Menelisik Kembali Tentang Relevansi Pembagian Warisan dalam konteks islam di Era Kontemporer
Oleh: Mujiibur Rohman
Warisan merupakan salah satu pembahasan penting yang sering dikaitkan dengan keadilan. Ilmu yang pertama kali hilang di tengah kaum muslimin adalah ilmu waris, sebagaimana yang telah di disampaikan oleh Rasulullah saw.
Tanpa adanya peraturan dan keadilan, maka manusia akan menjadi liar, tidak ramah dan tidak terkendali. Jika peraturan itu dibuat oleh manusia sendiri, maka kemungkinan banyak akan terjadinya ketidakadilan. Maka dari itu, Allah Swt membuat peraturan pembagian warits. Aturan Allah ini yang masyhur dikenal dengan sebutan syariah.
Seiring dengan perkembangan waktu, tempat, tradisi dan kebudayaan manusia. maka persoalan waris ini menjadi persoalan yang sangat membutuhkan solusi dan pemahaman yang tepat. Banyak upaya yang dilakukan untuk memahami dan menafsirkan kembali ayat-ayat waris dan disesuaikan dengan tuntutan keadaan generasi dan zaman. Melalui pendekatan tafsir ayat 11, 12, dan 176 pada surah al-Nisa’ diterangkan secara rinci bahwa kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan isteri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 176).
Berbicara tentang masalah pembagian hak waris, agama Islam telah mengatur cara pewarisan itu berasaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau istri saja, akan tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami istri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis kesamping, baik laki-laki atau perempuan.
Secara umum, dapat dikatakan bawhwa laki-laki itu membutuhkan lebih banyak materi atau kebutuhan dibandingkan perempuan, dilihat dari situlah agama memberikan hak lebih bagi laki-laki dibanding perempuan, yang mana laki-laki itu dua kali lipat bagiannya di banding perempuan. Dalam ajaran Islam laki-laki itu memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para perempuan, sebagaimana dijelaskan Allah SWT, dalam surah al-Nisa’ (4) : 34
Berdasarkan pemaparan diatas, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menganalisa kembali apakah pembagian warisan dalam konteks islam masih mempunyai relevansi di era sekarang apa tidak? , melihat konsep tersebut seakan-akan pembagian waris itu mendiskriminasikan pada kaum perempuan.
Masuk ke topik utama dalam paragraf ini penulis mencoba menguraikan mengenai ketidak relevansian pada hak waris dengan adanya peraturan yang ada pada HAM di Indonesia. Berbicara hak Waris, sebenarnya hal yang sudah umum terjadi di indonesia, banyak konflik yang terjadi antar keluarga akibat masalah pembagian hak waris, hal ini didasari adanya pemahaman atau anggapan masyarakat mengenai pembagian yang tidak adil dalam islam.
HAM internasional juga memiliki prinsip kesetaraan tanpa adanya memandang jenis kelamin. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek. Menurut HAM sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Komite Hak Asasi Manusia, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Menurut Komite Hak Asasi Manusia, “Perempuan harus memiliki hak-hak waris yang setara dengan laki-laki saat masa perkawinan berakhir disebabkan oleh kematian salah satu pasangan”.
Sebagai sama-sama manusianya perempuan seharusnya juga tidak dibeda-bedakan termasuk pembedaan atas dasar jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sehingga dalam masalah hak pun memiliki hak yang sama. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 DUHAM berbunyi, ‘Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama’.24 Pasal 2 DUHAM berbunyi, ‘Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM dengan tidak ada perkecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelaminkelamin.
Upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan disuarakan melalui forum Sidang Umum PBB pada 18 Desember 1976, yang kemudian dirumuskan dalam bentuk konvensi pada bulan Maret 1980, dan diberlakukan secara resmi mulai tanggal 3 September 1981. Dalam pasal 1 konvensi tersebut berbunyi, ‘Dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan seperti pembedaan, pemisahan, dan pengekangan hak-hak perempuan yang didasarkan atas jenis kelamin maka setiap negara harus memberikan hak dan kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, seperti bidang politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan bidang-bidang lain.’ Kemudian dalam pasal 2 disebutkan: ‘Setiap negara harus menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan bersama-sama berupaya merumuskan kebijakan yang tepat didukung dengan kebijakan politik, guna menghapus diskriminasi terhadap perempuan.