Maslakul Huda Lil Banin

oleh

pmh1Pesantren merupakan sebuah sistem yang terdiri dari anasir-anasir yang saling terkait untuk mencapai output tertentu. Sistem lain dengan struktur, dalam sistem tidak ada yang namanya struktur namun perwujudan dari sistem itu sendiri seringkali memerlukan komponen yang namanya stuktur. Unsus-unsur yang ada dalam sistem terbentuk dalam satu kenyataan material yang pada tahap selanjutnya menjadi sebuah struktur. Bagaikan sebuah mesin mobil yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak mungkin untuk dipisahkan satu sama lain, karena semuanya telah menjadi satu kesatuan sistem yang terstruktur secara mekanis sebagai mesin penggerak mobil.

Demikian halnya pesantren didalamnya ada sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang terkait, karena pesantren merupakan lembaga tarbiyah maka sistem yang ada dalam pesantren adalah sistem pendidikan, misalnya unsur tradisi atau ciri khas yang menjadi kebiasaan dalam pesantren, unsur keteladaan yang diajarkan oleh seorang kiai sebagai pengasuh, unsur program dan kegiatan kependidikan, unsur latar belakang budaya dan  asal para santri, unsur tata cara dan perilaku kehidupan unik para santri, belum lagi unsur yang datang dari luar seperti masyarakat dan nilai budaya yang berkembang di sekitar pesantren. Unsur-unsur yang ada dalam pesantren tersebut adalah sebuah sistem yang akhirnya akan membentuk pola pikir dan karakter para santri. Hal ini adalah bukti nyata bahwa dalam pesantren sebenarnya ada yang namanya sistem. Pertanyaan berikutnya mungkin yang lebih tepat adalah; apakah sistem yang ada itu telah terstruktur dan terpola dengan baik atau belum.

Pengelolaan struktur dan pola dari sistem sebuah pesantren akan sangat menentukan warna dan corak perkembangan serta keberlangsungan pesantren tersebut. Ketika sistem yang ada dalam pesantren terstruktur dengan rapi dan tertib, maka akan kita dapatkan kinerja yang bagus dan maksimal, namun sebaliknya ketika sistem yang ada dalam pesantren itu buruk  sudah barang tentu jangkauan dan efek dari program dan nilai yang ditawarkan akan minim dan berdaya jangkau sempit. Secara singkat peran serta pesantren dalam kancah sosial, baik internal maupun eksternal  dapat diukur dan ditelusuri dari seberapa rigid sistem yang terbangun dalam lembaga tersebut.

Pesantren sebagai sebuah lembaga memiliki banyak peran, pada awal mula berdirinya pesantren sebenarnya tidak hanya dimaksudkan sebagai lembaga dakwah dan pengemban ajaran tradisi Islam. Lebih dari itu pesantren dalam perjalanan sejarahnya telah membuktikan mampu memegang peranan di berbagai lini kehidupan. Tidak dapat dipungkiri selain sebagai lembaga dakwah dan pengemban tradisi ajaran Islam pesantren pada kenyataannya juga melakukan fungsi-fungsi yang lain, seperti; sosial kemasyarakatan, budaya, pendidikan, bahkan politik.

Arus modrernisasi dan globalisasi sebagai nalar zaman tidak akan mungkin ditolak oleh siapapun termasuk pesantren, pesantren yang secara geografis kebanyakan berada di wilayah pinggiran pusat keramaian kota sangat dekat dengan masyarakat pedesaan ( meskipun saat ini wilayah itu mulai berangsur-angsur menjadi kota) tentunya secara sosiologis berdampak terhadap struktur dan karakter kehidupan masyarakat sekitarnya. Kecenderungan teologis, sikap sosial-politik dan ekonomi, terutama fungsi utamanya sebagai lembaga transmisi ilmu ke-Islaman sangat mempengaruhi corak perilaku serta cara pandang sosial masyarakat sekitar pesantren.

Pesantren dalam konteks ini berperan layaknya sebagai agen sosial of change, dimana  masyarakat pedesaran ditempatkan sebagai masyarakat tradisional yang gamang dan buta terhadap setiap perkembangan yang terjadi di luar dirinya terutama globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai lama yang telah menjadi keyakinan dan pegangan hidup masyarakat sekitar seringkali berbenturan kalau tidak bisa dikatakan selalu bertolak belakang dengan perkembangan zaman mutakhir. Pesantren melalui berbagai aktifitas dan daya upayanya senantiasa melakukan kerja-kerja inovasi, reorientasi serta transformasi terhadap setiap nilai baru yang datang menghampiri. Karena tidak selamanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern yang erat kaitannya dengan sekulerisme dan liberalisme sesuai dan layak dikonsumsi oleh masyarakat awam khususnya masyarakat pedesaan sekitar pesantren.

Sebagai transformator pesantren mesti mampu melakukan filterisasi dan kalau perlu mengunyah kembali setiap nilai baru yang datang, dengan demikian masyarakat pedesaan tidak bingung dan salah dalam menangkap setiap gejala  baru yang timbul belakangan. Fungsi ini disatu sisi menguntungkan pesantren dalam upaya sosialisasi, integralisasi dan kordinasi dengan masyarakat sebagai patner dalam wilayah sosial, namun disisi yang lain pesantren dituntut untuk benar-benar  mampu dan mempertanggungjawabkan fungsi tersebut. Alih-alih akan memberikan manfaat dan dampak positif bagi masyarakat atau malah menjerumuskan dalam dogmatisme dan elitisme ajaran/kepentingan tertentu.

Peran seorang kiai dalam proses tersebut diatas sangat strategis dan signifikan seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Clifford Geertz, bahwa kiai mempunyai tugas yang sangat penting yaitu membendung dampak negatif arus budaya dari luar melalui proses westernisasi dan modernisasi yang selalu mengintip dan mencoba masuk kedalam sendi kehidupan masyarakat tradisional sebagai “makelar budaya” ( cultural broker ), dengan resiko, karena derasnya arus budaya yang masuk terlalu kuat akan ikut menyeret kiai sehingga menghilangkan fungsi dan kapasitasnya sebagai perantara budaya yang memang berlangsung sangat cepat. Namun realitas dilapangan telah menjawabnya dengan diperkuat hasil penelitian Hiroko Horikoshi bahwa  kesimpulan yang diambil oleh Clifford Geertz tidak selamanya dapat dibenarkan karena kenyataan dilapangan membuktikan bahwa kiai dalam melakukan fungsi sebagai “makelar budaya” berperan aktif, selalu melakukan inovasi dan filterisasi terhadap setiap nilai budaya yang ditawarkan oleh proses tersebut dengan merumuskan dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan yang layak dan aman dikonsumsi oleh masyarakat.

Kerja-kerja semacam ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh cikal bakal ( founding father ) para pendiri pesantren, Wali Songo. Kiprahnya dalam proses akulturasi dan integrasi budaya antara Islam dan Hindu-Budha adalah contoh yang paling lengkap dalam fungsi sebagai transformator nilai dan gagasan, baik itu yang datang dari ajaran Islam sendiri maupun yang datang dari pihak luar. Fungsi ini bisa dikatakan berhasil ketika terjadi harmoni antara pesantren dan masyarakat didalam memandang setiap gejala zaman dan dilanjutkan dalam kerja-kerja yang konkret untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan yang adil, makmur, sejahtera dan damai. Modernisme dan globalisasi bukanlah momok yang menakutkan dan perlu dihindari, keduanya sulit untuk dibendung dan dipungkuri, masyarakat tidak perlu takut atau lari darinya, yang perlu dilakukan adalah mensiasati dan menaklukkannya serta mendamaikannya dengan kebutuhan nyata.

Eksistensi pesantren yang pada gagasan awalnya adalah sebagai lembaga dakwah dan pendidikan khususnya  tentang ajaran Islam namun dalam perkembangannya telah berakulturasi dengan budaya sosial di luar dirinya, ia menjadi sebuah komunitas sosial yang dianut secara massif oleh masyarakat dan di banyak hal menjadi semacam referensi dari suatu perkembangan seluruh aspek kehidupan yang terjadi, pesantren  menjadi pembimbing dan penyuluh terhadap masyarakat baik di wilayah moral keagamaan maupun sosial ekonomi bahkan juga wilayah politik. Dengan berbagai kemampuan dan independensinya di wilayah gagasan dan budaya pesantren mampu melakukan counter terhadap setiap perkembangan nilai yang terus terjadi sehingga dalam wilayah kultur pesantren bisa dikatakan sebagai subkultur, tandingan atau bahkan alternatif  budaya.

Masyarakat dan pesantren bagaikan dua sisi mata uang, keduanya saling terkait dan bergantung satu sama lain. Masing-masing saling mempengaruhi dan mendukung, pesantren sebagai sebuah lembaga membutuhkan masyarakat, masyarakat sebagai sebuah komunitas membutuhkan pesantren. Keduanya telah menjadi sebuah sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Ketiadaan yang satu akan mempengaruhi kesempurnaan yang lain. Kesadaran akan pemahaman tersebut sudah sejak awal difahami betul oleh Maslakul Huda sebagai sebuah pesantren, untuk itu dalam proses rintisan dan perkembangannya, Maslakul Huda selalu mencoba mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dan sekaligus berusaha dengan segenap upaya untuk memenuhi berbagai tuntutan masyarakat yang semakin komplek. Maslakul Huda senantiasa  berihtiar menterjemahkan ajaran Islam yang tekstual dan penuh dengan bahasa langit kedalam kehidupan yang  nyata, kontekstual, membumi dan berdimensi sosial. Maslakul Huda secara partisipatoris bersama-sama dengan masyarakat berupaya ikut serta dalam proses pembangunan bangsa. Sebuah proses pembangunan  model alternatif  dari bawah dengan mengikutsertakan obyek sasaran pembangunan dalam perencanaan dan penentuan arah pembangunan. Dalam grand narasinya, paradigma pesantren Maslakul Huda teremplementasikan kedalam tiga gagasan besar sebagai sebuah sistem pendidikan pesantren :

 

1.TARBIYAH

Tarbiyah atau pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah, Maslakul Huda sebagai lembaga dakwah dan pendidikan sudah barang tentu dan seharusnya melakukan aktifitas tersebut, namun tanpa didasari oleh sebuah argumentasi dan filosofi yang luhur dan fundamen, sebuah pendidikan akan hanya menjadi rutinitas dan ritual belaka. Maslakul Huda faham betul bahwa perubahan apapun dalam kehidupan ini haruslah melalui satu pintu  yaitu pendidikan, karena hanya dengan pendidikan segalanya akan bisa dimulai dan dirubah ke arah yang lebih baik. Persoalan moral,budaya, sosial-kemsayarakatan bahkan juga politik yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, eksistensi dan perkembangannya hanya bisa berdiri kokoh dan tegak jika ditopang diatas bangunan pendidikan.

Sistem dan kurikulum pendidikan haruslah beranjak dan berangkat dari kebutuhan (need), bukan keinginan (want), karena bisa jadi sesuatu itu diinginkan tetapi sebenarnya tidak dibutuhkan. Dan ini adalah satu dari sekian kekurangan yang ada dalam sistem dan kurikulum pendidikan nasional. Peserta didik bukanlah obyek apalagi kelinci percobaan, dia adalah manusia merdeka yang punya keinginan dan kebutuhan, dia adalah subyek yang layak untuk dipertimbangkan dan dihitung kemauannya. Dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang faham dan tau betul akan kebutuhan peserta didiknya. Sementara pendidik bukanlah status jabatan pekerjaan atau profesi melainkan sebuah tugas suci dalam pembentukan watak, budi pekerti dan perilaku peserta didik yang tidak hanya bekerja mentransfer ilmu sesuai dengan silabi atau kurikulum tertentu.

Kecerdasan manusia tidak hanya cukup dinilai dari IQ ( Intelegensia Question) nya saja, namun lebih dari itu, manusia masih mempunyai sisi yang lain untuk diperhitungkan yaitu, EQ (emotional Question) dan SQ (spiritual Question). Seseorang atau individu belumlah bisa dikatakan sebagai insan kamil ( manusia yang sempurna ) jika ketiga unsur tersebut belum terinternalisasi dalam dirinya. Dan Sistem pendidikan yang meyeluruh mestilah memasukkan ketiganya dalam kurikulum pendidikannya.

Maslakul Huda dengan Sistem dan kurikulumnya, menempatkan peserta didik sebagi subyek dan bukan obyek dalam setiap aktifitas kependidikannya. Setiap individu adalah manusia yang merdeka dan berhak menentukan setiap pilihannya, kemerdekaan dalam memilih dan menentukan hanya bisa dilakukan jika dalam sistem itu ada unsur yang namanya demokrasi.

Materi pendidikan yang ditawarkan tidak hanya mata pelajaran yang terangkum dalam kurikulum yang bersifat formal dan text book, dengan melakukan transformasi dan transmisi keilmuan dari ajaran dan buku melalui pengkajian dan pengajian. Lebih dari itu tujuan dan fungsi pendidikan adalah pembentukan karakter, pendidikan tidak hanya mampu membaca dan memahami suatu ajaran dan nilai tertentu. Pendidikan adalah harmoni antara pemahaman dan perilaku, ter-transendenkannya konsep dan praktek, disana ada pitutur, piwulang, tauladan dan pesan simbolik.

Kesadaran merupakan unsur utama dalam proses pendidikan. Sadar akan eksisitensi dan sadar akan fungsi dan tujuan hidup, sadar eksistensi adalah mengetahui tentang asal muasal kehidupan dari mana manusia ada dan meng”ada” serta melalui proses apa, sementara sadar akan fungsi dan tujuan hidup adalah tahap lanjutan dari kesadaran pertama dimana seorang  individu tidak hanya dituntut menyadari jati dirinya tetapi juga mesti sadar akan tugas dan peran kemanusiaannya. Kesadaran eksistensi merupakan kesadaran vertikal-transendental bahwa manusia adalah ( ‘Abdullah ) hamba ciptaan Tuhan yang menguasai setiap segala sesuatu dimuka bumi ini dan kesadaran fungsi dan tujuan adalah kesadaran horisontal-sosial dimana manusia sebagai Khalifatullah ( wakil Allah di bumi ) bertanggung jawab dalam melestarikan kehidupan menuju arah kebaikan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 

 

  1. LSM

Secara teologis ada tiga prasarat utama dalam tata cara Islam memandang kehidupan ini. Dan ketiga syarat tersebut seringkali disitir oleh kalangan terdidik Islam sebagai konsep demokrasi. Menyoal kehidupan kita tidak bisa lepas dari yang namanya bersosialisasi atau bermasyarakat, dalam hal ini Islam telah menggariskannya kedalam ketiga unsur; 1. Musawah ( prinsip persamaan ), 2. ‘Adalah ( prinsip keadilan ), dan Syura ( prinsip musyawarah ). Setiap aktifitas yang melibatkan pihak lain akan lebih sempurna ketika ketiga prinsip ini dilaksanakan dan diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kenyataan yang akan dihadapi.

Pesantren sebagai lembaga mempunyai status sosial, ia adalah elemen di dalam komunitasnya. Keberadaannya adalah menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas, masyarakat. Dalam aktifitas dan perilaku kehidupannya pesantren tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari keberadaan lingkungan sekitarnya, bahkan dapat dipastikan pesantren yang berhasil adalah pesantren yang mampu ikut serta dalam proses pembentukan dan pembangunan karakter masyarakat disemua segi kehidupannya, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari; “pesantren harus memainkan peran dalam mengubah masyarakat sekelilingnya”. Sudah barang tentu perubahan itu menuju ke arah yang lebih baik menuju kehidupan yang sejahtera dan bahagia baik di dunia dan akhirat.

Demikian halnya pengembangan masyarakat oleh pesantren juga mensyaratkan ketiga prinsip diatas. Mekanisme dan perilakunya dalam proses ini sudah seharusnya tunduk dan menghormati ketiganya. Pesantren seringkali mendapat image sebagai lembaga yang kolot dan anti terhadap pluralisme, terutama pola kepemimpinan kiai dalam pesantren dituduh otoriter dan anti demokrasi. Pesantren dianggap imperium yang hanya melanggengkan kehendak kiai untuk melaksanakan setiap tujuan dan keinginannya. Sebenarnya disinilah letak pertanyaan dan tantangan dari sebagian besar masyarakat yang mesti dijawab dan dibuktikan oleh pesantren, bahwa pesantren pada dasarnya adalah lembaga yang demokratis dan mampu menerima partisipasi dalam bentuk apapun selama tidak bertolak belakang dengan visi dan misi pesantren.

Dengan melakukan berbagai kegiatan yang bersifat sosial-kemasyarakatan, pemahaman dan anggapan masyarakat bahwa pesantren adalah lembaga yang tertutup dan elitis sedikit demi sedikit akan luntur dan terkikis seiring dengan semakin berkembangnya program-program sosial-kemasyarakatan tersebut. Dalam hal ini pesantren mesti tanggap dan benar-benar melakukan langkah konkret melalui berbagai kegiatan yang mengarah pada pengembangan masyarakat.

Tugas pesantren tidak hanya melestarikan tradisi dan ajaran Islam an sich, namun juga harus mampu menterjemahkan bahasa langit dalam ajaran dan nilai-niali yang digagas oleh Islam kedalam kehidupan nyata yang membumi, kerena sebuah nilai dan gagasan hanyalah omong kosong belaka tanpa adanya bukti nyata, dan seribu teori dan gagasan masih kalah dengan sebuah aksi dan realita. Sejarah telah membuktikan dan memberikan contoh, seorang Nabi tidaklah hanya orang yang pandai bicara dan ber-khotbah namun juga ia adalah seorang Uswatun hasanah dan orang terdepan dalam melaksanakan setiap ucapannya. Dan pada dasarnya Islam tidak hanya agama yang sarat dengan nilai dan ajaran, karena Islam adalah agama amaliyah/perbuatan.

 

  1. BUMP

Sebagai bagian dari masyarakat, pesantren dalam realitanya baik secara harfiah dan maknawiyah adalah menjadi milik masyarakat. Kemajuan dan keberhasilan sebuah pesantren akan menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Dalam sejarah seringkali berdiri dan berkembangnnya pesantren sangat tergantung pada partisipasi masyarakatnya baik secara material maupun immaterial, ketika masyarakat peduli dan ikut serta andil dalam pengembangannya maka semakin besarlah pesantren tersebut.

Proses kehidupan terus berjalan dan komplek menuju nalarnya sendiri, modernisme dan sekulerisme lambat laun telah merubah banyak hal, nilai-niali yang dulunya dianggap baik dan masih dipegang teguh memudar seiring berkembangnya tuntutan kehidupan. Pragmatisme dan sekulerisme mempengaruhi keduanya, masyarakat dan pesantren. Kebutuhan keduanya juga semakin berkembang dan komplek. Situasi ini pada tahap selanjutnya menempatkan keduanya dalam wilayah dilema, penentuan sikap akan mempengaruhi hubungan keduanya. Disatu sisi pesantren membutuhkan masyarakat dalam hal dukungan dan partisipasi dalam proses pengembangan, sementara masyarakat juga masih membutuhkan pesantren sebagai kiblat dalam mencerna dan memaknai setiap perubahan yang terus berkembang.

Masyarakat tidak perlu cemas akan kehilangan fungsi pesantren sebagai agen sosial of change dan transformator nilai yang berkembang diluar karena memang pesdantren lahir dalam rangka itu, namun pesantren tidak bisa selamanya menggantungkan dan bersandar pada masyarakat dalam proses pengembangannya, dalam situasi ini pesantren mesti arif dan bijak dalam bersikap, karena masyarakat dengan kebutuhannya telah terlalu berat mengemban beban kehidupan ini. Pesantrenlah yang harus segera mengambil langkah-langkah konkret dalam mengahadapi perubahan situasi tersebut.

Kalau dulu, pesantren sangat bergantung dengan masyarakat, untuk selanjutnya sudah seharusnya tidak lagi, pesantren mesti mampu mandiri didalam mengembangkan dan meneruskan tujuan dan fungsi keberadaannya tanpa melupakan peran sosialnya. Secara ekonomi dan materiil usaha yang halal dan provit adalah jawabannya, meskipun pesantren merupakan lembaga dakwah dan pengemban tradisi dan ajaran Islam, demi keberlangsurangan hidup dan keberadaannya adalah tidak salah dan sudah sewajarnya jika pesantren melakukan kerja-kerja ekonomi dalam menopang setiap kebutuhannya.

Pada zamannya kiai selain sebagai seorang pemimpin pesantren sekaligus dia adalah seorang tuan tanah dan mampu mencukupi semua kebutuhan pesantrennya. Sekarang lahan semakin menyempit, fungsi dan peran kiai secara personal tidak seperti dulu lagi, banyak hal yang  menjadi wewenang dan masuk dalam wilayah kerja kiai, sekarang tidak lagi. Fungsi dan peran kiai pada kenyataannya secara personal semakin menyempit. Pesantren sudah tidak saatnya lagi sealalu menggantungkan pihak luar ketika akan melakukan setiap aktifitasnya, dengan demikian pesantren harus segera mengambil langkah nyata untuk melepaskan ketergantungan kepada pihak luar khusunya masyarakat secara perlahan dan pasti. Kemandirian secara finansial adalah modal utama untuk mewujudkan kemandirian secara inletektual dan kelembagaan. Sudah tidak saatnya pesantren menjadi beban masyarakat, pesantren harus mampu bangkit dan membiayai sendiri segenap kebutuhannya. Karena hanya dengan kemandirian tersebut, pesantren akan tetap bisa menjaga berbagai unsur dan tradisi yang dimilikinya.