Memahami Tingkatan Seorang Mujtahid

Kolom Santri5439 Dilihat

Tugas seorang Mujtahid ialah menetapkan sebuah perkara baru yang belum jelas status hukumnya, hal ini dibutuhkan, karena perkembangan zaman yang sangat pesat memungkinkan banyak perkara-perkara baru yang bermunculan, maka sangat dibutuhkan yang namanya ijtihad.

Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh karena itu para ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-syarat yang menyangkut pribadi maupun syarat-syarat keilmuan yang harus dimilikinya.[1]

Menurut Abdul hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus memenuhi empat syarat ijtihad, yaitu:[2]

  1. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang Al-Qur’an dan al-Sunnah.
  2. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Al-Qur’an dan al-Shad
  3. Menguasai ilmu ushul fiqh.
  4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.

Abu Umar (Ibnu Shalah) berkata bahwa tingkatan seorang mufti itu ada dua tingkatan, yaitu:[3]

  1. Mujtahid Mustaqil (Mujtahid Independen)

Mujtahid Independen merupakan orang yang ahli dengan pengetahun dalil-dalil hukum syari’at agama islam, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Kias beserta ilhaknya. Dan juga harus alim dengan pemahaman susunan bahasa dan cara mengutip dalil hukum, hal inilah yang dibutuhkan dalam ilmu ushul fiqh, dan mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadist, nasikh dan mansukh, ilmu nahwu, bahasa, sharaf serta pada perkara yang diperselisihkan dan disepakati para ulama.

فالمستقل شرطه مع ماذكرنا : أن يكون قيما”) بمعرفة أدلة الأحكام الشرعيـة من الكتـاب والسنـة والإجماع والقيـاس ومـا التحق بها على التفصيل ؛ وقـد فصلت في كتب الفقه ، فتيسرت ولله الحمد ؛ وأن يكون عالياً بما يشترط في الأدلة ووجـوه دلالتها ، وبكيفية اقتباس الأحكام منها ؛ وهذا يستفاد من أصول الفقه ؛ عـارفـاً من علوم القرآن والحديث والناسخ والمنسوخ والنحو واللغة والتصريف واختلاف العلماء واتفـاقهم

( أداب الفتوى والمفتي والمستفتي، ص : ٢٢-٢٣)

Akan tetapi tidak disyaratkan untuk mengetahui segala perkara hukum pada pikirannya, cukup hapal tentang perkara-perkara hukum yang besar dikarenakan dari hal yang besar akan mendatangkan pengetahuan perkara yang kecil.

Maka seseorang yang mampu menguasai kriteria diatas dapat disebut sebagai Mujtahid Muthlak Mustaqil karena ia mampu menguasai hukum dengan independen tanpa mengikuti dan terikat dengan satu madzhab lain. Singkatnya, Mujtahid independen adalah seorang mujtahid yang membangun teori dan kaidah istinbat sendiri, tanpa bersandar kepada kaidah istinbat pihak lain. Yang termasuk dalam jajaran kelompok ini antara lain: imam empat mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik bin anas, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal; laits bi Saad, al-Auzai, Sufyan al-Tsauri, Abu saur.[4]

  1. Mujtahid Mustasib (Mujtahid Afiliatif)

Mujtahid afiliatif adalah mujtahid yang melakukan ijtihad dengan menggunakan kaidah istinbath tokoh mazhab yang diikutinya, meskipun dalam masalah-masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imam yang diikutinya itu. Dan yang masuk dalam tingkatan ini adalah diantaranya: Abu Yusuf, Muhammad Saibani, Zufar dari kalangan Hanafiyah. Abd al-Rahman bi Qasim dan Ashab bin Wahab, dari kalangan Malikiyah. Al-Buwaiti, al-Za’farani, al-Muzani dari kalangan Syafi’iyyah. Al-Qadhi Abu Ya’la, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim dari kalangan Hanabilah.[5]

Hendaknya bagi seorang mujtahid Muntasib 4 perkara:[6]

  1. Seorang Mujtahid Muntasib hendaknya mengikuti watak seorang Imam madzhab yang diikuti dalam metode berijtihad
  2. seorang mujtahid muntasib Hendaknya terikat dengan madzhab imamnya
  3. tidak melampaui tingkatan seorang imamnya, walaupun ia memahami fiqih secara mendalam, menjaga madzhab imamnya, mengetahui banyak dalil dan senantiasa melaksanakan keputusan dari imamnya
  4. senantiasa menjaga madzhab imamnya baik dari segi penukilan hukum dan pemahaman dalam perkara yang jelas dan yang masih samar.

 

End notes: 

[1] Dr. Isnawati Rais, Pemikiran Fiqh Abdul Hamid Hakim, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji Departemen Agama RI, 2005), hlm. 108-109.

[2] Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm. 168- 171.

[3] Abi Zakariya Yahya bin Nawawi ad-Dimasyqi, Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti, (Dar al-Fikr 1988) 22.

[4] Dr. H. Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, hlm. 37.

[5] Dr. H. Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, hlm. 38

[6] Ibid., 25-30

 

_____________

Kontributor: Ahdat Alwi, santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester V

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *