Meninjau Ulang Relevansi Wali Mujbir di Era Kontemporer  Oleh: Muhammad Rifqi Ali

Essay, Kolom Santri525 Dilihat

Meninjau Ulang Relevansi Wali Mujbir di Era Kontemporer

 Oleh: Muhammad Rifqi Ali

Secara konseptual Islam merupakan agama yang sempurna. Karena Islam telah mengatur semua aspek kehidupan umatnya secara rinci, baik pada domain individu, keluarga, maupun masyarakat. Maka sudah barang tentu apabila Islam dikatakan sebagai agama yang komplit dalam segi hukum sebagai panutan umatnya dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Termasuk dalam hal tuntunan membangun rumah tangga yang bertujuan menciptakan keluarga yang tentram (sakinah), penuh kasih sayang (mawaddah), dan cinta kasih (rahmah) yang diatur oleh hukum Islam. Pernikahan sebagai ikatan lahir batin yang bersifat aktual dan sakral dalam kehidupan manusia tidaklah etis apabila dilaksanakan tanpa melibatkan i’tikad yang baik. Oleh karena itu, pernikahan memerlukan kemantapan diri sebagai bentuk perjanjian suci bagi setiap insan.

Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan hal yang penting dalam kehidupan sebagai struktur dasar manusia. Pernikahan  terjadi melalui proses di mana kedua belah pihak saling jatuh cinta dan merasa mereka akan sanggup melewati rintangan bersama-bersama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dan hukum Islam sendiri telah menetapkan syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Salah satu rukun pernikahan yang dalam literatur fiqh adalah dengan adanya wali. Eksistensi wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu keniscayaan, karena pernikahan dapat dianggap sah salah satunya adalah dengan melibatkan wali. Yang dimaksud dengan wali disini adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai wanita dalam pelaksanaan akad nikah. Dan ini berlaku untuk semua wanita, baik yang statusnya masih perawan maupun sudah janda.

Lantas bagaimana dengan adanya Wali Mujbir?, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Contoh kecilnya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, dalam persoalan hukum fiqh mereka berdua sering berpendapat dengan bertolak belakang, dan dalam persoalan yang akan penulis bahas ini pastinya pembaca yang budiman sudah mengetahui ulama mana yang memperbolehkan hak Ijbar dengan tanpa penulis uraikan panjang lebar. Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak penulis saat ini ialah masih relevankah Wali Mujbir di era kontemporer ini? dan apakah bermaslahat apabila Waji Mujbir tetap diterapkan pada era ini melihat era yang serba instan, hanya dengan bermodal ibu jari sambil merebahankan badan kita sudah bisa tahu banyak hal tentang berita ter-update setiap harinya. Pertanyaan mendasar inilah yang akan penulis kupas dalam tulisan ini berdasarkan paradigma penulis, dan pastinya juga didukung dengan data-data primer yang akan penulis jadikan acuan dalam tulisan ini.

Berbicara hak ijbar, pastinya tidak lepas dari perbedaan pendapat antar Imam madzhab. Salah satunya dalam hal ini penulis lebih menitik beratkan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Alangkah baiknya penulis mencantumkan pendapat Imam Syafi’i terlebih dahulu dalam persoalan Wali Mujbir, karena pendapat beliau lah yang paling banyak penulis kupas dalam tulisan ini. Bahwa Wali Mujbir ini berdasarkan perspektif Syafi’iyah, berhak menikahkan anak perempuannya yang masih kecil maupun sudah dewasa, jika ia masih gadis maka boleh tanpa persetujuan darinya begitu juga anak yang gila baik laki-laki maupun perempuan, baik masih kecil atau sudah dewasa. Sedangkan anak perempuannya yang sudah berstatus janda tidak berhak dipaksa baik ia sudah dewasa ataupun masih kecil. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw:

الثّيِّبُ أَحَقَ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّها وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا

Artinya: “Perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya”. (Riwayat Muslim).

Pada hadis tersebut nampak jelas bahwa ayah menikahkan anak perempuannya yang masih gadis tanpa memberitahukan calon mempelainya harus meminta izin terlebih dahulu pada anak perempuan tersebut, tujuannya tidak lain adalah sebagai bukti keabsahan pernikahan. Dengan demikian, – berdasarkan pendapat Imam Syafi’i –  suatu pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria.

Oleh karena itu, poin besar adanya wali dalam pernikahan dapat berperan untuk melindungi kaum hawa dari kemungkinan terjadinya mafsadah di dalam kehidupan pernikahanya. Di samping itu, madzhab Syafi’i telah menetapkan salah satu rukun dalam pernikahan adalah harus adanya wali, sehingga kedudukan wali menjadi suatu keniscayaan apabila ingin menghendaki sahnya pernikahan yang dilaksanakan. Sebagaimana wasiat Rasulullah Saw kepada umatnya di hari 82 sebelum beliau berpulang ke rahmatullah, beliau berkata: “Takutlah kamu kepada Allah mengenai perihal wanita, karena kamu telah mengambil mereka (dari peringatannya) dengan amanat Allah” (HR. Abu Hurairah). Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki derajat yang tinggi disisi Allah Swt. Sehingga wanita memiliki harkat dan martabat yang perlu dilindungi, karena wanita juga salah satu makhluk yang paling mulia dalam kehidupan bermasyarakat.

Akan tetapi penulis kurang sepakat apabila hak ijbar diterapkan di era sekarang, hal itu didasari karena perkembangan arus globalisasi yang begitu pesat menjadikan wali mujbir itu seakan sudah tidak diperlukan lagi mengingat syarat-syarat dalam hak ijbar yang begitu ketat, disamping itu pula para kaum hawa bisa lebih leluasa dalam menentukan jodoh yang mereka idam-idamkan tanpa ada kekangan dan paksaan dari orang tua, karena pastinya mereka bisa dikatakan lincah atau lihai dalam mencari jodoh yang bisa memberikan kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tanggah.

Lantas apa saja syarat-syarat dalam hak ijbar menurut pandangan ulama Syafi’iyyah?. Dalam kitab al-Fiqhu Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2014) karya Syaikh al-Jaziri pada halaman 33 disebutkan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat pada dasarnya hak ijbar hanya berlaku untuk menikahkan perempuan yang masih kecil dan orang gila baik masih kecil atau dewasa. Sedangkan bagi perempuan yang telah dewasa dan perawan, maka wali boleh memaksanya menikah tanpa izin dan ridhanya, tetapi harus memenuhi tujuh syarat sebagai berikut:

1) Tidak ada pertentangan yang nampak antara wali dengan anak.

2) Tidak ada permusuhan antara anak dengan calon suami yang bersifat kekal. Hal ini bisa dilihat secara lahir dan batin dari orang yang ada di sekelilingnya.

3) Calon suami harus setara/sekufu.

4) Calon suami mampu memberikan mahar.

5) Menikahkan anaknya dengan mahar mitsli.

6) Mahar harus merupakan barang berharga di daerah setempat.

7) Mahar wajib dibayar kontan atau tunai.

Dari alasan inilah penulis beranggapan bahwa hak ijbar kurang cocok apabila diterapkan di era kontemporer seperti sekarang ini, toh juga meminta izin dan ridha kepada si anak merupakan anjuran dari Nabi Muhammad Saw, maka dari itu mengambil sesuatu yang mempunyai unsur maslahahnya paling unggul lebih di utamakan.

Dan ternyata KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bukunya yang berjudul Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 241-242. Justru sependapat dengan argumen Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui hak ijbar diterapkan pada anak perempuannya yang telah baligh secara mutlak, baik masih perawan maupun sudah janda. Argumen yang dibangun berdasarkan pendapat ini, jika dalam persoalan muamalah saja unsur kerelaan menjadi syarat keabsahan akad, pastinya hal yang sunnah juga jika berkaitan dengan masalah perkawinan, yang jauh lebih urgent.

Di samping itu, beliau menganalogikan dimana jika perempuan telah dewasa, berakal, dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, lantas bagaimana pada konteks akad nikah?, pastinya mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Menurut beliau, walaupun wali bukan syarat sah nikah (menurut Imam Abu Hanifah), tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu (setara) dengannya, maka wali memiliki hak I’tirad (mencegah pernikahan). Karena bagi Kiai Sahal kesetaraan itu merupakan hak anak dan orang tua seperti apa yang disinggung dalam kitab Fath al-Mu’in.

Dalam persoalan Wali Mujbir, Kiai Sahal berpendapat bahwa, apabila orang tua memaksa anak perempuannya untuk dijodohkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, maka ia berhak menolak perjodohan tersebut, begitu pula sebaliknya, orang tua berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Tetapi jika seorang perempuan memiliki hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau dalam istilah fiqh nya al-‘adhul.  Maksud dari setara atau dalam bahasa arabnya al-kafa’ah ialah sederajat atau setingkat dalam domain nasab dan status (agama, kemerdekaan, profesi). Jadi pada intinya hak ijbar yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan syara’, hanya diperkenankan apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung dalam kitab Bujairami Ala al-Iqna’ bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada perihal ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti pernikahan semacam itu sebaiknya tetap dihindari.

Menurut Kiai Sahal orang tua meminta persetujuan pada anaknya, selain dianggap baik dari sisi pengamatan Rasulullah Saw, juga ada dukungan dari kaidah fiqh yang berbunyi al-khuruj min al-khilaf mustahab, yang artinya keluar dari perselisihan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah. Karena bagi beliau persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya.

Dari pemaparan di atas dapat dipahami, Kiai Sahal lebih cenderung terhadap pendapat Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui adanya hak ijbar oleh seorang wali. Alasannya, meskipun kesimpulan akhir dari beliau menggunakan term “mengkompromikan”, namun berdasarkan paradigma beliau walaupun syarat-syarat hak ijbar telah terpenuhi semua seperti apa yang dikemukakan oleh golongan Syafi’iyah, pernikahan yang semacam itu menurut beliau sebaiknya dihindari. Benang merah munculnya ketidak sepakatan Kiai Sahal dengan Imam Syafi’i tidak lain adalah metodologi yang digunakan, dimana Imam Syafi’i lebih memprioritaskan qiyas dan masalikul ‘illat dalam berijtihad dan mengesampingkan aspek maslahahnya. berbeda dengan Kiai Sahal, yang mana beliau sering menjadikan maslahah sebagai acuan syari’ah meskipun tetap mengikuti koridor ushul fiqh, tradisi Nabi, praktek sahabat dan para fuqaha’. Hal ini menandakan bahwa dalam proses istinbath hukum, Kiai Sahal selalu memperhatikan sikap proporsional. Dengan kata lain beliau tidak hanya mengikuti arus modernitas liberal semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan.

Ada perkataan dari Kiai Sahal, “Dalam konteks ini pula (hak ijbar) maka kriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab madzhab empat, sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqh sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu’tabar dan gairu mu’tabar berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah “al-ijtihad la yunqadu bi al-ijtihad” di atas”. Tujuan beliau adalah guna menghindari fanatisme bermadzhab. Prinsipnya, mana yang “reasonable” dan “applicable” bisa digunakan. Inilah yang selalu dijadikan pedoman Kiai Sahal dalam menetapkan suatu persoalan hukum. Itulah mengapa dalam menjawab persoalan wali mujbir ini, Kiai Sahal tidak lepas dari mencantumkan beberapa pendapat para ulama yang notabene pendapat-pendapat yang disampaikan berbeda dan bahkan kontradiktif.

#GeekTurats

Bibliografi

Al-jaziri,  Abdurrahman, al-Fiqhu Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2014).

Mahfudh, MA. Sahal, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2011).

NB: pernah dipublikasi di website islamina.id https://islamina.id/meninjau-ulang-relevansi-wali-mujbir-di-era-kontemporer-1/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *