Dalam literatur fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang didalamnya berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadh menikahkan atau mengawinkan. Yang mana kata pembolehan melakukan persetubuhan tersebut dipahami oleh masyarakat sebagai pemenuhan biologis belaka. Kiai Sahal pada tahun 1997 menulis sebuah artikel yang berjudul ”Pernikahan bukan sekedar kebutuhan biologis” yang mana di awal-awal beliau menjelaskan bahwa pernikahan adalah cara yang benar untuk memenuhi kebutuhan biologis menurut islam. Namun, lebih dari itu, pernikahan adalah sunah Rosul, oleh karena itu pernikahan menjadi salah satu bentuk ibadah, bila pernikahan tersebut dilandasi oleh sunah Rosul. Bahkan menyetubuhi istri, menurut Rosulullah termasuk perbuatan yang mendapatkan pahala.
Selanjutnya Kiai Sahal juga menuliskan kutipan dari Imam Ghozali dari kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwa apa yang dirasakan oleh manusia ketika bersetubuh adalah kenikmatan. Bahkan merupakan satu-satunya nikmat surga yang diturunkan oleh Allah di dunia ini sebagai pancingan untuk manusia, karena tidak ada yang bisa menggambarkan atau menceritakan kenikmatan persetubuhan tersebut, sebagaimana kelak tidak ada manusia yang dapat menggambarkan atau menceritakan kenikmatan surga.
Selain sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, perlu diingat bahwa sebuah pernikahan memiliki tujuan yakni ketentraman atau sering disebut dengan sakinah. Untuk mencapai sakinah, maka pernikahan juga harus di barengi dengan mawaddah dan rahmah dari suami istri dengan seimbang. Mawaddah artinya cinta-kasih, sedangkan rahmah adalah belas-kasihan. Yang mana rasa cinta itu didorong oleh ego syahwat manusia, atau yang disebut dengan mahabbah thabi’iyyah dan ada juga rasa cinta yang didorong dengan pertimbangan rasio atau disebut mahabbah ’aqliyah. Mahabbah thabi’iyyah lebih dominan muncul pada awal-awal pernikahan, yang mana lebih menonjolkan mawaddahnya. Dengan beriringnya waktu setelah adanya anak atau cucu rasa cinta itu akan beralih ke mahabbah ’aqliyah, yang mana lebih menonjolkan rahmah nya dari pada mawaddahnya. Oleh karena itu, ketidakseimbangan antara mawaddah dan rohmah itu sering berdampak negatif, tidak menimbulkan sakinah, dan akan menimbulkan ketidakterbukaan, kecemburuan yang berlebihan, dan ketidak percayaan antar suami istri.
Menurut Kiai Sahal, antara mawaddah dan rahmah itu harus saling memberi inspirasi dalam sebuah pernikahan. Karena keduanya ini mempunyai hubungan mutualis-mutandis yang mampu menciptakan kerukunan, keharmonisan, dan kesakinahan yang sering diindikasikan dengan sikap keluarga jika menghadapi suatu masalah akan sama-sama mengangkat dan jika menghadapi masalah yang ringan akan sama-sama menjinjing dengan menyadari dan memahami posisi dan potensinya. Dan langsung berimplikasi pada hak dan kewajiban masing-masing.
Oleh karena itu, dalam suatu pernikahan itu harus menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan posisi dan potensinya masing-masing. Seperti hak dan kewajiban seorang ayah dengan seorang pasti berbeda, karena posisi dan potensinya berbeda. Seorang ayah mempunyai hak dalam dalam pelayanan seorang istri namun juga berkewajiban memberi nafkan anak dan istrinya, dan begitupun sebaliknya. Dengan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing tersebut maka akan menimbulkan kesetabilan dan ketentraman dalam sebuah pernikahan.
Dapat ditarik kesimpulan, Kiai Sahal memaknai pernikahan bukan hanya sebagai formalisasi kebutuhan biologis saja, namun juga harus dengan pemenuhan hak dan kewajiban sesuai dengan posisi dan potensinya masing-masing. Yang mana pemenuhan hak dan kewajiban tersebut merupakan bentuk pengaplikasian atau perwujudan dari rasa mawaddah dan rahmah yang nantinya akan menimbulkan ketentraman atau sakinah dalam pernikahan.
Siti Mu’awanah
Santri semester 4 Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda