Menelusuri Jejak Ushul Fiqh dalam Tapak Kemanusiaan

Kolom Santri757 Dilihat

Satu dari sekian banyak topik pembahasan yang terdapat dalam Lubbu al-Ushul adalah mafhum mukhalafah yang secara harfiah berarti sebuah pemahaman terbalik. Pemahaman yang dimaksud di sini adalah sebuah ketentuan hukum yang difahami secara berbeda dari suatu ketentuan hukum tertentu yang terdapat pada nash.

Air yang volumenya tidak mencapai ukuran dua kulah misalnya, dalam ketentuan hukum Mazhab Syafi’i dikatakan bahwa tipikal air tersebut saat terjamah oleh najis berarti kesuciannya dianggap telah hilang dan terenggut. Imbasnya, air jenis ini tidak dapat digunakan sebagai sarana pensucian ragawi yang merupakan salah satu syarat penting dan harus dipenuhi oleh seorang muslim yang taat untuk bermunajat dengan Tuhan dalam shalat.

Ketentuan hukum ini oleh kalangan Syafi’iyyah dapat difahami dari nash sebuah hadis yang dengan jelas menyebutkan bahwa, saat volume air telah mencapai ukuran dua kulah, maka air tersebut dianggap telah mempunyai kekuatan untuk mempertahankan kesuciannya dari gangguan najis. Logikanya, saat air belum memenuhi ukuran tersebut berarti air itu tidak mempunyai kekuatan sama sekali untuk mempertahankan kesuciannya.

Sekilas nampak mudah, tetapi mafhum mukhalafah ternyata tidak bisa diterapkan dengan begitu saja di semua nash verbal. Mafhum ini baru bisa diterapkan pada saat tidak ada faktor apapun yang melatar-belakangi sebuah nash untuk menyebutkan item-item tertentu secara khusus sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan nash hadis di atas yang menjelaskan tentang batas minimal kekuatan yang harus dimiliki oleh air dalam upaya menjaga kesuciannya.

Dalam Lubb al-ushul tercatat setidaknya ada tujuh dinding pemisah yang menghalangi mafhum mukhalafah untuk bertemu mesra dengan sebuah nash, satu diantaranya adalah dinding pemisah yang bernama kharaja makhraja al-ghalib. Kharaja; wes metu opo al-mantuq al-makhsus bi al-zikri, metune – makhraja al-ghalib; ing ndalem nggon metune perkoro kang lumrah.

Dalam Ghayah al-Wushul, Syeikh Zakariyya al-Anshori sebagaimana pakar ushul fiqh yang lain mengusung sebuah ayat al-Qur’an yang secara tekstual mengharamkan ayah tiri untuk menikahi anak tirinya yang berada sekamar dengannya sebagai contoh bagi larangan penerapan mafhum mukhalafah.

Dengan demikian, pemahaman yang menyatakan bahwa saat anak tiri tidak tinggal sekamar dengan ayah tirinya berarti halal untuk untuk dinikahi oleh sang ayah merupakan pemahaman yang sama sekali tidak bisa dibenarkan. Karena penyebutan al-Qur’an terhadap redaksi wa robaibukumullati fi hujurikum merupakan penyebutan yang disesuaikan dengan kondisi pada umumnya, yaitu seorang lelaki harus bertanggung jawab pada janda yang dinikahinya berikut anak perempuan janda itu. Dan biasanya salah satu bentuk dari tanggung jawabnya adalah memberikan tempat tinggal bagi sang janda beserta anaknya.

Contoh lain yang tidak bisa dimafhum-mukhalafahkan karena terdapat faktor penghalang yang berupa kharaja makhraja al-ghalib adalah sebuah hadis nabi yang menyebutkan bahwa seorang muslim ialah seseorang yang para muslim lainnya selamat dari tangan dan lisannya (al-muslimu man salima al-muslimuna min yadihi wa lisanihi). Kalimat al-muslimuna yang secara khusus disebutkan dalam hadis tersebut tentu saja tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagi kebaikan hanya pada kalangan muslim semata.

Jika hadis tersebut dimaknai demikian, tentu akan memberikan kesimpulan bahwa umat islam diperbolehkan untuk tidak berbuat baik pada kalangan non-muslim. Dan sudah barang tentu pemaknaan seperti ini merupakan sebuah pemaknaan yang cacat dan keliru menurut ilmu ushul fiqh.

Kekeliruan pemaknaan ini disebabkan oleh adanya faidah kharaja makhraja al-ghalib yang melatar-belakangi disebutkannya kalimat al-muslimuun secara khusus dalam hadis tersebut. Dengan demikian, arti yang benar dari hadis tersebut adalah seruan kepada semua umat islam agar senantiasa berbuat baik kepada siapapun, muslim ataupun non-muslim.

Khotimatun

Alkisah; November 1945, setelah lima jam melakukan perlawanan terhadap tentara sekutu, dalam kondisi hujan lebat KH Saifuddin Zuhri beserta Kiai Mandur pemimpin Sabilillah daerah Kedu beserta sejumlah laskar Hizbullah dan Sabilillah akhirnya berhasil menguasai kota Ambarawa yang telah luluh lantak tak tersisa dan tak berpenghuni.

Dalam kekalutan Kota Ambara kala itu, tiba-tiba KH Saifuddin Zuhri melihat seorang wanita Cina yang sedang duduk dan tanpa busana di depan sebuah reruntuhan rumah. Nampak terlihat wanita ini sedang berusaha menutupi bagian tubuhnya dengan kedua tangannya. Ia mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas – kisah KH Saifuddin Zuhri -, sesekali menangis kemudian tertawa. Tangis dan tawa yang silih berganti.

“Ini akibat perang” ucap KH Saifuddin Zuhri kepada Kiai Mandur yang sedang memberikan jas hujannya pada wanita Cina tadi.

“Bagaimanapun juga, ia anak manusia. Manusia adalah saudara sesama manusia”. Kiai Mandur menjelaskan.

 

Sumber Bacaan

Syaikh Zakariya al-Anshari, Lubbu al-Ushul.

Syaikh Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul ila Syarhi Lubb al-Ushul.

Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari Syarhu Shohih al-Bukhari.

KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren.