MEMILIH MADZHAB YANG KONTEKSTUAL
(Uraian Mengenai Niat Berpuasa)
MA. Sahal Mahfudh
Di saat bulan Ramadhan, ada masyarakat yang menanyakan kepada saya tentang hukumnya niat berpuasa. Nampak sekali, dalam risalah yang dikirimkan kepada saya penanya mengalami kebingungan luar biasa karena ia belum yakin tentang adanya informasi bahwa niat menurut sumber tertentu boleh dijamakkan (dikumpulkan) dalam satu malam, yaitu pada malam awal bulan Ramadhan. Ia meminta saya untuk mengklarifikasi apakah informasi ini betul atau tidak.
Bagi saya, sederhananya, puasa secara prinsip memiliki tiga rukun yang harus dipenuhi, ketiganya merupakan bagian dari puasa itu sendiri. Tiga rukun tersebut adalah menjaga dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa (al-mubthilat), niat, dan sho’im (orang yang berpuasa). Ini merupakan pendapat ulama’ Syafi’iyah, mereka mendasarkan pendapatnya pada argumen bahwa arti dari puasa tidak akan terwujud tanpa adanya tiga hal tadi. (Al-fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Hal : 459 dan 461).
Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah niat merupakan asas bagi setiap ibadah, oleh sebab itu mereka menjadikan niat sebagai rukun bagi aktifitas-aktifitas yang bersifat ubudiyah. Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang tidak mengkategorisasikan niat sebagai bagian dari suatu ibadah. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan dalam memberikan interpretasi terhadap hadist yang berbicara tentang niat, yaitu “innamal a’malu bi al-niat” (sesungguhnya keabsahan dan atau kesempurnaan suatu amal ibadah tertentu didasarkan pada niat). Kelompok pertama (Syafi’iyah dan Malikiyah) menganggap bahwa pada hadist tersebut mendapat pen-taqdir-an (asumsi) lafadz sihhah (sah). Sehingga pengertian yang muncul kemudian adalah bahwa suatu amal tidak akan sah tanpa dibarengi dengan niat. Sedangkan menurut kelompok kedua, Hanafiyah dan Hanabilah, yang diasumsikan bukanlah lafadz sihhah (sah) melainkan kata lain yaitu : kamal (sempurna). Jadi menurut mereka niat hanya sebagai kesempurnaan dari suatu amal ibadah. Dan sahnya ibadah tersebut sama sekali tidak bergantung pada keberadaannya. (Al-Asybah wa Al-Nadlair. Hal : 9 dan 26-27).
Para ulama fiqih mendefinisikan niat sebagai pemunculan kehendak atas sesuatu bersamaan dengan pertama kali melakukan sesuatu tersebut. Pengertian ini tidak dimaksudkan pada istilah ‘azm. Walaupun keduanya sama-sama memiliki pengertian berkehendak (nejo; jawa), namun pada ‘azm tidak mendapat batasan “harus bersamaan” sebagaimana yang ada pada niat.
Dalam membahas tentang niat, ulama fiqih, telah mengkajinya paling tidak dari lima aspek, yakni tentang syarat, tata cara, waktu, tujuan, dan tempat bagi berlangsungnya niat. Adapun pada kesempatan ini kita akan mengkaji niat dari segi waktunya saja. Kapan seseorang harus berniat dengan hatinya ketika melakukan suatu amal ibadah.
Seseorang harus berniat ketika ia memasuki bagian awal dari suatu aktifitas ibadah. Sebagai contoh : orang berwudlu meletakkan niatnya pada saat ia membasuh wajah yang merupakan rukun pertama dari wudlu. Dan pada saat takbirotu al-ihram jika aktifitas yang akan dilakukannya adalah shalat.
Namun, disini terdapat beberapa pengecualian, ada beberapa bentuk ibadah yang tidak diharuskan menyertakan niat dengan bagian pertama dari rukun-rukunnya, seperti zakat, puasa, kurban, dsb. Bahkan diantara ibadah-ibadah tersebut justru tidak diperbolehkan menyertakan niat bersamaan dengan rukun awal yang ada pada ibadah-ibadah tersebut. Ibadah dimaksud adalah puasa yang pelaksanaannya bersifat fardlu. (Al-Taqrirot al-Sadidah fi al- Msa’il al-Mufidah. Hal : 82-83).
Puasa yang memiliki hukum fardlu, dalam persoalan niat, menurut adanya tabyit, artinya bahwa niat harus dilakukan pada malam hari. Sehingga seandainya seseorang lupa berniat pada malam hari dan menggantinya setelah terbit fajar, maka niatnya itu tidak dianggap cukup. Dan tentu ini berimbas pada tidak sahnya puasa yang ia lakukan pada hari itu. Ketentuan ini sesuai dengan hadist Nabi yang mengatakan bahwa “barang siapa tidak melakukan niat sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya (tidak sah puasanya)” (HR. Al-dar al-quthbi).
Yang kedua adalah ta’yin. Artinya, orang yang berpuasa diharuskan menyatakan jenis puasa yang akan dia lakukan seperti Ramadhan atau puasa kafarat atau yang lain. (Syarqowi ‘ala al-Tahrir. Hal : 423).
Dalam kaitannya dengan masalah tabyit, kebanyakan para ulama menjelaskan bahwa niat pada puasa Ramadhan haruslah dilakukan setiap malam sehingga tanpa itu konsekuensi yang muncul adalah ketidakabsahan puasa pada masa itu. Meskipun ia masih diwajibkan untuk menghindari hal-hal yang membatalkan puasa sebagai bentuk penghormatan terhadap keagungan bulan suci Ramadhan.
Nemun ada pendapat lain yang memperbolehkan mengumpulkan (menjama’) niat pada hari pertama bulan Ramadhan, bahkan mereka menghukuminya dengan sunnah. Menurut pendapat ini, mengumpulkan niat akan menolong mereka yang lupa berniat pada malam-malam setelahnya.
Ringkasnya, menurut pendapat yang terakhir ini puasa yang mereka lakukan tetap dianggap sah walaupun meninggalkan tabyin al-niat. Ini merupakan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa disunnahkan berniat puasa secara keseluruhan (selama satu bulan) pada malam pertama bulan Ramadhan. (Tausyeh ala ibn al-Qosim. Hal : 111, Fathul Mu’in). Karena itu, anda tidak harus bingung, pilihan hukum tentu dihubungkan pilihan sejauhmana anda mampu mengimplikasikan syarat-syarat tersebut. Tentu saja, pendapat Malikiyah jauh lebih mudah untuk diaplikasikan.
Sumber : Wajah Baru Fiqih Pesantren ( Hal :196-199)