MEMANDANG ISRA’ MI’RAJ (ANTARA AKAL DAN IMAN) Oleh : KH. MA. Sahal Mahfudh

MEMANDANG ISRA’ MI’RAJ (ANTARA AKAL DAN IMAN)

Oleh : KH. MA. Sahal Mahfudh

Sebuah seminar memperingati isra’ mi’raj diadakan di pesantren desa saya dengan mengetengahkan tema “Sufisme sebagai Pengendali MoraI”. Tema ini ditinjau dari berbagai segi, diantaranya tinjauan filsafat. Menarik sekali, karena sufisme dan filsafat sama-sama diperdebatkan segi rasionalitasnya. Kalau filsafat saja, tentu sudah jelas ia mutlak berangkat dari akal rasio manusia untuk mencari pembenaran sesuatu. Metodologi itu lalu dikenal dengan pemikiran filsafati, yaitu pemikiran, menyeluruh, mendasar, dan selalu coba menelaah hal-hal baru untuk kemudian dikembangkan secara lebih luas lagi.

Sedangkan sufisme dalam seminar itu diperdebatkan antara rasionalitas dan irasionalitasnya. Ada beberapa ‘seminaris’ yang menganggap sufisme sama sekali irasionaI. Pendapat ini dikuatkan dengan berbagai kajian referensiaI terhadap sebuah pendapat iImuwan terkemuka negeri ini. Ada lagi yang Iebih unik, sufisme dinilai irasional tetapi tetap meninggalkan unsur penaIaran.

Dari pendapat ini kemudian dipertanyakan eksistensi dua hal yang saling berlawanan dalam satu masalah. Artinya, ijtima’ al-atsaraini (berkumpulnya dua hal yang saling berlawanan) ini jelas sangat mustahil. Seperti diam dan bergerak. Adalah mustahil satu benda dapat melakukan diam dan bergerak pada waktu bersamaan.

Agaknya ada lagi pendapat yang berkesan kompromistis. Bahwa dalam tahapan proses,  sufisme bisa jadi melalui jalan rasional. Namun  ketika sufisme telah mencapai titik puncak  musyhâdah (melihat dzat) Allah, tahap ini tidak lagi rasional. Ini mirip dengan agama sebagai wadh’un ilâhiyyun (kewenangan Tuhan) yang absolut dan irasional. Namun pada tahap pemahamannya, agama tetap rasional. Bahkan dikatakan, ad-din huwa al-‘aql lâ dîna liman lâ ‘aqla lahu (Agama adalah akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak berakal).

Penjabaran itu sepertinya berangkat dari sebuah kitab kuno sufisme (bukan kitab sufisme  kuno). Di sana disebutkan, jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya tiga dimensi syari’at, tarekat, dan hakikat. Sementara posisi sufisme sebagai reaksi perasan yang tinggi, agung, dan murni terhadap pelaksanaan ketiga dimensi tersebut, tentunya tidak mungkin terlepas dari apa saja yang berkaitan dengan ketiga hal itu. Dari salah satu komponennya – seperti syariat – suatu saat prosesnya bisa dan boleh menggunakan jasa akal. Meskipun jelas tidak seluruh syari’at berangkat dari penalaran dan memang eksistensinya sama sekali tidak rasional.

***

Muncul satu masalah lagi dalam seminar itu, berkisar antara keberadan ilmu, filsafat, dan sufisme atau lebih tepatnya agama. Sebagaimana telah maklum, ilmu menggunakan jasa rasio, begitu juga filsafat. Akan tetapi ilmu tidak akan mencapai hakikat filsafat. Dan puncak filsafat juga tidak akan menerobos hakikat sufisme secara esensial maupun eksistensial, pijakan keberadaan masing- masing berbeda.

Dari mata rantai ini, pembahasan seminar itu terasa bertele-tele, mengingat belum terselesaikannya satu masalah sudah muncul lagi permasalahan baru. Maklumlah saya, karena keseluruhan ‘seminaris’ adalah siswa Aliyah dan Tsanawiyah yang tentu saja masih terbatas kemampuan analogi dan sekaligus pemahamannya terhadap tiga masalah itu. Kemudian salah seorang peserta mencoba bermain analogi (tamtsil atau qiyas). Digambarkan, ilmu, filsafat, dan sufisme, melangkah dengan jumlah yang sama. Bila ilmu mencapai hitungan kelima, misalnya, maka filsafat dan sufisme juga dalam hitungan yang sama pula. Akan tetapi, ketika ilmu mencapai hitungan kedelapan. Maka ia – menurut kacamata agama – tidak mampu meneruskan langkah selanjutnya. Sementara filsafat bisa mencapai hitungan kesembilan saja dan sufisme dapat dengan bebas (boleh dan memang harus) meraih puncak hitungan kesepuluh. Alhasil, para seminaris menerima analogi ini.

Terlepas dari benar tidaknya kesimpulan mereka, kiranya dapat diambiI beberapa hal sebagai  pijakan untuk memandang fenomena Isra’ Mi’raj ditinjau dari akaI dan keimanan. Hal ini agaknya sering aktual karena kecenderungan umat awam (terhadap masalah keagamaan) yang berdisiplin ilmu tertentu, Iebih suka mendalami agama melalui kajian penaIaran yang disejajarkan dengan ilmu yang mereka miliki. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang akhirnya hanya akan mudah menerima segala hal. termasuk agama, sejauh hal itu masuk akal dan rasionaI.

Sebetulnya gejala ini dalam batas-batas tertentu bisa dimengerti dan dimaklumi. Kecenderungan pola hidup praktis dan pragmatis dari modernitas yang ada, mengajarkan manusia untuk senantiasa hanya menerima hal yang praktis pula. Soal akhirnya begitu susah dan enggan mereka diajak berbicara masalah diluar skenario akal manusia, apalagi yang bersifat mistis dan metafisis, itu soal lain.

Sebetulnya gejala ini dalam batas-batas tertentu bisa dimengerti dan dimaklumi. Kecenderungan pola hidup praktis dan pragmatis dari modernitas yang ada, mengajarkan manusia untuk senantiasa hanya menerima hal yang praktis pula. Soal akhirnya begitu susah dan enggan mereka diajak berbicara masalah diluar skenario akal manusia, apalagi yang bersifat mistis dan metafisis, itu soal lain.

Bahkan lebih jauh dari itu, sejak zaman nabi, peristiwa seagung isra’ mi’raj pun menjadi ajang perselisihan, yang menyebabkan kuffar (orang-orang kafir) Makah semakin menertawakan dan menganggap nabi berbohong secara berlebihan. Akal mereka sama sekali tidak bisa menerima kabar perjalanan nabi ke luar angkasa dengan rentang masa yang kurang dari semalam, tanpa mempergunakan perantara transportasi apa pun.

***

Dikalangan sahabat nabi pun terjadi beberapa perselisihan. Satu pihak menganggap Isra’ Mi’raj hanyalah terjadi dengan ruhaniah nabi. Artinya, jasad nabi masih berada di Makah, sementara ruhnya melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj. Pendapat ini dikuatkan oleh Siti Aisyah yang melihat jasad nabi di dekatnya, selama peristiwa itu berlangsung. Demikian juga yang lain. Seperti Muawiyah bin Abu Sufyan. Berangkat dari pendapat ini, tentu saja pandangan rasio manusia akan dapat memaklumi hal tersebut, tanpa justifikasi ilmiah yang lebih terinci lagi.

Akan tetapi di pihak lain, suatu pendapat yang akhirnya mujma’ ‘alaih (disepakati para ulama) menegaskan perjalanan Isra’ Mi’raj nabi adaIah rûhan wa jasadan (dengan ruh dan jasad fisiknya). Pendapat ini mengalami teks firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat pertama yang menyebutkan kalimat, Subhâna al-ladzi asrâ bi ‘abdihi (Mahasuci Allah yang telah meng-Isra’-kan hambanya). Dari kalimat “subhâna” para mufassirin sepakat menafsirkan peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa besar dan agung. Sangat mustahil kiranya, Allah mencantumkan kalimat “subhâna” tanpa sebuah maksud tertentu. Sementara kalimat “bi ‘abdihi” sendiri jelas merupakan statemen yang menerangkan eksistensi nabi secara rûhan wa jasadan.

Jika demikian persoalannya, maka tentu saja rasio akan serta merta menggugatnya sebagai hal yang sama sekali  tidak ilmiah dan irasional. Melihat hal itu, kita akan ingat Isra’ Mi’raj sebagai sebuah informasi wahyu yang harus diimani oleh setiap mukmin ternyata memang berlawanan dengan akal manusia. Bahwa antara wahyu dan akal sudah sejak lama bermusuhan sehingga mengakibatkan banyak korban jatuh, itu fakta sejarah. Kita tidak akan lupa pada peristiwa kaum Mu’tazilah mengenai “halaqah” Hasan al- Basri di Basra, sebagai akibat dari dipertahankannya akal/rasio oleh Mu’tazilah di dalam memahami setiap masalah agama.

***

Masalahnya adalah apakah Isra’ Mi’raj diterima sebagai sebuah kebenaran, sehingga sebagai komponen keagamaan ia akan dengan mudah didistribusikan serta dikonsumsi oleh segenap umat dari berbagai kalangan. Menurut akal manusia, Isra’ Mi’raj memang tidak akan menjelma menjadi hal yang rasional meskipun Isra’ Mi’raj boleh dijadikan ilham bagi diciptakannya teknologi luar angkasa, akan tetapi bagaimanapun juga, manusia tidak akan dapat menemukan hakikat kebenaran Isra’ Mi’raj secara rasional.

Bahwa kemudian dalam kerangka filsafat, ditemukan peristiwa agung itu, pada intinya ia memang bukanlah perkara manusia sehingga mampu dijangkau akal. Kita dapat mengungkapkan paham idealisme dalam fase filosofi yang berpendapat untuk memperoleh gambaran yang benar dan tepat seuai dengan pengetahuan adalah mustahil. Artinya, melalui pendekatan ini boleh jadi Isra’ Mi’raj masuk akal dan rasional. Akan tetapi, akhirnya paham realisme  dalam fase yang sama justru tetap menekankan kebenaran pengetahuan lewat pembuktian dari apa yang didapat lewat alam nyata (empiris). Artinya, dalam batas-batas di atas, Isra’ Mi’raj memang masih rancu untuk dipahami umat akan kebenaran dan pembenarannya secara akal.

Agaknya kita lupa akan satu hal. Kebenaran Isra’ Mi’raj itu sendiri adalah perkara Allah yang tentu saja  bagi-Nya sama sekali tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi. Allah adalah Mahakuasa dan Mahaluas sehingga kekuasaannya melampaui segala batas ruang dan waktu. Apa yang tidak terbatas, tentu saja tidak akan dapat dibatasi oleh sesuatu yang terbatas.

Kebenaran Isra’ Mi’raj itu sendiri adalah perkara Allah yang tentu saja  bagi-Nya sama sekali tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi. Allah adalah Mahakuasa dan Mahaluas sehingga kekuasaannya melampaui segala batas ruang dan waktu. Apa yang tidak terbatas, tentu saja tidak akan dapat dibatasi oleh sesuatu yang terbatas.


[button color=”” size=”” type=”square” target=”” link=””]

*) Tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, Jumat 7 Februari 1992, dengan judul asli “Isra’ Mi’raj, Antara Akal dan Iman”.[/button]

Sumber: Makalah Yai Sahal, dan sekarang dapat dibaca dibuku yang berjudul “Nuansa FIqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *