad Ahmad Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, cetakan ke VII 2011:181
(3) Moral dan Etika dalam Pembangunan, disampaikan pada seminar Kodam IV Diponegoro pada 18-19 September 1991 di Semarang
(4) Muhammad Ahmad Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, cetakan ke VII 2011:182
(5) Mengolah Pikir versi KBBI adalah melatih berpikir untuk mempertajam daya tangkap
*) Penulis ialah santri aktif Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al- Fiqh