Memahami Hadis Pembuka Kitab Fikih

Kolom Santri757 Dilihat

Nabi Muhammad Saw. bersabda:
« مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ »
Artinya: “Barang siapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman dalam urusan agama kepadanya.”
Hadis di atas sering kali dikutip sebagai kata pengantar dalam literatur-literatur Hukum Islam. Akan tetapi, sayangnya, hadis di atas terkadang juga dijadikan dalih bagi sebagian orang untuk menihilkan adanya usaha. Mengapa bisa demikian? Karena, hadis di atas hanya dimaknai secara tekstual. Bahwasanya, Allahlah satu-satunya Zat yang bisa memberikan pemahaman kepada seseorang.
Pemaknaan tekstualis di atas mungkin benar, terlebih jika disandarkan kepada hakikat. Karena, memang hanya Allahlah satu-satunya Zat yang bisa memberikan pemahaman ke dalam hati seseorang. Akan tetapi, pemaknaan tekstualis tersebut akan menjadi kurang tepat bila disertai dengan sikap menihilkan keberadaan usaha. Seolah-olah, tanpa berusaha pun, seseorang mampu mendapatkan pemahaman terhadap sesuatu jika dikehendaki oleh Allah. Seolah-olah, Allah berkenan untuk memberikan pemahaman kepada seseorang walaupun orang itu tidak mau berusaha sama sekali.
Lantas, apakah pemaknaan tekstualis tersebut sesuai dengan substansi dari hadis ini? Menanggapi hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani—seorang imam hadis yang berjuluk “Al-Hafiz” karena hafal 100.000 hadis beserta sanadnya di luar kepala—pernah memberikan anotasi dalam kitabnya, Fath al-Bârî. Beliau berkata:
“وَمَفْهُومُ الْحَدِيثِ أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّهْ فِي الدِّينِ أَيْ يَتَعَلَّمْ قَوَاعِدَ الْإِسْلَامِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهَا مِنَ الْفُرُوعِ فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر”
Artinya: “Hal yang dapat dipahami dari hadis ini adalah bahwasanya orang yang tidak mau memahami agama, dalam artian tidak mau belajar kaidah-kaidah agama Islam dan hal-hal yang berhubungan dengannya berupa cabang-cabang syariat, maka ia terhalangi dari mendapatkan kebaikan.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam An-Nawawi—seseorang yang menjadi imam besar mazhab Syafii sedunia—dalam kitabnya, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj:
“قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ » فِيهِ فَضِيلَةُ الْعِلْمِ وَالتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ وَالْحَثّ عَلَيْهِ وَسَبَبُهُ أَنَّهُ قَائِدٌ إِلَى تَقْوَى اللَّهُ تَعَالَى”
Artinya: “Sabda Nabi Muhammad Saw. [Barang siapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman dalam urusan agama kepadanya] mengandung keutamaan ilmu dan (keutamaan) belajar agama, serta anjuran untuk mempelajarinya. Hal ini disebabkan karena ilmu adalah penuntun menuju ketakwaan kepada Allah.”
Dari penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa substansi dari hadis ini tidaklah mengajarkan manusia untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah saja, tanpa disertai ikhtiar belajar sedikit pun. Kemudian, berharap Allah akan memberikan pemahaman ilmu agama kepadanya secara cuma-cuma. Akan tetapi, hadis ini justru mengajarkan kita agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, baik yang Usul maupun yang Furuk. Karena ilmu agama merupakan penuntun menuju ketakwaan kepada Allah Swt.. Lebih dari itu, orang yang enggan belajar ilmu agama akan berpotensi tidak mendapatkan kebaikan.
Menguatkan penafsiran kedua ulama di atas, Qadhi Abu Ya’la—seorang mujadid dan ulama besar mazhab Hambali—mengutip sebuah hadis dari sahabat Muawiyah Ra.. Rasulullah Saw. bersabda:
« وَمَنْ لَمْ يَتَفَقَّهْ فِي الدِّينِ لَمْ يُبَالِ اللَّهُ بِهِ »
Artinya: “Barang siapa yang tidak mau memahami ilmu agama, maka Allah tidak akan memedulikannya.”
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa hadis ini tidak mengajarkan kita menjadi orang yang bersifat pasif; hanya berharap agar Allah memberi pemahaman tanpa disertai ikhtiar belajar. Hadis ini justru menekankan agar kita bersifat aktif; bersungguh-sungguh dalam memahami ilmu agama, yang mana hal ini akan menjadi wasilah menuju takwa kepada Allah Swt.. Dengan demikian, justru sangat relevan jika hadis ini dikutip sebagai pembuka kitab-kitab fikih, sebagaimana hal tersebut sudah menjadi tradisi Fukaha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *