Site icon Mahally

Meninjau Ulang Fatwa KH Muhibbul Aman Aly

Hari-hari ini beredar luas video KH Muhibbul Aman Aly yang berisi fatwa beliau mengharamkan sound horeg secara mutlak, fatwa haram beliau menuai pro kantra dikalangan masyarakat. KH Muhib merupakan salah satu ulama kontemporer pakar fikih Indonesia saat ini. Kiprah beliau sudah tidak asing lagi dalam forum-forum bathsul masail, atas kepakarannya beliau diangkat menjadi salah satu rois LBM PBNU dan menghasilkan beberapa karya dibidang fikih dan ushul fikih.

Pada 1 Muharram 1447 H (sekitar 30 Juni 2025), dalam forum Bahtsul Masail di Ponpes Besuk, Muhibbul Aman Aly menjatuhkan fatwa haram mutlak terhadap sound horeg, bukan karena suara keras saja tetapi juga konteks sosial budaya yang menyertainya. Beliau menyatakan:”bahwa sound horeg merupakan sound yang disertai dengan perempuan berjoget bukan termasuk sound system, sehingga hukumnya tidak hanya mempertimbangkan aspek suara saja, dimanapun tempat dilaksanakannya sound horeg, mengganggu atau tidak mengganggu, ada atau tidak ada larangan dari pemerintah, hukum sound horeg tetap haram dan bersifat berdiri sendiri (mutlak)” karena yang dipertimbangkan adalah mulazimnya.

Dalam pandangan penulis, beliaulah kyai pertama yang memfatwakan secara terang-terangan atas haramnya Sound Horeg. Fatwa beliau memantik Lembaga fatwa seperti MUI Jawa Timur maupun elemen masyarakat untuk ikut mendiskusikan dan memberikan analisis hukum pertunjukkan sound horeg. Mayoritas masyarakat Taslim atas fatwa beliau, tetapi jika diperhatikan, fatwa beliau mengandung beberapa kerancauan:

  1. Definisi sound horeg yang tidak tepat. Beliau membedakan antara sound horeg dengan sistem, yang kemudian menjadikan hukum yang berbeda. Beliau memandang ketika sound diiringi dengan tarian perempuan atau percampuran laki-laki dan perempuan maka dinamakan sound horeg, bukan lagi sound sistem. Pendefinisian dari beliau tidap tepat, karena sound horeg merupakan sound sytem hanya saja berukuran berukuran besar dan menggetar. Istilah “Horeg” sendiri berasal dari Bahasa jawa yang berarti bergerak atau bergetar. Jadi sound horeg secara harfiah berarti “suara yang membuat bergetar”.[1]tidak ada kaitannya dengan diikuti tarian Wanita atau tidak.
  2. Tidak adanya illat hukum yang jelas. Fatwa dari kh muhib mengatakan, keharaman sound horeg tidak lagi mempertimbangkan apakah ada unsur idza’ atau tidak. Padahal illat atau alasan hukum menjadi pijakan terpenting dalam menjawab sebuah problem Masyarakat. dalam ilmu usul fikih illat berposisi sebabagi mu’arrif (penanda hukum) dan al-baits (pendorong).[2] kejelasan illat menjadi penting, agar hukum syariat yang ditetapkan dapat dijalankan dan dipatuhi oleh umat dengan kesadaran logika normal dan kefahaman atas ajaran syariat. Seperti larangan meminum khamr, bukan karena dia minuman yang bernama khamr, namun karena dia dapat merusak akal dan akal merupakan karunia tuhan yang paling berharga dan harus dijaga. Dengan kejelasan illat seperti ini, umat akan mematuhi hukum syari’at disertai kefahaman dan kesadaran pebuh atas hikmah dibalik hukum syariat. Dalam konteks suara, para ulama’ seperti Ibnu hajar ulama melarang penggunaan suara ketika terdapat idza’ atau melukai terhadap orang lain meskipun fasik.[3]Seharusnya faktor idza’ menjadi landasan kuat dalam mengharamkan sound horeg, tetapi justru kyai muhib tidak menganggapnya.
  3. Keharaman secara mutlak. Kyai Muhib memandang keharaman sound horeg secara mutlak artinya berdiri sendiri. Ungkapan “ hukum sound horeg sudah berdiri sendiri” dari beliau sulit difahami, seakan-akan ‘ain dari sound horeg adalah haram. Ketidaktepatan logika beliau, karena sebagaiamana diketahui secara pasti tidak ditemukan satupun nash yang berbicara tentang keharaman benda sound horeg. Keharaman secara mutlak dalam fikih identik dengan keharaman yang telah ada nashnya, sebagaimana definisi haram khamr dan anjing.
  4. Mulazim (identik) dari sound horeg, beliau menyatakan bahwa sound horeg identik dengan ikhtilat (bercampurnya laki-laki maupun Perempuan) dan pertunjukkan joget-jogetan yang dilarang syari’at. Seharusnya ada pemilahan antara sound horeg yang digunakan untuk maksiat dan yang tidak. Karena disebagian tempat sound horeg tidak diikuti dengan tarian perempuan, bahkan sound horeg terkadang dibuat dalam acara keagamaan seperti takbir keliling.
  5. Tidak memberikan Solusi. Fatwa haram terhadap sesuatu yang menjadi umum dimasyarakat apalagi menjadi hiburan bagi sebagian masyarakat dengan hukum haram, harus disertai dengan solusi, jika tidak akan menimbulkan reaksi negatif bahkan berani menghujat ulama. Hal ini, karena bersentuhan langsung dengan perputaran ekonomi mereka. Seharusnya Jangan hanya fatwa haram tetapi juga menghadirkan solusi. Seperti Mengatur jam operasional sound, Menyepakati volume tertentu, atau menekankan kesopanan dalam lirik dan tarian, bukan melarang keseluruhannya

Kesimpulan

Beberapa kritik diatas, menunjukkan bahwa fatwa dari KH Muhib atas keharaman sound horeg kurang sesuai dengan fakta dilapangan dan masih kurang jelas logika fikih yang dipakai dalam mengharamkanya. Seharusnya kebijakan fatwa haram harus diberi batasan yang jelas, dengan tujuan dapat dibuatkan regulasi untuk menghilangkan unsur keharaman yang terdapat dalam pertunjukkan sound horeg.

[1]Gramedia, mengenal asal usul sound horeg

[2] Zakariya al-Anshor, ghoyatul wushul 365

[3] Ibnu hajar al-haitami, al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro, hlm 158 maktabah syamilah

Exit mobile version