Membaca Fikih sebagai Produk dari Dua Realitas

Kolom Santri667 Dilihat

Membaca Fikih sebagai Produk dari Dua Realitas

Fikih, sebagai cabang keilmuan Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh umat Islam. Sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Syekh Ibrahim bin Isma’il dalam karya beliau Syarh Ta’līm al-Muta’allim fī Tharīq at-Ta’allum:

اعلم بأنه) الضمير للشأن (لا يفترض على كل مسلم، ومسلمة، طلب كل علم، وإنما يفترض) عليه طلب علم (الحال) وهو علم أصول الدين وعلم الفقه. والمراد من هاهنا الأمر العارض للإنسان من الكفر، والإيمان، والصلاة، والزكاة، والصوم، وغيرها من الأحوال، لا الحال المقابل للمستقبل.

Artinya: “Ketahuilah, bahwasanya tidaklah diwajibkan bagi seluruh Muslim dan Muslimat untuk mempelajari seluruh ilmu. Namun hanya diwajibkan baginya untuk mempelajari ‘ilm al-Hāl, yaitu ilmu Ushūl ad-Dīn (fondasi-fondasi agama) dan ilmu Fikih. Apa yang dimaksud dengan ‘al-Hāl’ di sini adalah segala sesuatu yang (berpotensi) menimpa manusia (aksidental), seperti kekufuran, keimanan, salat, zakat, puasa, dan sebagainya. Bukan ‘al-Hāl’ (saat ini) yang menjadi pembanding dari lafaz ‘al-Mustaqbal’ (masa depan).”[1]

Secara bahasa, Fikih diambil dari bahasa Arab yang berarti pemahaman. Sedangkan secara istilah, sebagaimana dikutip dalam kitab Jam’ al-Jawāmi’ fi Ushūl al-Fiqh, fikih diartikan sebagaimana berikut:

وَالفِقه العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

Artinya: “Fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dari dalil-dalil spesifik.”[2]

Maka, dapat kita pahami, bahwa fikih merupakan sesuatu yang digali dari berbagai macam dalil yang menjadi sumber-sumber hukum agama Islam, seperti Al-Qur’an, Sunnah, Ijmā’, dan Qiyās. Sehingga, ketika ada permasalahan apa pun yang menyangkut kehidupan umat Islam, maka hal tersebut harus dicarikan dalilnya dalam teks-teks keagamaan.

Sayangnya, dalam praktik yang sudah berlaku, kita seringkali kurang memperhatikan adanya peran keilmuan lain dalam proses pembentukan fikih. Dari sini, kita patut untuk menelisik permasalahan ini lebih jauh. Untuk mengantarkan ke dalam hal ini, dalam buku Nuansa Fiqh Sosial, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan:

“Fiqh menjadi suatu disiplin yang unik, yang mampu memadukan unsur ‘samawi’, dan kondisi aktual ‘bumi’, unsur lokalitas dan universalitas, serta unsur wahyu dan akal pikiran.”[3]

Di titik ini, kita bisa memahami bahwa elemen pembentuk fikih tidak hanya dalil agama, akan tetapi juga dari kondisi aktual bumi (faktor sosial) yang melingkupinya. Dua elemen pembentuk fikih ini mempunyai corak dan jenis hukum yang berbeda. Ada sebagian hukum fikih yang berasal dari teks-teks keagamaan saja, seperti membasuh tangan sampai ke siku yang salah satu rukun wudu. Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni, dalam kitabnya Kifāyah al-Akhyār fī Halli Ghāyah al-Ikhtishār menyebutkan:

قال: (وغسل اليدين مع المرفقين)
الفرض الثالث: غسل اليدين مع المرفقين؛ لقوله تعالى: ﴿ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ [المائدة : 6]﴾، ولفظة “الى” ترد بمعنى “مع”، كما في قوله تعالى: ﴿ مَنْ أَنْصَاريْ إِلَى الله﴾ أي: مع الله، ويدل ذلك ما روى جابر رضي الله عنه قال: « رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يدير الماء على المرفق » رواه الدارقطني والبيهقي ولم يضعفاه.

Artinya: “Imam Abu Syuja’ berkata ‘dan membasuh kedua tangan beserta kedua siku’. Fardu wudu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan beserta kedua siku; berdasarkan firman Allah Swt. ‘Dan (basuhlah) tangan-tangan kalian sampai (beserta) siku-siku’. Kata ‘ilā’ (sampai) menunjukkan makna kata ‘ma’a’ (beserta). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. ‘Siapakah orang-orang yang dapat menolongku sampai kepada Allah?’, yaitu bersama Allah. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis riwayat Jabir Ra.. Ia berkata ‘Aku melihat Rasulullah Saw. mengalirkan air di atas siku beliau.’” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi, dan keduanya tidak mendhaifkannya).[4]

Ada pun hukum-hukum fikih yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang seakan-akan bertabrakan dengan nas, adalah sebagaimana yang dicontohkan dalam kitab Dhawābith al-Mashlahah oleh Syekh Said Ramadhan Al-Buthi:

ولم يقف الصحابة عند هذا الحد في رعاية المصلحة حيث لا نص ولا إجماع ولا قياس، فقد أوقع عمر الطلاق الثلاث بلفظ واحد ثلاثاً، مخالفاً بذلك ما جرى عليه العمل في عهد الرسول ﷺ وعهد أبي بكر، بل في صدر من عهده هو أيضاً، لأنه رأى أن هذه هي الوسيلة لمنع المسلمين من الحلف بالطلاق الثلاث، أي للمصلحة وحدها. وأجاز قتل الجماعة بالواحد إذا اشتركوا في قتله، لأنه رأى في عدم قتلهم به إهداراً لدم معصوم، وتشجيعاً على القتل الحرام بالاشتراك فيه، ولم يقطع يد سارق أو سارقة في عام المجاعة لأنه رأى أن هذه السرقة كانت لحفظ الحياة، وحفظ الحياة مقدم على حفظ المال، هذا مع أن آية القصاص صريحة في أن النفس بالنفس، وآية حد السرقة صريحة في الأمر بقطع يد السارق والسارقة دون قيد

Artinya: “Dan para Sahabat tidak berhenti sampai di sini dalam hal memelihara mashlahat, jika sekiranya tidak ada Nash, Ijmā’ maupun Qiyās (yang mengakomodirnya). Khalifah Umar bin Khattab telah (berfatwa untuk) menjatuhkan talak tiga dengan satu kali ucapan. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Rasulullah Saw. dan masa Khalifah Abu Bakar Ra., bahkan pada masanya sendiri. Karena beliau berpendapat bahwa ini adalah cara untuk mencegah kaum Muslimin dari mengucapkan sumpah dengan talak tiga, yaitu dengan mempertimbangkan maslahah itu sendiri. Beliau juga memperbolehkan hukuman qishāsh pada satu kelompok karena membunuh satu orang, jika mereka (terbukti) bersama-sama melakukannya. Karena beliau memandang bahwa jika kita tidak menjatuhkan hukuman qishāsh pada mereka, maka hal ini sama saja menyia-nyiakan darah seseorang dan memotivasi sekelompok orang untuk melakukan pembunuhan yang diharamkan dengan cara bersekongkol.

Khalifah Umar juga tidak memotong tangan pencuri, baik laki-laki maupun perempuan di masa paceklik, karena beliau memandang bahwasanya pencurian ini ada untuk mempertahankan kehidupan. Dan menjaga kehidupan lebih diutamakan daripada menjaga harta. Ini semua beliau lakukan setelah adanya ayat Al-Qur’an yang dengan jelas menerangkan bahwasanya hutang satu nyawa dibayar dengan satu nyawa, dan hukuman potong tangan untuk seorang pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, itu dilaksanakan secara mutlak tanpa ada batasan.”[5]

Dari teks di atas, kita dapat mengetahui bahwa fikih tidak hanya bersumber dari teks-teks keagamaan, akan tetapi ia juga bersinggungan dan dapat terpengaruh oleh kondisi sosial yang sedang terjadi. Hal ini merujuk pada spirit menjaga Maqashid Asy-Syari’ah. Teks-teks keagamaan dan kondisi sosial merupakan dua aspek yang memengaruhi pembentukan hukum-hukum fikih. Alangkah baiknya keduanya tidak dipisahkan. Karena jika keduanya dipisahkan, besar kemungkinan produk fikih yang dihasilkan akan berpotensi menjadi liar dan/atau tidak bernilai etis.

Sebagai penutup, KH. MA. Sahal Mahfudh pernah berkata:
“Fiqh tidak boleh menjadi produk pemikiran ‘liar’ yang terlepas dari bimbingan wahyu, dan pada saat yang bersamaan, fiqh juga tidak boleh menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian, faktor teologis dan etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, di samping sudah barang tentu faktor perubahan masyarakat itu sendiri.”[6]

Penulis  : Ahmad Agil Asyraq

Editor    : Tim Notulen Kelas Dirasat Kontemporer

Musyrif  : Ust. Muhammad Mirza, Lc.

Referensi:
[1] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’līm al-Muta’allim fī Tharīq at-Ta’allum, Kairo, Darul Bashair, Cet. IV, 2015, Hlm. 11.
[2] Syekh Tajuddin As-Subki, Jam’ al-Jawāmi’ fi Ushūl al-Fiqh, Beirut, Dar el-Kotob al-Ilmiyah, Cet. II, 2003, Hlm. 13.
[3] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKiS, Cet. VII, 2011, Hlm. xxiv.
[4] Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni, Kifāyah al-Akhyār fī Halli Ghāyah al-Ikhtishār, Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Cet. I, 2004, Hlm. 35.
[5] Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, Dhawābith al-Mashlahah, Damaskus, Dar al-Fikr, 2005, Hlm. 152.
[6] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKiS, Cet. VII, 2011, Hlm. xxv.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *