Meninjau Ulang Hukum Persaksian Perempuan Yang Dianggap Lebih Rendah Daripada Persaksiannya Laki-laki.
Oleh: Muhammad Husni Riziq
Pada era saat ini emansipasi perempuan menemukan ruang yang lebih luas di seluruh dunia. Hal tersebut tidak lepas dari peran Islam dalam dehumanisasi perempuan untuk mengangkat harkat mereka sedikit demi sedikit sebagai manusia utuh yang pada abad sebelumnya mengalami penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum patriarki.
Meskipun dalam beberapa aspek kehidupan perempuan sudah mendapatkan emansipasi yang cukup baik, namun pada beberapa hukum fiqih masih banyak menerapkan hukum yang bisa dibilang bias gender. Termasuk dalam hukum persaksian, yang mana persaksian perempuan dianggap lebih rendah dari persaksiannya laki-laki.
Dalam beberapa kitab turats dijelaskan bahwa persaksian perempuan menempati posisi lebih rendah dibandingkan dengan persaksiannya laki-laki.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa pendapat yang dipegang mayoritas ulama adalah bahwa kesaksian wanita tidak diterima menyangkut masalah hudud. Sedangkan pengikut Daud azh-Zhahiri mengatakan: “Kesaksian mereka bisa diterima bila bersama mereka ada seorang laki-laki dan perempuan yang lebih dari seorang dalam setiap kasus, sesuai dengan zahir ayat tersebut.” Abu Hanifah berkata: “Bisa diterima menyangkut masalah harta dan selain hudud dari hukuman badan, seperti: talak, rujuk nikah, dan memerdekakan budak.” Sementara Malik tidak menerimanya untuk suatu hukum dari hukum-hukum badan.
Adapun kesaksian wanita sendiri, artinya wanita saja tanpa laki-laki, diterima oleh mayoritas ulama menyangkut hak-hak badan yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki biasanya, seperti masalah melahirkan, istihlal, dan aib kaum wanita. Tidak ada perbedaan mengenai masalah ini kecuali menyangkut masalah penyusuan.[1]
“’’وَاسْتَشْهِدُوا” أَشْهِدُوا عَلَى الدَّيْن “شَهِيدَيْنِ” شَاهِدَيْنِ “مِنْ رِجَالكُمْ” أَيْ بَالِغِي الْمُسْلِمِينَ الْأَحْرَار “فَإِنْ لَمْ يَكُونَا” أَيْ الشَّهِيدَانِ “رَجُلَيْنِ فَرَجُل وَامْرَأَتَيْنِ” يَشْهَدُونَ “مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاء” لِدِينِهِ وَعَدَالَته وَتَعَدُّد النِّسَاء لِأَجْلِ “أَنْ تَضِلّ” تَنْسَى “إحْدَاهُمَا” الشَّهَادَة لِنَقْصِ عَقْلهنَّ وَضَبْطهنَّ “فَتُذَكِّر” بِالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيد “إحْدَاهُمَا” الذَّاكِرَة “الْأُخْرَى” النَّاسِيَة وَجُمْلَة الْإِذْكَار مَحَلّ الْعِلَّة أَيْ لِتَذْكُر إنْ ضَلَّتْ وَدَخَلَتْ عَلَى الضَّلَال لِأَنَّهُ سَبَبه وَفِي قِرَاءَة بِكَسْرِ أَنْ شَرْطِيَّة وَرَفْع تُذَكِّر اسْتِئْنَاف جَوَابه[2]
Dalam kitab-kitab tafsir klasik dijelaskan tentang tafsir surat Al-Baqarah ayat 282, bahwa Jika tidak ada dua orang laki-laki untuk menjadi saksi, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Perbandingan perempuan 2 dan laki-laki hanya 1, beralasan karena perempuan mempunyai akal yang kurang, dalam artian kecerdasannya dianggap lebih rendah daripada laki-laki dan perempuan juga dianggap mudah lupa (kurang bagus dalam menjaga ingatan). Dari penjelasan tersebut menjadi alasan saksi perempuan berjumlah 2, jika seorang lupa maka yang seorang perempuan lagi bertugas mengingatkan.
Dari penjelasan di atas keluar sebuah pertanyaan, kenapa diperlukan dua saksi perempuan, sedangkan saksi laki-laki cukup satu. Jawaban yang keluar dari pertanyaan tersebut seringkali tidak mengenakan di telinga kaum perempuan. Jawaban tersebut seringkali beralasan bahwa perempuan mempunyai tingkat kecerdasan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Produk tafsir ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya yang berkembang ketika ayat ini turun. Ayat tentang hukum persaksian ini dimaksudkan untuk diterapkan dalam masyarakat Arab abad ke-7. Salah satu kelemahan perempuan yang disebutkan dalam hukum kesaksian ini adalah perempuan lalai dan lupa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ayat tentang kesaksian ini merupakan respons terhadap kondisi perempuan dalam masyarakat Arab abad ke-7. Nalar masyarakat Arab abad ke-7 dengan masyarakat kontemporer jelas sangat jauh berbeda.
Alquran Secara umum tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Kesaksian yang berbanding 2 untuk perempuan dan hanya 1 untuk laki-laki merupakan sesuatu yang tidak bisa digeneralisasi. Menurut penulis, ayat ini bersifat kontekstual, yaitu diterapkan untuk perempuan Arab abad ke-7 di mana perempuan memiliki hambatan sosial, pendidikan, pengetahuan dan lainnya sehingga memang mayoritas kaum perempuan pada zaman itu terbelakang. Dewasa ini, dalam beberapa lini seperti pendidikan, bisnis, dan lainnya potensi kaum perempuan meningkat lebih baik dari sebelumnya, sehingga bisa dikatakan setara dengan kaum laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berperan dalam sistem sosial dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam persaksian ini perlu dikaji ulang.
Dalam era kontemporer ini perempuan merupakan saksi potensial. Nilai kesaksian perempuan sama dengan laki-laki. Hal ini tentu didasarkan pada prinsip Alquran bahwa tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Bila ayat-ayat dalam Alquran ditafsirkan secara bias gender, berangkat dari pemahaman bahwa perempuan inferior, maka dominasi laki-laki terhadap perempuan dilegitimasi secara legal, seperti dalam hukum persaksian.
Dalam pemikiran Islam kontemporer sebenarnya telah banyak gagasan untuk mereformasi hukum ini. Reformasi terhadap hukum persaksian seringkali terhambat karena masyarakat muslim masih terikat oleh penafsiran klasik yang dianggap sebagai tafsir tunggal dan final. Meskipun diakui ada fleksibilitas dari hukum Islam, tapi ada keengganan untuk menyinggung hukum persaksian karena masih banyak pandangan yang kontroversial mengenai hal ini. Oleh karena itu, hukum persaksian perlu dikaji ulang agar dapat memunculkan suatu produk hukum yang lebih setara.
[1] Bidayatul Mujtahid, DKI, hlm. 830.
[2] Tafsir Jalalain Surat Al-Baqarah ayat 282, Darul Fikr, hlm. 41.