Memahami Latar Belakang Pemikiran Kiai Sahal Tentang Kb

Artikel, Kolom Yai277 Dilihat

Suatu pemikiran tidak lahir dari ruang yang hampa. Dalam konteks suatu tulisan juga sedikit banyak terdapat refleksi latar belakang sosial dari selain kombinasi refleksi pengetahuan atau pengalaman yang terlibat. Ibarat benih yang ditanam di tanah subur, membutuhkan nutrisi dari bacaan, perenungan, dan pembelajaran ataupun diskusi untuk bertunas dan berkembang begitupun sebaliknya. Maka dari itu, melakukan penelusuran latar belakang pembuatan suatu teks atau tulisan menjadi penting untuk mendapatkan pemahaman secara holistik. Karena dengan menelusuri jejak pemikiran di balik sebuah karya, dapat diketahui dan dipahami adanya konteks, tujuan, dan makna yang terkandung di baliknya.

Seperti dalam makalah dengan judul “Pelaksanaan KB Ditinjau dari Agama Islam” yang dituliskan oleh KH. Ahmad Sahal Mahfudz yang bertujuan untuk menghangatkan kembali apa yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dibidang KB Nasinonal dalam fatwa MUI tahun 1983. Musyawarah Nasional MUI Tahun 1983 mengenai Kependudukan, Kesehatan, Lingkungan Hidup dan KB telah membuahkan keputusan (10 Keputusan), diantaranya:

  1. KB ialah suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum agama, Undang-Undang Negara dan Moral Pancasila, demi untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga khususnya dan kesejahteraan bangsa pada umumnya.
  2. Agama Islam membenarkan pelaksanaan KB untuk menjaga kesehatan Ibu dan anak, pendidikan agar menjadi anak yang sehat, cerdas dan salih.
  3. Menganjurkan kepada umat Islam untuk meningkatkan pembentukan keluarga yang sejahtera dan bahagia penuh Sakinah, Mawaddah dan Rahmah agar tercapai keberhasilan pendidikan dan pembinaan anak yang sehat, cerdas, trampil dan salih.

Namun jika ditelisik lebih dalam makalah ini hadir sebagai wacana untuk mengatasi problem sosial kala itu yang dimana progam KB mendapat banyak respon negatif serta penolakan oleh masayarakat serta agamawan. Hal tersebut terjadi karena pada saat periode penolakan yang terjadi pada tahun 1970-1980, nilai yang dibawa dalam program keluarga berencana yakni penekanan KB pembatasan jumlah anak karena alasan ekonomi tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Bahkan upaya KB juga disebut sebagai tindakan qot’u nasl atau memutuskan keturunan.

Didukung dengan anggapan bahwa wanita idaman adalah wanita yang subur. Mungkin anggapan tersebut juga terkonstruk dari anggapan banyak anak banyak rezeki atau setiap anak yang dilahirkan telah membawa rejekinya masing masing. Tentu anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah sebagaimana tidak sepenuhnya benar karena memang salah satu tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan yang mana mudah didapatkan dari wanita subur, hanya saja interpretasi atas nash yang dipahami masih kurang luas.

Di antara nash yang menjadi pegangan mereka atas anggapan tersebut adalah:
تَنَاكَحُوا تَنَاسَكُوا تَكَاثَرا فَإِنِّي مُبَاه بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمِ الْقِيَامَة (رواه احمد)
“Kawiniah kamu, berketurunanlah kamu, berkembang blaklah kamu, bahwa sesungguhnya Aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kamu di Hari Kiamat.” (diriwayatkan Ahmad)
Serta hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ بِكُمُ الْأُمَمَ يوم القيامة (رواه ابو داود و ابن ماجة)
“Menikahlah dengan wanita yang pengasih, bakat punya anak, karena sesungguhnya aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kamu di hari kiamat” (diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah).

Apakah hadits tersebut tidak memikirkan tentang kualitatif? Disinilah pentingnya cara memahami hadist dan Qur’an dengan ilmu Balaghah. Dalam hal ini, perkara itu sudah maklum jadi tidak perlu untuk disebutkan, karena justru nilai fasihatul kalam nya akan tercederai. Terjadi reduksifikasi pMEMAHAMIemaknaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memaknainya secara harfiah karena tentu saja hadis tersebut bukan cuma menekankan kuantitas daripada kualitasnya hanya saja kebanyakan orang tidak memahaminya secara menyeluruh.

Kiai Sahal mempunyai pemikiran bahwasanya KB tidak hanya dipahami sebagai qot’u nasl, namun lebih ke pengaturan serta perlindungan ditunjukkan terutama kepada ibu dan anak. KB dapat menjadi pengaturan produktivitas yakni saat wanita melahirkan anak kemudian diberi jeda, agar dia punya waktu untuk lebih produktif memaksimalkan mengembangkan pola asuh kepada anaknya, wanita yang tidak punya jeda akan cenderung lebih merawat kehamilan janin dari pada anaknya atau sebaliknya.

Bukan juga kemudian Kiai Sahal hanya mencukupkan 2 anak saja, inilah yang membedakan konsep KB orang pesantren dengan orang awam. Orang pesantren bukan memaknainya sebagai pembatasan melainkan pengaturan. Diatur untuk mewujudkan maqosid nikah baik tataran kualitas dan kuantitas. Kemudian ini dapat menjadi counter bagi pemikiran zaman dulu, banyak anak lebih baik.

Kiai Sahal mencoba memunculkan kembali makna-makna tersebut. Bukan untuk mengkontekstualisasikannya (melakukan pemaknaan kembali atau pemaknaan yang baru) karena sudah selayaknya pemaknaan hadist itu dikeluarkan kembali tidak direduksi oleh pemahaman harfiah tersebut. Juga karena memang sudah seharusnya sebagai seorang ulama’ peran untuk menengahi permasalahan tersebut pastinya sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia.

Alina Azkiya M.,

Santri Semester 4 Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *